Team Program 'Masjid Gaharu' Kota Depok

1.Ganif Aswoko , email: aswokoganif@gmail.com



2.Taqyuddin SSi MHum , email: taqygeo@gmail.com




Senin, November 09, 2009

Unram Segera Patenkan Teknologi Gubal Gaharu

Mataram (ANTARA News) - Universitas Mataram (Unram) Nusa Tenggara Barat (NTB), segera mempatenkan teknologi pembuatan Gubal Gaharu Lombok hasil temuan salah seorang peneliti Unram, yakni almarhum Dr. Parman, mantan Dekan Fakultas Pertanian.

Dekan Fakultas Pertanian Unram Ir. Sudirman, P.Hd, di Mataram, Senin, mengatakan, teknologi pembuatan Gubal Gaharu Lombok hasil temuan almarhum Dr. Parman menjadi perhatian sejumlah negara di dunia diantaranya Malaysia dan Jerman. Dua negara tersebut sangat tertarik dengan teknologi gubal Gaharu hasil temuan penelitian Unram.

"Atas dasar itulah, dalam waktu dekat Unram akan segera mengurus hak paten teknologi Gubal Gaharu, terlebih adanya berbagai budaya serta hasil penemuan pakar Indonesia yang diklaim oleh Malaysia belakangan ini," ujarnya.

Ia menjelaskan, Gubal Gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitam-hitaman berseling coklat.

Menurut dia, sebelum didaftarkan untuk hak paten, terlebih dahulu akan dilakukan penelitian secara mendalam tentang ciri khas serta kelebihan teknologi Gaharu Lombok ini.

Para peneliti dari sejumlah negara yang belajar Gaharu ke Unram mengakui kalau Gaharu Lombok terbaik dari Gaharu yang ada di daerah lain di Indonesia maupun di negara lain.

Beberapa negara seperti Malaysia dan Jerman belum termasuk sejumlah daerah di Indonesia, telah menyatakan diri tertarik untuk mempelajari teknologi Gubal Gaharu di Lombok.

Bahkan lembaga riset Jerman menjalin kerja sama dengan Unram untuk fokus pada penelitian serta pengembangan sehingga Gaharu Lombok memiliki ciri khas sehingga tidak diklaim oleh daerah atau pun negara lain.

Sudirman menjelaskan, kerja sama yang dijalin bersama Malaysia dalam pengembangan Gaharu hanya bersifat biasa. Jika pihak Malaysia menyimpang dari isi memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman yang telah disepakati, maka pihaknya akan mencabut dan berhenti kerja sama dengan Malaysia.

"Kita tidak memberikan apa-apa dengan Malaysia hanya kerja sama biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ujarnya.

Selain Jerman, Malaysia dan sejumlah negara lainnya, tambah Sudirman, beberapa daerah di Indonesia juga tertarik dengan pengembangan serta kualitas Gaharu Lombok, salah satunya adalah Pemerintah Kabupaten Sorong Irian Jaya.

"Gaharu ini memiliki potensi yang besar dan pasarannya sangat mudah. Harga satu kilogram hasil panen Gaharu mulai Rp5 juta-Rp30 juta, tergantung kualitasnya. Hanya saja masa panennya cukup lama yakni sembilan tahun," ujarnya.

Senin, 14 September 2009
http://antaranews.com/berita/1252902516/unram-segera-patenkan-teknologi-gubal-gaharu

Rabu, Agustus 19, 2009

Perhitungan kelayakan usaha Gaharu

Suatu usaha dikatakan baik dan layak untuk ditekuni bila dalam perhitungan kelayakan usaha memenuhi keriteria. Adapun beberapa perhitungan yang digunakan untuk menilai kelayakan usaha antara lain break event point ( BEP ), B/C ratio, dan ROI ( return of infestment ).

1. Break event point ( BEP )
BEP merupakan titik impas suatu usaha atau titik balik modal (usaha tidak mengalami kerugian maupun keuntungan). Untuk menghitung BEP suatu usaha, ada kriteria yang dapat digunakan, yaitu BEP biaya produksi dan BEP harga produksi.

a. BEP biaya produksi
BEP biaya produksi merupakan perbandingan antara biaya produksi dengan harga produk. Sebab produk yang dihasilkan ada tiga jenis, maka perhitungan BEP biaya produksi ini pun dilakukan untuk masing masing produk.

1) BEP biaya produksi gubal : Rp 402.200.000,00
Rp 12.000.000,00/kg
: 33,51 kg

Artinya, titik balik modal usaha produksi gubal gaharu bila jumlah produksi nya mencapai: 33,51 kg

2) BEP biaya produksi kemedangan : Rp 402.200.000,00
Rp 1.200.000,00
: 335,16 kg

Artinya, titik balik modal usaha produksi kemedangan bila jumlah produksi nya mencapai: 335,16 kg

3) BEP biaya produksi abu / bubuk : Rp 402.200.000,00
Rp 100.000,00
: 4022 kg
Artinya, titik balik modal usaha produksi abu / bubuk bila jumlah produksi nya mencapai : 4022 kg

b. BEP harga produksi

BEP biaya produksi merupakan perbandingan antara biaya produksi dengan total produksi. Sebab produk
yang dihasilkan ada tiga jenis, maka perhitungan BEP biaya produksi ini pun dilakukan untuk masing masing produk.

1) BEP biaya produksi gubal : Rp 402.200.000,00
1200 kg
: Rp 335.166,67 / kg

Artinya,titik balik modal usaha produksi gubal gaharu bila harga produksi mencapai: Rp 335.166,67 / kg

2) BEP biaya produksi kemedangan : Rp 402.200.000,00
12.000 kg
: Rp 33.516,66 / kg

Artinya, titik balik modal usaha produksi kemedangan gaharu bila harga produksi mencapai: Rp 33.516,66 / kg

3) BEP biaya produksi abu / bubuk : Rp 402.200.000,00
18.000 kg
: Rp 22.344,44 / kg

Artinya, titik balik modal usaha produksi abu bubuk gaharu bila harga produksi mencapai: Rp 22.344,44 / kg

2. B/C ( benefit cost ) ratio

Benefit cost ( B/C ) ratio yang merupakan nilai perbandingan antara hasil penjualan
dengan biaya operasional.

B/C ratio: Rp 30.600.000.000,00
Rp 402.200.000
: 76,08.

Artinya, dari biaya yang di keluarkan sebesar Rp 402.200.000,00 akan diperoleh hasil penjualan
76,08 kali lipat, sehingga sangat layak untuk di usahakan.

3. ROI ( return of infestment )

Return of Infestment ( ROI ) merupakan nilai perbandingan antara keuntungan usaha dengan biaya
operasional dikalikan 100%.

ROI: Rp 30.197.800.000,00 x 100%
Rp 402.200.000,00
: 7.508,15 %

Artinya, dari biaya yang di keluarkan sebesar Rp 100,00 akan dihasilkan keuntungan sebesar: Rp
7508,15 sehingga penggunaan modal untuk usaha ini sangat efisien.

Terimakasih,
Muji Tarmiji

Sabtu, Juni 20, 2009

Pelatihan Budidaya Gaharu

Budidaya gaharu saat ini memang belum banyak dipahami bagi sebagian masyarakat Indonesia. Mulai bagaimana pemilihan bibit yang baik, perawatan, pemupukan dan pemberian serum unyuk membantu proses pembentukan gaharu, sampai bagaimana cara panen gaharu. Hanya sedikit masyarakat kita yang memahami, demikian yang disampaikan Ganif Aswoko disela-sela obrolan santai kami di Sawangan Permai, 20 Juni 2009.

Bertujuan memberikan pemahaman tersebut, Universitas Indonesia, dengan beberapa ahli gaharu berencana mengadakan Pelatihan Budidaya Gaharu, pada bulan Agustus 2009.

Ketentuan dan persyaratan peserta Pelatihan:
1. Pelatihan diadakan selama 2 hari, sehari teori, sehari terjun ke lapangan
2. Materi meliputi: Pembibitan, Penyuntikan serum dan tata cara panen
3. Investasi 2,5 juta per peserta
4. Minimal peserta 10 orang

Peminat diharapkan bisa menghubungi via email:
1.Ganif Aswoko , ganifaswoko@yahoo.com atau
2.Taqyuddin SSi MHum , taqygeo@gmail.com

Rabu, Juni 17, 2009

Manfaat Gaharu

Sampai saat ini, pemanfaatan gaharu masih dalam bentuk bahan baku (kayu bulatan, cacahan, bubuk,atau fosil kayu yang sudah terkubur. Setiap bentuk produk gaharu tersebut mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda. Gaharu mempunyai kandungan resin atau damar wangi yang mengeluarkan aroma dengan keharuman yang khas. Dari aromanya itu yang sangat popular bahkan sangat disukai oleh masyarakat negara-negara di Timur Tengah, Saudi Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan Cina, Korea, dan Jepang sehingga dibutuhkan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis asesoris serta untuk keperluan kegiatan keagamaan, gaharu sudah lama diakrabi bagi pemeluk agama Budha, dan Hindu.

Dengan seiringnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu bukan hanya berguna sebagai bahan untuk industri wangi-wangian saja, tetapi juga secara klinis dapat dimanfaatkan sebagai obat.
Gaharu bisa dipakai sebagai obat: anti asmatik, anti mikroba, stimulant kerja syaraf dan pencernaan ,obat sakit perut, perangsang nafsu birahi, penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, tumor paru-paru, obat tumor usus ,penghilang stress, gangguan ginjal, asma, hepatitis, sirosis, dan untuk kosmetik (perawatan wajah dan menghaluskan kulit).

dari beberapa sumber.

Sabtu, Mei 23, 2009

Panen Gaharu

Bulan April 2009 yang lalu, di kebun gaharu milik Bapak Jonhy Wangko di Sukabumi Jawa Barat, telah dilakukan panen gaharu. Gaharu yang dipanen berumur 8 tahun, 3 tahun setelah penyuntikan serum. Panen disaksikan oleh Dr. Ir. Faisal Salampessy, SH. Dipl. Int, selaku Sekjen ASGARIN dan juga perwakilan dari Litbang Deartemen Kehutanan.
Dari Panen kali ini, diperoleh hasil gaharu kira-kira 60 kg/batang gaharu kering, dengan harga jual bervariasi sesuai kwalitas, yaitu Rp. 500.000 per kg, 3 juta/kg dan 6 juta /kg.

Pada hari Jumat, tgl 22 Mei 2009, di Jakarta, Bapak Ganif Aswoko, Ketua DMI Kota Depok, Bapak Taqyuddin SSi MHum, dari Universitas Indonesia, bapak Jonhy Wangko sebagai pelopor budidaya gaharu dan Dr. Ir. Faisal Salampessy, SH. Dipl. Int, Sekjen ASGARIN bertemu untuk menentukan langkah langkah yang akan dilakukan guna mensukseskan program budidaya gaharu di Indonesia.

Dalam waktu dekat diharapkan Universitas Indonesia bisa mengadakan semacam forum diskusi atau seminar bertaraf internasional, membahas tentang budidaya gaharu di Indonesia. Dengan harapan masyarakat Indonesia lebih paham dan ikut mensukseskan budidaya gaharu. Menurut Ganif Aswoko, budidaya gaharu Indonesia sebenarnya lebih maju daripada negara lain seperti Vietnam, India dan Malaysia.

Dalam kesempatan sebelumnya, bapak Salampessy dan Bapak Tarmizi Taher (Ketua DMI Pusat) sepakat untuk mengembangkan budidaya gaharu melalui jalur masjid di seluruh Indonesia.

Masyarakt yang ingin menanam gaharu tidak perlu kawatir tentang penjualan gaharu hasil panen nanti, karena ASGARIN akan menampung gaharu dari seluruh Indonesia, dengan harga sesuai kwalitas/standard mutu.

Senin, Mei 04, 2009

Inokulasi Percepat Produksi Gaharu

Untuk mengantisipasi kemungkinan punahnya pohon penghasil gaharu jenis-jenis langka sekaligus pemanfaatannya secara lestari. Badan Litbang Kehutanan melakukan upaya konservasi dan budidaya serta rekayasa untuk mempercepat produksi gaharu dengan teknologi induksi atau inokulasi.

Serangkaian penelitian yang dilakukan Badan Litbang Kehutanan saat ini telah menghasilkan teknik budidaya pohon penghasil gaharu dengan baik, mulai dari perbenihan, persemaian, penanaman, hingga pemeliharaannya. Sejumlah isolat jamur pembentuk gaharu hasil eksplorasi dari berbagai daerah di Indonesia telah teridentifikasi berdasar ciri morfologis. Penelitian yang dilakukan juga telah menghasilkan empat isolat jamur pembentuk gaharu yang telah teruji dan mampu membentuk infeksi gaharu dengan cepat. Inokulasi menggunakan isolat jamur tersebut telah menunjukkan tanda-tanda keberhasilan hanya dalam waktu satu bulan. Ujicoba telah dilakukan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Banten.

Secara teknis, garis besar tahapan rekayasa produksi gaharu dimulai dengan isolasi jamur pembentuk yang diambil dari pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh pohon yang dibudidayakan. Isolat tersebut kemudian diidentifikasi berdasar taksonomi dan morfologi lalu dilakukan proses skrining untuk memastikan bahwa jamur yang memberikan respon pembentukan gaharu sesuai dengan jenis pohon penghasil gaharu agar memberikan hasil optimal. Tahap selanjutnya adalah perbanyakan jamur pembentuk gaharu tadi, kemudian induksi, dan terakhir pemanenan.

Di pasaran dalam negeri, kualitas gaharu dikelompokkan menjadi 6 kelas mutu, yaitu Super (Super King, Super, Super AB), Tanggung, Kacangan (Kacangan A, B, dan C), Teri (Teri A, B, C, Teri Kulit A, B), Kemedangan (A, B, C) dan Suloan. Klasifikasi mutu tersebut berbeda dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang membagi mutu gaharu menjadi 3 yaitu Klas Gubal, Kemedangan, dan Klas Abu. Perbedaan klasifikasi tersebut sering merugikan pencari gaharu karena tidak didasari dengan kriteria yang jelas.

dari beberapa sumber.

Sabtu, April 18, 2009

Teknologi Pembibitan Gaharu


Teknologi perbanyakan bahan tanaman gaharu telah berhasil melalui melalui teknologi kultur jaringan, seperti yang telah dikembangkan oleh Litbang Departemen Kehutanan. Dalam implementasinya produk tersebut juga sudah mulai disalurkan kepada masyarakat petani di beberapa daerah di beberapa Provinsi di Indonesia.

Rekayasa Inokulasi Jamur
Tanaman berumur 5 tahun memiliki diameter dbh 10 cm, dan siap untuk di inokulasi dengan jamur (Fusarium).
Teknik penyuntikan jamur ke dalam kayu gaharu sehingga menjadi ter-infeksi dan berpeluang kayu gaharu menghasilkan resin setelah 1-3 tahun kemudian.
Resin gaharu yang berkualitas memerlukan penerapan teknologi secara benar dan terkontrol.
Ciri pohon gaharu yang produktif dapat dikenali melalui warna atau noda hitam dan aroma harum.

Kualitas kayu gaharu dulu dibedakan menjadi 2 yaitu:
(a) jenis super (kualitas 1 hingga kualitas 3), dan
(b) jenis buaya.
Harga komoditas gaharu tahun 2007 tercatat Rp. 500 ribu - 2 juta rupiah per kg.

Brosur DMI Depok

Senin, April 06, 2009

Teh Gaharu

Minum teh hangat merupakan suatu kenikmatan tersendiri bagi kita, apalagi disaat cuaca dingin seperti sekarang ini. Saat ini selain menghasilkan bahan untuk obat maupun minyak wangi, ternyata gaharu juga bisa dijadikan teh. Barangkali sebagian dari kita belum pernah merasakan Teh Gaharu. Sebuah perusahaan di Malaysia AROMAMAS ENTERPRISE sudah mengeluarkan produk teh gaharu ini.

Dari informasi yang kami peroleh, berikut ini manfaat dan khasiat dari teh gaharu:

1.Membantu masalah insomnia/sukar tidur
2.Membantu merendahkan tahap kolestrol
3.Membantu meredakan ketegangan/hiperten si/stress
4.Membantu mengurangkan toksik dalam badan
5.Tanpa gula - Tanpa Kafein - Tanpa Asis Tanin
6.Mengatasi masalah pelawasan
7.Anti Oksidant
8.Mengurangkan kadar tekanan dalam darah dan gula yang tinggi

Terbuka peluang untuk menjadi agen pemasaran, ada yang berminat?

Senin, Maret 30, 2009

Panen Gaharu

Ketua Team Masjid Gaharu DMI Kota Depok, Ganif Aswoko mengundang para petani gaharu, ataupun yang berminat pada budidaya gaharu untuk bersama-sama melihat dari dekat proses panen gaharu. Kebun gaharu yang akan dipanen adalah kebun milik Bapak Joni Wangko, yang terletak di daerah Sukabumi Jawa Barat. Pelaksanaan panen akan dilakukan pada bulan April 2009.

Maksud dari kegiatan ini adalah untuk memberikan penjelasan secara langsung proses panen gaharu, dengan cara melihat dari dekat. Akan sangat bermanfaat bagi para petani maupun investor yang tertarik dengan budidaya gaharu.

Diharapkan bagi yang berminat melihat panen gaharu ini untuk menghubungi Bapak Ganif Aswoko.

Selasa, Maret 24, 2009

Gaharu Tumbuh Liar Di Tapanuli

Salam kemakmuran.. .

Halo rekan sekalian, bolehkan saya disini sedikit banyak mulut. Eeeeh, maksudnya pengen cerita tentang pengalaman hari Jum'at lalu tentang gaharu. Tanggal 13 maret 2009, tepatnya hari Jum'at, saya diundang salah satu rekan pakar gaharu di Bogor, asli Sumatera utara ke pertemuan akbar petani di Tarutung. Bapak Ir, Joner Pangihutan M.Si dari Biotrop Bogor. Beliau sebagai narasumber pada acara itu, sedangkan saya adalah tamu biasa aja. Tapi karena saya undangan khusus pada acara itu, saya berksempatan duduk pada kursi paling depan, sehingga berpotensi berkenalan dengan beberapa pejabatsetempat.

Ternyata acara itu juga di muati nuansa politik, untuk mendukung salah satu partai di negeri kita. Saya sedikit terkejut, karena pada undangan tersebut tidak ada berita politik segala. Tapi baiklah,ada atau tidak muatan politik tidak kita bahas. Namun, yang minta didukung namanya pada adalah juga mendukung pertanian di daerah itu.

Acara dimulai pada jam 11 wib, diadakan di gedung Serba guna Tarutung. Undangan sekitar 1500 orang, namun yang hadir ada sekitar 1700 orang. Sungguh luar biasa pikir saya, karena yang hadir pada saat itu dimulai dari petani, kelompok tani, KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan), Penyuluh Pertanian, Pejabat Pertanian, Seluruh jajaran Pemkab Tapanuli utara, juga tak ketinggalan Bapak TORANG LUMBAN TOBING, Bupati Tapanuli utara terpilih.

Acara berlangsung hikmat, seru dan gembira.
Satu demi satu acara di langsungkan, dimulai dari Nara sumber Bapak Ojak Siagian, mantan anggota MPR RI,yang juga pernah menjabat sebagai pengurus KTNA Nasional.
Beliau berpendapat, petani Sumatera utara tidak ketinggalan teknologi. Karena,
beberapa petani nasional masih banyak yang mempunyai nama di pertanian nasional.
Acara ke dua, Nara sumber nya bapak Ir, Joner Pangihutan Situmorang, M.Si dari
BIOTROP Training and Information Centre, Bogor.

Pada saat itu, acara berlangsung sangat hidmat seperti sedang dalam merenung masal.
Mengapa ??? Beliau menerangkan betapa pohon Gaharu yang mempunyai potensi dan nilai jual juga manfaat serta harganya yang sangat menggiurkan tersebut, ternyata sangat banyak tumbuh liar di Tapanuli utara.

Para petani terkejut, dan mengatakan: "Ai songondia do hau na dohot aha do goarna molo adong dison?". artinya,: Seperti apa sich pohonnya, dan apa nama bahasa daerah sini kalo emang benar itu ada disini???
Sungguh ironis, petani belum mengenal tumbuhan yang bernama Gaharu tersebut.
Padahal, bila petani mau investasi 10 pohon saja untuk di tanam dipekarangan rumah, dan itu dilaksanakan setiap yang namanya petani, bisa kita bayangkan, negeri ini aman, minimal tidak ada maling atau Koruptor. Karena dapat kita hitung kasar, setiap pohon akan menghasilkan getah gaharu sebanyak 3 - 5 kg saja, dengan harga rata rata Rp 10.000.000.00 / kg. Maka petani akan memanen gaharunya 7 - 10 tahun mendatang, 10 pohon dikali kan 1 kg saja dengan harga tsb diatas, maka: Rp 100.000.000. 00 / Kepala Keluarga. Bila petani / masyarakat masing masing sudah memiliki uang sebanyak itu dengan rata-rata. Secara sosial, negeri ini akan aman sedemikian rupa.
Memang benar, di Kabupaten Tapanuli utara itu sangat banyakpohon gaharu

tersebut, ratusan atau bahkan ribuan tumbuh liar di sela sela pohon karet, kemenyan yang berada diatas tanah / hutan masyarakat. Artinya bukan berada di hutan lindung. Posisi paling banyak pohon gaharu itu berada di Kecamatan Adian koting dan Kecamatan Pahae Julu.

Acara selesai pada pukul 15 wib.
Masyarakat sangat antusias, sebagian besar mendatangi bapak Situmorang untuk menanyakan lebih lanjut dan tentang no hp.Juga saya, yang sedikit pun tidak bersuara atau berbicara kedepan mimbar, tapi mereka tau kalau saya adalah tamu dari luar deerah, sebagian kecil mereka juga mengerubungi atau mengadakan tanya jawab dengan saya. Mungkin tadinya saya dianggap sebagai Peneliti gaharu dari Bogor juga.

Selesai acara kami terus kerumah dinas bupati, atas undangan beliau. Ternyata bapak bupati juga merasa penasaran juga terhadap gaharu. Mengapa saya sebagai kepala daerah tidak mengetahui keberadaan gaharu di kampong saya, pikirnya.
Maka kami: Bapak Ojak Siagian, Bapak Joner Situmorang, Bapak Bloner Nainggolan (Kepala Badan Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kehutanan), Staff bupati dan Bapak Bupati berangkat dengan mengendarai mobil dinas bupati menuju lokasi pohon gaharu terdekat dan terjangkau untuk dilihat. Sekitar 30 km dari Tarutung menuju. Kecamatan Adaian koting. Yang sangat aneh saya rasa adalah bapak Torang Lumban Tobing adalah seorang bupati yang bersahaja, dekat dengan rakyatnya, terbukti dari kunjungan kami ke Adaian koting tersebut, beliau lah yang memandu atau menyupir mobil dinas bupatinya bersama sama kami. Sungguh luar biasa. Kami menanyakan: "Bah !!! Pak bupati do na mamboan mobil?" Lho, pak bupati yang menyupir mobil?
Apa jawab beliau: "Akh, bupati masa kini do!" Akh, biasa. Bupati jaman sekarang.

Nah, dari pelajaran ini, banyak yang dapat kita suri tauladani. Sebagai pemimpin daerah, bupati juga sangat mendukung tentang pertanian. Juga gaharu yang hidup di Tapanuli utara itu juga hidup di Asahan. Seperti kita ketahui, di Asahan juga ada di 2 kecamatan.Kecamatan Air batu dan Bandar pulau. Mengapa tidak kita lestarikan seperti halnya para pembudidaya gaharu dari daerah lain. Inikan suatu modal untuk masa depan kita. Untuk menyelamatkan gaharu di Asahan, mari kita lestarikan.
Mari kita hijaukan Asahan dengan Gaharu, yang memang sudah sangat langka.

Gaharu kita sudah punah, karena selama ini banyak para pemburu gaharu yang menebangnya dengan liar, dan tidak terpikirkan oleh mereka untuk mengganti tanam gaharu tersebut.Ini menjadi tanggung jawab kita untuk mengganti tanam, seperti Reboisasi. Bedanya, reboisasi kita tidak perlu tanam ke hutan, kita juga dapat menanamnya kembali di pekarangan rumah kita, atau di sekitar halaman balai desa juga halaman rumah ibadah.
Kalau bisa, mari kita sukseskan program bapak SBY, yang menyatakan di tahun 2009 ini kita harus menanam 1 pohon untuk 1 jiwa penduduk negeri ini, maka untuk ambil surplus nya mari kita tanam 10 pohon untuk setiap jiwa. Seperti yang sudah dilaksanakan Pemerintah Daerah Garut Jawa barat, setiap pasangan Pengantin baru dan pasangan yang akan mengurus perceraian rumahtangga di kantor urusan agama, di wajibkan menanam pohon agar daera Garut tersebut akan hijau berpenghijauan.

Dari cerita diatas, saya mengharapkan dukungan para rekan rekan pembaca untuk mendukung program penghijauan ini. Baik dari Asahan maupun masyarakat Asahan dimanapun berada.
Agar terwujud cita cita Gaharu di Asahan yang kita cintai ini. trampil para putera puteri nya yang akan menyongsong masa depan.

Terimakasih.

Muji Tarmiji.

Asahan Budidaya Gaharu - Club.

Best Regards.

sumber: millist pecinta gaharu

Minggu, Maret 22, 2009

Kemitraan UI dan DMI Kota Depok, Manfaat

Manfaat:
1. Kepedulian Universitas Indonesia dalam mengamalkan Tridarma Perguruan Tinggi yaitu Pengabdian Masyarakat dalam pembangunan partisipatif penguatan ekonomi ummat/masyarakat dan pengentasan pengangguran serta kemiskinan akibat krisis multi demensi dan bencana alam.

2. Pengembangan Riset Universitas Indonesia dalam mendukung penyediaan bahan tanaman melalui teknologi kultur jaringan, penelitian farmasi resin gaharu berkualitas tinggi.

3.Memberdayakan lapangan kerja petani pembibitan, petani penggarap, petani pemelihara, petani pengumpul dan pedagang (termasuk eksport import).

4.Memberdayakan sumberdaya lahan: masjid, pemakaman, pondok pesantren, pekarangan masyarakat, lahan terlantar (kritis) melalui budidaya gaharu, berarti memberikan kontribusi mendukung program perbaikan lingkungan hidup dan peningkatan produktifitas sumberdaya lahan.

5.Membudayanya teknologi usaha budidaya gaharu bagi ummat/masyarakat pedesaan dan perkotaan.

6.Memenuhi tuntutan pasar kayu gaharu dan resin gaharu dalam negeri maupun luar negeri.

Team Program “Masjid Gaharu” Kota Depok

Untuk membeli bibit gaharu, umat/masyarakat dapat menghubungi :
Team Program “Masjid Gaharu” Kota Depok

1.Ganif Aswoko, ganifaswoko@yahoo.com
2.Taqyuddin SSi MHum, email : taqygeo@gmail.com

Kamis, Maret 19, 2009

Kemitraan UI dan DMI Kota Depok, Maksud dan Tujuan

Maksud
Universitas Indonesia bersama Dewan Masjid Indonesia Kota Depok mewujudkan nota kesepakatan pengelolaan dalam melakukan kerjasama penelitian dan budidaya tanaman gaharu untuk peningkatan kesejahteraan umat/masyarakat dengan pemanfaatan lahan Masjid dan lahan umat/masyarakat sekitar Masjid.

Tujuan
1. Peningkatan produktivitas lahan Masjid
2. Memberikan peluang usaha alternatif
3. Meningkatkan pendapatan pengelolaan masjid dan umat
4. Masjid sebagai pusat aktifitas umat dalam bidang pendidikan agama, ekonomi, sosial serta budaya(teknologi)

Upaya peningkatan produktivitas lahan dengan budidaya komuditas gaharu diperlukan penelitian tersendiri, hal ini penting karena dengan mengetahui lahan yang tersedia dan syarat tumbuh tanaman, diperoleh perhitungan produksi yang dihasilkan perpohon dan atau perhektar hingga mencapai daur ekonomis.

Rabu, Maret 18, 2009

Kemitraan UI dan DMI Kota Depok

Latar Belakang
Menghadapi permasalahan umat, bangsa dan negara adalah tanggung jawab bersama. Peran serta berbagai pihak sangat diharapkan baik perguruan tinggi, lembaga atau institusi masyarakat, investor dan umat.

Banyak program yang sudah dijalankan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah hanya percepatan dan kerjasama yang harmonis dari seluruh lapisan masyarakat dapat mempercepat umat/masyarakat untuk keluar dari cekaman krisis multi dimensi yang salah satunya yaitu krisis ekonomi. Untuk itu Universitas Indonesia melalui Pusat Penelitian Geografi Terapan (PPGT-FMIPA UI) bersama Dewan Masjid Indonesia Kota Depok sepakat untuk bekerjasama dalam Program "Masjid Gaharu". Hal ini dalam rangka pencanangan Tahun Gaharu Indonesia 2009 dan Program Indonesia Wangi Gaharu 2019.

Sabtu, Februari 21, 2009

MOU Budidaya Gaharu ditandatangani

Pada tanggal 18 Februari 2009, bertempat di Hotel sultan Jakarta telah ditandatangani MOU Budidaya tanaman gaharu antara MKGR, ASGARIN dan DMI Pusat. Penandatanganan MOU bertepatan dengan acara pembentukan Dewan pengurus ASGARIN. Pengembangan budidaya gaharu akan melibatkan 100.000 masjid di seluruh Indonesia. Demikian disampaikan Ganif Aswoko, ketua DMI Depok di rumahnya di Sawangan Permai.

Persaingan harga kayu gaharu di pasar Timur Tengah, Taiwan dan Jepang sangat ketat. Negara pesaing utama produk gaharu yaitu India, Malaysia, Kamboja dan Thailand yang sering mematok harga lebih rendah dari komoditi Indonesia dengan kualitas lebih baik.

DMI kota Depok telah lebih dulu mengadakan kerjasama budidaya gaharu dengan Universitas Indonesia.

Senin, Februari 16, 2009

Foto : Kebun gaharu




Kebun Gaharu, beberapa batang sudah diinjek dengan serum.

Foto: Pohon gaharu

Berita Foto:
Ganif Aswoko, Pelopor pengembangan gaharu dari DMI Depok bekerja sama dengan UI.
Gambar menunjukan saat Pak Ganif berkunjung ke perkebunan di Bogor yang baru di injek serum. Umur pohon yang terlihat sudah 15 tahun, dengan disuntik akhir tahun 2008, maka akan dipanen tahun 2010.
Ganif Aswoko, email: ganifaswoko@yahoo.com

Minggu, Februari 15, 2009

Pengujian Mutu Gaharu

Cara Uji Gaharu

1. Prinsip : Pengujian dilakukan secara kasat mata (visual) dengan mengutamakan kesan warna dan kesan bau (aroma) apabila dibakar.

2. Peralatan yang digunakan meliputi meteran, pisau, bara api, kaca pembesar (loupe) ukuran pembesaran > 10 (sepuluh) kali, dan timbangan.

3. Syarat pengujian

a. Kayu gaharu yang akan diuji harus dikelompokkan menurut sortimen yang sama. Khusus untuk abu gaharu dikelompokkan menurut warna yang sama.

b. Pengujian dilaksanakan ditempat yang terang (dengan pencahayaan yang cukup), sehingga dapat mengamati semua kelainan yang terdapat pada kayu atau abu gaharu.

4. Pelaksanaan pengujian

a. Penetapan jenis kayu
Penetapan jenis kayu gaharu dapat dilaksanakan dengan memeriksa ciri umum kayu gaharu.

b. Penetapan ukuran
Penetapan ukuran panjang, lebar dan tebal kayu gaharu hanya berlaku untuk jenis gubal gaharu.

c. Penetapan berat
Penetapan berat dilakukan dengan cara penimbangan, menggunakan satuan kilogram (kg).

d. Penetapan mutu
Penetapan mutu kayu gaharu adalah dengan penilaian terhadap ukuran, warna, bentuk, keadaan serat, bobot kayu, dan aroma dari kayu gaharu yang diuji.

Sedangkan untuk abu gaharu dengan cara menilai warna dan aroma.
1. Penilaian terhadap ukuran kayu gaharu, adalah dengan cara mengukur panjang, lebar dan tebal, sesuai dengan syarat mutu.
2. Penilaian terhadap warna kayu dan abu gaharu adalah dengan menilai ketuaan warna, lebih tua warna kayu, menandakan kandungan damar semakin tinggi.
3. Penilaian terhadap kandungan damar wangi dan aromanya adalah dengan cara memotong sebagian kecil dari kayu gaharu atau mengambil sejumput abu gaharu, kemudian membakarnya. Kandungan damar wangi yang tinggi dapat dilihat dari hasil pembakaran, yaitu kayu atau abu gaharu tersebut meleleh dan mengeluarkan aroma yang wangi dan kuat.
4. Penilaian terhadap serat kayu gaharu, adalah menilai kerapatan dan kepadatan serat kayu. Serat kayu yang rapat, padat, halus dan licin, bermutu lebih tinggi dari pada serat yang jarang dan kasar.

e. Penetapan mutu akhir
Penetapan mutu akhir didasarkan pada mutu terendah menurut salah satu persyaratan mutu berdasarkan karakteristik kayu gaharu.

Sabtu, Februari 14, 2009

Kiat Cepat Panen Gaharu

Gaharu mati setelah setahun disuntik cendawan. Ia memang tak bersalah, tapi terpaksa disakiti agar gubal yang harum segera muncul. Batang gaharu Aquilaria malaccensis berumur minimal 5 tahun dibor secara spiral. Artinya, setiap ujung bidang gergaji pertama akan bersambungan dengan bidang gergaji kedua. Begitu selanjutnya. Bidang gergajian itulah yang diberi cendawan.

Setahun pasca penyuntikkan gubal sudah dapat dituai. Teknik sebelumnya, antar bidang gergaji tidak saling berhubungan. Interval antar bidang sekitar 10 cm dan perlu 2-3 tahun menuai gubal.

Modifikasi teknologi pemberian cendawan itu dikembangkan oleh Drs Yana Sumarna MSi, periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Ia memberikan cendawan Fusarium spp pada setiap batang gaharu. Setahun berselang, ia bisa memanen 10 kg gubal gaharu dari pohon umur 6 tahun. Cara ini lebih efektif dibandingkan teknik lama lantaran teknik spiral mampu menahan pohon tetap berdiri kokoh walau ditiup angin kencang. Siapkan alat yang diperlukan: bor kayu dengan mata bor berdiameter 13 mm untuk melubangi batang, gergaji, spidol sebagai penanda tempat pelubangan, alat ukur, kapas, spatula, pinset, alkohol 70%, lilin lunak dan bibit gubal berupa cendawan.

Proses pengerjaannya sederhana.

1. Inokulan berupa cendawan untuk membantu proses terbentuknya gubal. Beberapa contoh cendawan padat adalah Diplodia sp, Phytium sp, Fusarium sp, Aspergillus sp, Lasiodiplodia sp, Libertela sp, Trichoderma sp, Scytalidium sp, dan Thielaviopsis sp. Cendawan itu diperbanyak dengan mencampur satu sendok cendawan dan 100 gram limbah serbuk kayu gaharu. Simpan satu bulan di botol tertutup rapat.

2. Buat tanda di lapisan kulit pohon berdiameter 10 cm dengan spidol untuk menentukan bidang pengeboran. Titik pengeboran terbawah, 20 cm dari permukaan tanah. Buat lagi titik pengeboran di atasnya dengan menggeser ke arah horizontal sejau 10 cm dan ke vertikal 10 cm. Dengan cara sama buatlah beberapa titik berikutnya hingga setelah dihubungkan membentuk garis spiral.

3. Gunakan genset untuk menggerakkan mata bor. Buat lubang sedalam 1/3 diameter batang mengikuti garis spiral bidang pengeboran.

4. Bersihkan lubang bor dengan kapas yang dibasuh alkohol 70% untuk mencegah infeksi mikroba lain.

5. Masukkan cendawan ke dalam lubang dengan menggunakan sudip. Pengisian dilakukan hingga memenuhi lubang sampai permukaan kulit.

6. Tutup lubang yang telah diisi penuh cendawan dengan lilin agar tak ada kontaminan. Untuk mencegah air merembes, permukaan lilin juga ditutup plester plastik.

7. Cek keberhasilan penyuntikan setelah satu bulan. Buka plester dan lilin.
Inokulasi cendawan sukses jika batang berwarna hitam. Setelah itu buat sayatan ke atas agar kulit bawah terkelupas. Ini memudahkan untuk membuka dan menutup saat pengecekan selanjutnya.

8 . Satu tahun kemudian gaharu dipanen. Untuk meningkatkan keberhasilan, pekebun
menambahkan senyawa pemicu stres. Dengan begitu daya tahan gaharu melemah, cendawan mudah berkembang biak, dan gubal pun lebih cepat terbentuk. Trubus 2006

Rabu, Februari 11, 2009

Produksi gaharu secara buatan

Ada beberapa tahapan dalam produksi gaharu secara buatan, antara lain:

Isolasi jamur pembentuk.

Isolat jamur pembentuk diambil dari jenis pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh jenis pohon yang dibudidayakan.

Identifikasi dan seleksi.

Isolat jamur pembentuk diidentifikasi berdasarkan taksonomi dan morfologinya. Proses seleksi dilakukan dengan menggunakan postulat koch untuk memastikan jamur yang memberikan respons pembentukan gaharu, memang berasal dari jamur yang diinokulasi.

Teknis perbanyakan inokulum.

Biakan murni jamur pembentuk gaharu dapat diperbanyak pada media cair dan media padat. Diperlukan ketrampilan khusus dalam memperbanyak jamur agar proses kemurnian dan peluang masing-masing jenis jamur pembentuk gaharu akan memberikan respon yang berbeda apabila disuntik pada jenis pohon penghasil gaharu yang berbeda.

Teknik induksi.

Teknik induksi jamur pembentuk gaharu dilakukan pada batang pohon penghasil gaharu. Reaksi pembentukkan gaharu akan dipengaruhi oleh daya tahan inang terhadap induksi jamur dan kondisi lingkungan. Respon inang ditandai oleh perubahan warna coklat setelah beberapa bulan disuntik. Semakin banyak jumlah lubang dan inokulum dibuat, maka semakin cepat pembentukkan gaharu terjadi. Proses pembusukan batang oleh jamur lain dapat terjadi apabila teknik penyuntikan tidak dilakukan sesuai prosedur.

Pemanenan.

Pemanenan gaharu dapat dilakukan minimum 1 tahun setelah proses induksi jamur pembentuk gaharu. Apabila ingin mendapatkan produksi gaharu yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas, maka proses pemanenan dapat dilakukan 2-3 tahun setelah proses induksi jamur.

Selasa, Februari 10, 2009

Cara Pengambilan Gaharu

1. Gubal gaharu dan kemedangan diperoleh dengan cara menebang pohon penghasil gaharu yang telah mati, sebagai akibat terjadinya akumulasi damar wangi yang disebabkan oleh infeksi pada pohon tersebut.

2. Pohon yang telah ditebang lalu dibersihkan dan dipotong-potong atau dibelah-belah, kemudian dipilih bagian-bagian kayunya yang telah mengandung akumulasi damar wangi, dan selanjutnya disebut sebagai kayu gaharu.

3. Potongan-potongan kayu gaharu tersebut dipilah-pilah sesuai dengan kandungan damarnya, warnanya dan bentuknya.

4. Agar warna dari potongan-potongan kayu gaharu lebih tampak, maka potongan-potongan kayu gaharu tersebut dibersihkan dengan cara dikerok.

5. Serpihan-serpihan kayu gaharu sisa pemotongan dan pembersihan atau pengerokan, dikumpulkan kembali untuk dijadikan bahan pembuat abu gaharu.

Standard Gaharu

Kamis, Februari 05, 2009

Penanaman Dan Pemeliharaan

Menanam Bibit

Kegiatan menanam gaharu dimulai dari pemilihan jenis/species, Aquilaria malaccensis, A. microcarpa serta A. crassna adalah species penghasil gubal gaharu dengan aroma yang sangat disenangi masyarakat Timur Tengah, sehingga memiliki harga paling tinggi.



Lokasi Penanaman, Gaharu dapat ditanam mulai dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 750 m dpl, dengan pola tanam monokultur atau dengan sisetem tumpangsari. Jark tanam 3 x 3 m (1.000 pohon/ha.), namun dapat juga 2.5 x 3 m sampai 2.5 x 5 m. Jika tanaman gaharu ditanam pada lahan yang sudah ditumbuhi tanaman lain, maka jarak tanaman gaharu minimal 3 m dari tanaman tersebut.



Penyiapan lubang tanaman untuk bibit dengan ukuran lubang tanam 40 x 40 x 40 cm. Lubang yang sudah digali dibiarkan minimal 1 minggu, agar lubang beraerasi dengan udara luar. Kemudian masukkan pupuk dasar, campuran serbuk kayu lapuk dan kompos dengan perbandingan 3 : 1 sampai mencapai ¾ ukuran lubang. Kemudian setelah beberapa minggu pohon gaharu, siap untuk ditanam. Penanaman bibit gaharu sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan di pagi hari sampai jam 11.00, dan dapat dilanjutkan pada jam 16.00 sore harinya.



Pemeliharaan

Pemupukan dapat dilakukan sekali 3 bulan, namun dapat juga setiap 6 bulan dengan kompos. Penggunaan pupuk kimia seperti NPK dan majemuk dapat juga ditambahkan setiap 3 bulan dengan dosis rendah (5 gr/tanaman) setelah tanaman berumur 1 tahun, kemudian dosisnya bertambah sesuai dengan besarnya batang tanaman. Hama tanaman gaharu yang perlu diperhatikan adalah kutu putih yang hidup di permukaan daun bawah, bila kondisi lingkungan lembab. Pencegahan dilakukan dengan pemangkasan pohon pelindung agar gaharu terkena cahaya matahari diikuti penyemprotan pestisida seperti Tiodane, Decis, Reagent., dll Pembersihan rumput dapat dilakukan sekali 3 bulan atau pada saat dipandang perlu.


Pemangkasan pohon dilakukan pada umur 3 sampai 5 tahun, dengan memotong cabang bagian bawah dan menyisakan 4 sampai 10 cabang atas. Pucuk tanaman dipangkas dan dipelihara cukup sekitar 5 m, sehingga memudahkan pekerjaan inokulasi gaharu.

Rabu, Februari 04, 2009

Pengusaha Gaharu Bisa Kaya

Pengusaha gaharu bisa kaya, sebab per kilogramnya, gaharu kering dijual Rp 3 juta. Per pohon gaharu biasanya diperoleh 2 kilogram gaharu kering siap jual. Di umurnya 4 - 8 tahun sudah bisa dipanen. 

Ini terungkap saat pelatihan kelompok Gaharu 88 yang beralamat di Jl. Jati VIII No 80 a Sawah Lebar Bengkulu bekerjasama dengan Majalah Trubus menggelar pelatihan budidaya pohon gaharu Sabtu - Minggu (31 Januari - 1 Februari). Pelatihan diikuti dengan praktik di Jl. Cimanuk. 

Pelatihan diikuti 27 peserta yang berasal dari berbagai kota di Indonesia seperti Riau, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Pontianak dan Malaysia. Hal ini disampaikan Ketua Kelompok Gaharu 88, Ir. Joni Surya Djakfar. 

Peserta tampak antusias mendengarkan penjelasan dari pemateri yang berasal dari Asosiasi Gaharu Indonesia (Asgarin), Dr. M. Faisal Salampessy, SH. Peserta yang cukup menarik perhatian adalah mantan Sekjen Dephan RI, Letjen TNI Purn R.H. Soeyono, SE dan peserta dari Malaysia Dato' Dr. Hj. Ilias yang tampak serius memperhatikan penjelasan pemateri. 

"Pelatihan seperti ini merupakan media untuk disampaikan kepada masyarakat, kalangan pengusaha mengenai manfaat pohon gaharu yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sehingga dengan digelarnya pelatihan menarik masyarakat dan kalangan pengusaha untuk menanam pohon gaharu," ujar Joni. 

Nilai ekonomis gaharu terletak pada gubal gaharu yang muncul setelah pohon gaharu terinfeksi dan mati. Gubal gaharu mengandung damar wangi (aromatic resin) yang mempunyai aroma khas. Di Indonesia dijumpai tidak kurang dari 16 jenis tumbuhan penghasil gubal gaharu. 

"Gaharu juga bermanfaat untuk obat-obatan. Selain itu juga bermanfaat untuk wewangian. Saat ini kebutuhan gaharu dunia mencapai lebih dari 61.310 ton per tahun. Konsumsi gaharu terbesar seperti negara-negara Timur Tengah, Taiwan, Jepang, China. Di negara-negara tesebut gaharu menjadi kebutuhan pokok. Ini prospek yang sangat bagus," jelas Joni. 

Sekjen Asgarin, Dr. M. Faisal Salampessy, SH mengatakan, budidaya gaharu cukup mudah, tidak memerlukan perawatan tinggi dan Bengkulu memiliki struktur tanah yang cocok untuk tumbuhnya tanaman gaharu. "Bengkulu merupakan habitat tumbuhnya gaharu di pulau Sumatra. 

Pohon gaharu ini mudah dibudidayakan. Bisa ditanam sebagai tanaman tumpang sari, bisa ditanam di pekarangan rumah, batas tanah,median jalan, taman, pot dan lain-lain. Kebutuhan pasar terhadap gaharu juga semakin meningkat," ujar Faisal. 

Dilanjutkan Faisal, peran serta pemerintah sangat diperlukan untuk sosialisasi gaharu ini. "Pemerintah hendaknya lebih berkonsentrasi untuk memperhatikan komoditi ini. 

Selain memiliki nilai ekonomis tinggi budidaya gaharu juga akan meningkatkan jumlah tenaga kerja. Misalnya untuk proses pemanenan membutuhkan tenaga kerja yang relatif banyak. Pemanenan dilakukan dengan cara penebangan terhadap pohon gaharu dan selanjutnya dilakukan pemisahan dari tiap lubang bor yang telah membentuk gubal gaharu, ini membutuhkan tenaga kerja yang banyak," terang Faisal.(rei)


Rakyatbengkulu, Februari 2009

Wangi Gaharu

Andai saja Abdulqodir Hadi Mustofa mau, duit Rp328-juta masuk ke rekeningnya. Seorang pedagang menawar Rp4-juta per pohon karas Aquilaria malaccensis penghasil gaharu. Ia yang mempunyai 82 karas dan diinokulasi setahun lalu, menolak penawaran itu. 

Ia hakul yakin harga jual gaharu bakal meningkat ketika ia menebang dan memanennya kelak.Namun, celaka. Hanya berselang sebulan, semua karas di lahan Mustofa hilang karena ditebang orang. Tak satu pun pohon tersisa. Semua rata tanah karena bekas tebangan tertutup tanah. Lokasi kebunnya di Desa Sungaiduren, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muarojambi, 30 km dari rumahnya. Pohon-pohon berumur 10 tahun itu ia tanam di sela-sela pohon karet. Mustofa masygul. Ia kecewa. 'Ini belum rezeki saya,' kata pekebun gaharu itu. Potensi kerugiannya Rp328-juta. 

Abdulqodir Hadi Mustofa 'tersandung' wangi gaharu. Ia tak sendirian, tentu. Ada Kresna Sanubari-bukan nama sebenarnya-yang senasib dengannya. Pekebun di Pekanbaru, Provinsi Riau, itu pionir budidaya gaharu di Indonesia. Pada 1982 ia sudah menanam 1.000 bibit gaharu di lahan 5 ha tumpangsari dengan karet. Kresna percaya gaharu terbentuk secara alami. Oleh karena itu ia menghindari inokulasi alias-memasukkan mikroba ke jaringan pohon. 

Sebagai gantinya, Kresna mematahkan cabang sebagai pintu masuk cendawan. Langkah lain, memaku batang dari atas permukaan tanah hingga setinggi 3-4 m. Sekujur batang penuh paku. Ketika Trubus mengunjungi kebun Kresna pada awal 2008, ada 20-an pohon yang ia paku. Sepuluh tahun menunggu, pohon gaharu segar-bugar pertanda cendawan belum datang sehingga gubal atau kemedangan belum terbentuk. 
Inokulasi: rawan 

Gubal gaharu memang menggiurkan karena harga sangat mahal. Harga kelas super, misalnya, saat ini mencapai Rp15-juta per kg. Pekebun dan pemburu gubal gaharu pun berlomba-lomba mendapatkannya. Namun, memperoleh gubal tak semudah memecahkan telur ayam. Muhammad Amin, pekebun di Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menemui hambatan serupa. 

Tiga tahun lampau, ia menginokulasikan cendawan Fusarium lateritium ke sebuah pohon penghasil gubal gaharu. Enam bulan berselang, maut menjemput pohon anggota famili Thymelaeaceae itu tanpa meninggalkan gubal. Menurut Dr Sudirman, ahli gaharu dari Universitas Mataram, kegagalan itu lantaran diameter batang kecil, kurang dari 9 cm. Idealnya ukuran batang siap inokulasi bila berukuran minimal 10 cm. 

Dampaknya ketika batang dibor, jaringan xylem dan floem-organ pohon yang berperan mendistribusikan nutrisi ke seluruh jaringan tanaman-pun terputus. Sebab, pengeboran untuk membuat lubang inokulasi dari berbagai arah sehingga memungkinkan ujung beberapa lubang bertemu di satu titik. Jika begitu jaringan xylem dan floem bakal tak saling berhubungan alias terputus. Pasokan nutrisi pun terhenti dan akhirnya pohon mati.

Kegagalan serupa juga dialami Joni Surya, pekebun di Airsebakul, Kotamadya Bengkulu. Pada 2002, ia menginokulasi 10 pohon berumur 10 tahun berdiameter 20-25 cm. Ia membuat 250 lubang inokulasi di setiap pohon. Tiga botol inokulat-berisi cendawan, harga saat itu Rp100.000 sebotol-ia habiskan untuk menginokulasi sebuah pohon. Surya menunggu 3 tahun berharap agar pohon menghasilkan gubal bermutu tinggi. Berhasil? Tak sepenuhnya sukses lantaran ia cuma menuai rata-rata 2 kg kemedangan. Bagian tengah pohon keropos.

Kemedangan merupakan resin yang dihasilkan oleh pohon penghasil gaharu, tetapi mutunya di bawah gubal. Biasanya untuk memperoleh kemedangan, pekebun hanya menunggu setahun setelah inokulasi, bukan 3 tahun seperti ditempuh Joni Surya. Kegagalan inokulasi jamak ditemukan di berbagai daerah. Selain di Riau, Bengkulu, Lombok, kegagalan serupa juga terjadi di Balangan, Kalimantan Selatan. Dua tahun silam Muhidin, pekebun di Kecamatan Batumandi, Kabupaten Balangan, menginokulasi 30 pohon setinggi 2 m dan berdiameter 20-40 cm. Sayang, semua gagal. 

Hambatan inokulasi di berbagai daerah itu umumnya dialami pekebun yang baru pertama kali menginokulasi. Namun, kendala inokulasi bukan hanya 'monopoli' pekebun yang miskin pengalaman. Lihat saja Universitas Mataram yang mempunyai beberapa ahli gaharu dan mengelola perkebunan gaharu. Di lahan 132 ha, perguruan tinggi di Nusa Tenggara Barat itu mengelola 100.000 pohon penghasil gaharu Gyrinops verstigii. 
Ahli: gagal juga 

Para ahli gaharu dari Universistas Mataram menginokulasi ketika pohon berumur 7 tahun, tinggi 6 meter, dan diameter batang 11 cm. Mereka menyuntikkan 6 isolat cendawan. Namun, puluhan pohon mati setelah inokulasi. Dr Sudirman, ahli gaharu dari Universitas Mataram, tak mempunyai data pasti jumlah pohon yang mati. Menurut doktor alumnus University of Queensland itu kegagalan inokulasi terjadi lantaran terdapat isolat cendawan yang terlampau ganas. 

Sayang, ia belum dapat menunjukkan cendawan dimaksud yang menyebabkan kematian pohon penghasil gaharu. 'Pembentukan gaharu hanya bisa berlangsung pada tanaman hidup. Bila isolat mikroba terlalu ganas, maka tanaman cepat mati,' kata Dr Erdi Santosa MS, ahli gaharu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan.

Menurut Yana Sumarna MSi, periset gaharu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, terdapat 27 sepesies pohon penghasil gubal gaharu. Beberapa di antaranya adalah Aquilaria malaccensis, A. hirta, A. crassna, Aetoxylon sympetalum, dan Wikstroemia poliantha. Begitu juga jenis mikroba untuk inokulasi juga beragam. Sampai saat ini para ahli masih meriset kesesuaian antara spesies pohon penghasil gaharu dan mikroba untuk inokulasi. Selama ini relasi pohon penghasil gaharu-mikroba masih menjadi misteri.

Sebelum fase inokulasi, para pekebun menghadapi beragam masalah. Joni Surya membudidayakan 1.000 bibit gaharu Aquilaria malaccensis di lahan 3 ha. Ketika kemarau panjang terjadi di Bengkulu, satu per satu bibit mengering, lalu mati. Yang bertahan hidup sampai sekarang-berumur 5 tahun-hanya 500 pohon. Dengan harga sebuah bibit Rp25.000, ia kehilangan Rp12,5-juta di luar biaya perawatan, penanaman, dan pembuatan lubang tanam. 

Tirta, pekebun di Simpang Empat Nako, Bengkulu, mengalami hal serupa. Pada 2006 ia menanam 3.000 bibit gaharu di lahan 5 ha. Tirta menanam pohon penghasil gaharu di dekat kelapa sawit. Hingga berumur 2 tahun, gaharu memerlukan penaung. Sayangnya, Tirta menanam keduanya-gaharu dan kelapa sawit-bersama-sama saat umur keduanya relatif sama. Artinya, kelapa sawit tak cukup menaungi gaharu. 

'Gaharu yang tak ternaungi, secara fisiologis tanaman buruk karena penguapan sangat tinggi,' kata Yana Sumarna MSi. Dari 3.000 bibit, hanya 1.000 tanaman yang mampu bertahan. Kerugian Tirta untuk pembelian bibit mencapai Rp50-juta. 

Aroma wangi gaharu memang menarik banyak pekebun karena menjanjikan laba besar. Namun, banyak yang jatuh mengejar wangi itu. (Sardi Duryatmo/Peliput: Faiz Yajri, Dian Adijaya, Destika Cahyana, & Karjono)
Trubus, Januari 2009

Selasa, Februari 03, 2009

Spesifikasi & Klasifikasi Gaharu

Spesifikasi Gaharu:

Gaharu dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sortimen, yaitu gubal gaharu, kemedangan dan abu gaharu.

Klasifikasi Gaharu 

1. Gubal gaharu dibagi dalam tanda mutu, yaitu : 

a. Mutu utama, dengan tanda mutu U, setara mutu super. 
b. Mutu pertama, dengan tanda mutu I, setara mutu AB. 
c. Mutu kedua, dengan tanda mutu II, setara mutu sabah super. 

2. Kemedangan dibagi dalam 7 (tujuh) kelas mutu, yaitu : 

a. Mutu pertama, dengan tanda mutu I, setara mutu TGA atau TK I. 
b. Mutu kedua, dengan tanda mutu II, setara mutu SB I. 
c. Mutu ketiga, dengan tanda mutu III, setara mutu TAB. 
d. Mutu keempat, dengan tanda mutu IV, setara mutu TGC. 
e. Mutu kelima, dengan tanda mutu V, setara mutu M 1. 
f. Mutu keenam, dengan tanda mutu VI, setara mutu M 2. 
g. Mutu ketujuh, dengan tanda mutu VII, setara mutu M 3. 

3. Abu gaharu dibagi dalam 3 (tiga) kelas mutu, yaitu : 

a. Mutu Utama, dengan tanda mutu U. 
b. Mutu pertama, dengan tanda mutu I. 
c. Mutu kedua, dengan tanda mutu II. 

(Standard Gaharu, Dephut)

Istilah-Istilah Gaharu

 1. Abu gaharu adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan.

2. Damar gaharu adalah sejenis getah padat dan lunak, yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat, dan ditandai oleh warnanya yang hitam kecoklatan. 

3. Gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitam-hitaman berseling coklat. 

4. Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar, dan kayunya yang lunak. 

(SNI, Dephut).

Senin, Februari 02, 2009

Malaysia Berguru Budi Daya Gaharu di Indonesia

 Pontianak-Negara terdekat kita, Malaysia, tidak henti-hentinya berguru pada Indonesia dalam rangka mempersiapkan kemampuan sumber daya manusianya. Tujuannya agar mereka mampu menguasai bidang penelitian dan teknologi.

Setelah mendatangkan tenaga pengajar dari Indonesia, magang di bidang pengembangan tanaman karet klon unggul, pada Mei 2007 silam, pejabat dan peneliti Forest Research Institute Malaysia (FRIM) berguru di pusat pengembangan budi daya tanaman gaharu (Aguilaria spp) di Pulau Bangka, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Bengkulu, Banten dan Riau. Gaharu sangat laku di pasaran ekspor, untuk bahan baku industri minyak wangi, pengharum ruangan, hio, hingga industri obat dengan cara mengambil bahan aktifnya untuk kepentingan kesehatan manusia. 

“Potensi yang sangat menggiurkan, telah membuat FRIM tertekad segera mempercepat riset dan pendanaannya,” kata Erdy Santoso, peneliti mikrobiologi hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, Bogor, pada ekspose dan gelar teknologi hasil-hasil penelitian. 

Menurutnya, agar Indonesia tidak ketinggalan momentum, pihak Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan, agar segera membentuk tim riset gaharu yang khusus menangani gaharu dari berbagai aspek penelitian (mikrobiologi, genetik, tree improvement, breeding, sosial ekonomi, grading system, biochemistry, pharmacology, dan lain-lain). Di antaranya melalui percepatan strategi riset agar kualitas gaharu dari inokulasi buatan dapat dipercepat.

“Sebagai contoh, permasalahan kelas mutu gaharu yang ditentukan oleh pedagang gaharu sangat merugikan para petani gaharu, sehingga diperlukan segera standardisasi mutu gaharu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” kata Erdy.


Inokulum

Ada 26 jenis gaharu (Aquilaria spp) yang pernah ditemui di Asia dan tujuh jenis Gyrinops spp masuk ke convention on international trade in endangered species of wild flora and fauna (CITES), appendix 2 di antaranya adalah Aquilaria hirta, A malaccensis, A microcapa, A filarial, Cumingiani, A beccariana, Gryonops verstegii, G moluccana, dan G cumingiani. 

Dia menjelaskan kayu gaharu bisa ditanam di sela-sela tanaman kelapa dalam, kelapa sawit, karet, dan kakao. Hasil penelitian di Indonesia, Aquilaria malacensis LAMK adalah jenis terbaik dan paling mahal. Per kilogramnya dihargai minimal Rp 300.000. Satu tegakan pohon hasil inolukasi di atas 20 kilogram, hanya dalam limit waktu tidak lebih dari tujuh tahun. Per hektare bisa ditanami 7.000 tegakan, dengan investasi Rp 500 juta-Rp 1 miliar. 

Pengadaan bibit di persemaian dan kegiatan penanaman tanaman penghasil gaharu sudah dimulai dilakukan masyarakat di sekitar hutan. Bibit tanaman penghasil gaharu dapat disediakan melalui cara generatif maupun vegetatif.

“Dari kegiatan di Kabupaten Sanggau, Kalbar, penanaman pohon penghasil gaharu mencakup 204 anggota sejak tahun 2003 di lahan 143 hektare (143.000 bibit), telah membuktikan tidak ada kendala berarti yang dihadapi para petani di lapangan,” lanjutnya.

Untuk menghasilkan teras gaharu berkualitas, tegakan pohon disuntik melalui sistem pengeboran batang setelah berusia 4-6 tahun. Lubang disuntik cairan jamur (inokulum), sesuai takaran. 

Jamur pembentuk gaharu diadang zat antibodi di dalam batang. Bentuk perlawanan menghasilkan teras gaharu berkualitas ekspor setelah cairan inokulum bersarang selama sembilan bulan ke atas. Dampak suntikan, tegakan pohon merangas, mati, mengelupas, dan yang tersisa tinggal teras gaharu berkualitas siap panen. Ada 20 isolat jamur pembentuk gaharu. Empat di antaranya telah teruji dan membentuk infeksi gaharu dengan cepat, yaitu isolat jamur asal Jambi, Gorontalo, Sumatera Barat, dan Kalbar. 

Erdy menegaskan antisipasi yang perlu dilakukan dari cepatnya luasan tanaman penghasil gaharu, adalah ketersediaan inokulum gaharu pemacu produksi gaharu secara buatan pada tingkat produksi massal harus seimbang dengan laju jumlah tanaman penghasil gaharu di lapangan. 

Menurut Erdy, pemerintah Indonesia harus segera mengambil momentum ini agar dapat diperoleh keuntungan dari ekspor gaharu dan masyarakat juga dapat mengambil manfaat yang besar. Pemerintah tidak perlu khawatir dengan kemungkinan terjadinya proses turunnya harga komoditas gaharu akan memerlukan waktu yang lama, riset terus berkembang dalam usaha meningkatkan mutu gaharu dengan harga yang kompetitif.(aju)

(Sinar Harapan, 22 Dec 2007)

Kayu gaharu berharga puluhan juta

Ganif Aswoko, Tim Program Masjid Gaharu kota Depok saat kami temui di rumahnya di Sawangan Permai mengatakan nilai kayu gaharu saat ini seperti jenis super king mencapai  Rp 30 juta/kg.

Sedangkan kayu gaharu jenis super dihargai Rp21 juta hingga Rp 25 juta/kg, untuk harga kacangan berkisar Rp 3 juta sampai Rp 10 juta/kg dan untuk jenis teri Rp 400.000 hingga Rp 2 juta/kg. 

Produk gaharu yang tersedia di pasaran berbentuk kayu, chips, dan bubuk. Minyak gaharu dihasilkan oleh kayu gaharu kulitas rendah. Namun, kualitas gaharu oleh pemerintah di bagi menjadi gubal, kemendangan dan abu. Riset kayu gaharu di Indonesia sudah dilakukan sejak 15 tahun yang lalu dan kini sudah ditemukan pohon gaharu terbaik yang dapat tumbuh sekitar 5 cm/tahun untuk diameter batangnya. 

Demikian pula untuk proses penyuntikan jamur parasit yang efektif sehingga pohon gaharu dapat diambil seluruh batang dan akarnya. Proses penyuntikan dilakukan setelah pohon gaharu berusia 6 tahun.

Dia menambahkan pohon gaharu baru dapat dipanen setelah 1-2  tahun proses penyuntikan. Hasil budidaya pohon gaharu diperkirakan berada di kelas teri masa panen 5 tahun seluruh bagian pohon akan diambil dengan bobot 30 kg hingga 60 kg. 

Sedangkan untuk menghasilkan kualitas kayu gaharu kelas super king baru dapat dilakukan pohon gaharu yang berusia lebih dari 15 tahun. "Pendataan bibit pohon yang ditanam untuk menghindari kelebihan pasokan pada saat panen,"tambahnya. 

Pohon gaharu dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis dengan ketinggian 750 meter dari permukaan laut. Berdasarkan hasil penelitian beberapa lembaga pendidikan, pohon gaharu tumbuh dengan baik apabila tanah yang ditumbuhinya bisa ditumbuhi pohon berkayu keras. 

"Pada saat ini pohon gaharu terdapat di daerah Kalimantan, Sumatera dan Papua. Kayu gaharu digunakan untuk menghasilkan parfum upacara keagamaan, pengobatan dan kosmetik," ucapnya. Ganif menjelaskan kayu gaharu diperoleh dari pohon gaharu dari spesies Aquailaria spp, yang menghasilkan diinfeksi oleh sejenis jamur parasit sehingga menghasilkan resin didalam kayu tersebut.

Pada awal bulan Februari 2009 ini Dia dan teamnya akan melakukan panen gaharu di Bogor.

Minggu, Februari 01, 2009

Kayu Gaharu di Ambang Kepunahan

DAERAH pedalaman Kalimantan Timur, seperti desa-desa hutan hulu Sungai Bahau di Kecamatan Pujungan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, dikenal memiliki kekayaan hayati nilai ekonomi dengan jumlah berlimpah. Misalnya, jenis-jenis ikan sungai, burung cucak rawa, kijang, rusa/payau, babi hutan, dan gaharu.
Namun, sayangnya kini kondisi kekayaan hayati tersebut telah jauh berkurang karena semarak diperdagangkan. Terlebih gaharu, nasibnya sangat tragis karena nyaris punah.
Jenis-jenis ikan Sungai Bahau yang masa lalu sangat banyak mudah dijala penduduk pedesaan hutan, suku Penan dan Dayak di Kecamatan Pujungan.
Kini, populasi jenis-jenis ikan sungai tersebut kian sulit dijala penduduk pedesaan hutan karena jumlah populasinya telah jauh berkurang akibat eksploitasi berlebihan untuk diperdagangkan.
Demikian pula jenis-jenis satwa liar hutan, seperti babi hutan yang pada masa lalu populasinya sangat berlimpah. Terutama pada musim migrasi, satwa tersebut berkelompok mencari buah-buahan kayu hutan yang jatuh, berenang melintasi sungai-sungai, sehingga dikenal oleh masyarakat lokal Punan dan Dayak sebagai musim "babi berenang" (lihat Puri, 1997).
Dewasa ini populasi babi liar tersebut tidak sebanyak di masa lalu karena banyak diburu dan diperdagangkan di pedesaan hutan. Nasib serupa menimpa jenis-jenis satwa liar lainnya, termasuk cucak rawa, rusa/payau, dan kijang.
Populasi tiga jenis satwa liar tersebut kini sudah jauh berkurang karena diburu secara intensif dan diperdagangkan. Sedangkan burung cucak rawa laku dijual di desa-desa hutan dengan harga yang sangat mahal.
Selain menimpa satwa, nasib tragis juga telah menimpa jenis-jenis tumbuhan, khususnya kayu gaharu. Kayu gaharu yang mendapat julukan "emas beraroma dari hutan" kini tinggal menunggu waktu menuju kepunahan.
Mengapa hal ini terjadi? Penyebab tak lain adalah karena pengaruh penetrasi ekonomi pasar yang merasuk kawasan pedesaan hutan. Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa dalam dasawarsa terakhir ini, penetrasi ekonomi pasar sulit dibendung kian merasuk pada sistem ekonomi penduduk pedesaan hutan.
Gubal gaharu telah laku dijual hingga jutaan rupiah per kilogram, terutama dari kualitas prima. Akibatnya, gaharu yang biasa tumbuh di kawasan hutan-hutan primer itu dicari banyak orang untuk diperdagangkan.
Konsekuensi lebih jauh, kini gaharu di kawasan hutan Kecamatan Pujungan kian sulit didapatkan dan nyaris punah.
GAHARU merupakan produk hutan yang sangat unik dibentuk dari resin kayu genus Aquilaria. Di Indonesia telah tercatat ada enam jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan gaharu, yaitu A beccariana, A cumingiana, A filaria, A hirta, A malaccensis, dan A microcarpa.
Penyebaran jenis-jenis tumbuhan tersebut cukup bervariasi, seperti ditemukan mulai dari kawasan hutan primer hujan dataran rendah hingga kawasan hutan primer dataran tinggi, di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Namun, dari enam jenis kayu gaharu tersebut, hanya dua jenis yang utama menghasilkan gubal gaharu, yaitu A malaccensis dan A beccariana.
Selain itu, dari banyak pohon-pohon gaharu yang tumbuh di hutan primer, tidak semuanya memiliki gubal gaharu. Demikian pula dari satu pohon gaharu, hanya pada bagian batang atau cabang tertentu yang mengandung gubal gaharu.
Mengapa demikian? Hal ini tidak lain karena individu pohon Aquilaria yang menghasilkan gubal gaharu, terutama yang terinfeksi parasit. Pohon-pohon dan cabang gaharu yang terkena infeksi parasit berupa jamur biasanya mengeluarkan resin.
Resin-resin yang harum ini biasanya terus mengeras dan berwarna hitam. Jadi, pohon-pohon gaharu yang tidak terinfeksi parasit berupa jamur tidak bakal menghasilkan gubal gaharu yang sangat wangi dan terkenal ke mancanegara.
Berdasarkan pembentukan gubal gaharu, kualitas gaharu dapat dibedakan menjadi beberapa kelas, yaitu kelas super, kelas teri, kelas I, kelas II, kelas III, dan kelas IV.
Harga jual pun bervariasi, tergantung kualitas gubal gaharu tersebut. Misalnya, kualitas gaharu yang paling baik dapat laku dijual 4-5 juta per kg. Sedangkan kualitas paling rendah, harga jualnya antara Rp 100.000- Rp 250.000 per kg.
Karena harga jual gaharu yang mahal tersebut, tidaklah heran jika gaharu banyak diburu orang, baik oleh penduduk lokal maupun penduduk luar, bahkan dari luar Pulau Kalimantan, seperti orang-orang dari Pulau Jawa.
Perdagangan gubal gaharu pun bukan saja untuk perdagangan di dalam negeri, tetapi paling menonjol juga untuk diekspor ke luar negeri. Misalnya, diekspor ke China dan India untuk diperdagangkan sebagai bahan obat-obatan. Pun diekspor ke Jepang untuk bahan dupa dan parfum.
Kayu gaharu sesungguhnya sejak tahun 1995 telah ditetapkan masuk Appendix II CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Hal ini artinya bahwa gaharu pada tahun 1990-an tidak terancam punah, namun memiliki kemungkinan terancam punah jika perdagangannya tidak teratur. Komoditas gaharu hanya boleh diperdagangkan kalau ada izin dari pihak authority.
Kendati telah dimasukkan dalam Appendix II CITES, gaharu telah menjadi sebuah fenomena umum bahwa sumber daya alam milik bersama atau tidak ada pemiliknya yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi biasa dieksploitasi banyak orang secara bebas dengan mengabaikan sistem keberlanjutannya.
Perdagangan gaharu yang seharusnya masuk kualifikasi harus mendapat pengaturan dan izin dari authority. Namun, dalam dasawarsa terakhir ini tidak pernah ada yang menghiraukannya. Terlebih lagi eksploitasi gubal gaharu kian semarak dilakukan oleh orang-orang luar pedesaan hutan.
Mereka biasanya secara berkelompok menjelajahi berbagai kawasan hutan mencari gubal gaharu. Perilaku orang-orang luar tersebut dalam mengeksploitasi gubal gaharu sangat berbeda dengan perilaku penduduk lokal yang bermukim di pedesaan hutan.
Penduduk lokal biasanya menebang kayu-kayu gaharu secara selektif yang dilakukan hanya pada pohon-pohon gaharu yang memiliki gubal gaharu. Hal ini karena mereka mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang pohon-pohon gaharu yang memiliki gubal gaharu di kawasan hutan primer.
Sedangkan penduduk luar pedesaan hutan biasanya mencari gubal gaharu pada umumnya dengan cara menebang semua pohon-pohon gaharu tua yang ditemukannya di hutan primer. Padahal, tidak semua pohon-pohon gaharu tersebut memiliki gubal gaharu. Akibatnya, pohon-pohon gaharu tua makin berkurang, sedangkan untuk regenerasinya butuh waktu yang sangat lama.
Selain itu, yang sangat disayangkan bahwa semaraknya perdagangan gaharu itu nyatanya kurang dirasakan keuntungan yang memadai bagi masyarakat lokal pedesaan hutan. Hal ini karena berbagai faktor, antara lain lemahnya penduduk desa- desa hutan terhadap akses pasar. Jadi, hanya para bandar dan orang-orang luar yang dapat mengecap hasil gaharu dibandingkan dengan penduduk lokal yang senantiasa ikut mengelola hutan, di tempat tumbuhnya pohon-pohon gaharu tersebut.
Sementara sebagian penduduk setempat, yang terlibat ikut berpartisipasi dalam eksploitasi gaharu menjelajah masuk kawasan hutan primer, biasanya hanya mendapat keuntungan hasil yang tidak seimbang dengan keuntungan yang diraup para tengkulak (toke).
Bahkan, tidak sedikit penduduk lokal yang ikut mencari gaharu ke hutan-hutan primer berminggu-minggu atau lebih bukannya mendapat untung. Tetapi, mereka dililit utang yang berkepanjangan. Karena, penduduk lokal yang ikut terlibat mencari gaharu dari hutan primer bukannya mendapat keuntungan dari menjual gaharu.
Namun, kerap kali mereka mendapat kerugian. Karena, hasil gaharu yang didapatnya hanya sedikit bahkan nihil sama sekali, sedangkan uang pinjaman uang dari para bandar terus menumpuk.
BERDASARKAN kasus eksploitasi gaharu yang intensif oleh banyak orang, tampaknya upaya penyelamatan gaharu dengan hanya mencantumkan komoditas hutan tersebut dalam Appendix II tidaklah memadai. Mengingat di era ekonomi pasar bebas global dewasa ini, setiap pencari gaharu telah berpikir sangat rasional, yaitu mereka semua berpikiran yang hampir serupa, buat apa melindungi gaharu-gaharu di hutan primer untuk cadangan hari depan.
Apabila tidak ada jaminan bahwa gaharu-gaharu yang tidak diambilnya hari ini olehnya, esok lusa gaharu-gaharu tersebut tidak diambil oleh orang-orang lain. Makanya, semua orang berkeinginan mengambil gaharu sebanyak mungkin tanpa memikirkan konservasinya.
Konsekuensinya, gaharu berupa sumber daya hutan primer milik bersama telah mengalami tragedi menuju kepunahan.
Sejalan dengan teori Hardin (1968), yang mengemukakan bahwa sumber daya alam milik bersama atau tidak ada pemiliknya sangat rawan terhadap bencana kerusakan. Hal ini karena tidak ada seorang pun yang merasa ingin mengonservasi demi pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Karena itu, upaya nyata dari semua pemangku kepentingan (stake holders) secara partisipatif dan kolaborasi sungguh dibutuhkan untuk menyelamatkan "emas beraroma dari hutan", gaharu, yang terkenal dalam perdagangan domestik maupun mancanegara.

Johan Iskandar Dosen Biologi FMIPA dan Peneliti pada PPSDAL-Lemlit Universitas Padjadjaran
(Kompas, 25 Feb 2005)

PEMELIHARAAN TANAMAN

Pohon gaharu sesuai ditanam di antara daerah dataran rendah hingga ke perbukitan pada ketinggian 0 - 750 meter dari permukaan air laut dengan curah hujan kurang dari 2000 cm. Suhu yang sesuai adalah antara 27°C hingga 32°C dengan kadar cahaya matahari sebanyak 70%. Jenis tanah yang sesuai adalah jenis lembut dan liat berpasir dengan pH tanah antara 4.0 hingga 6.0.

Biji benih yang berkualitas amat penting untuk pembibitan , biasanya pembenihan di lakukan oleh nurseri untuk menjamin bibit benih tanaman dalam volume yang besar dan berkelanjutan . Buah karas dari jenis Aquilaria Malaccencis adalah berbentuk kapsul, 3.5 cm hingga 5 cm panjang, ovoid dan berwarna coklat. Kulitnya agak keras. Mengandung 3 hingga 4 biji benih bagi setiap buah.

Penanaman bisa dilakukan di tanah-tanah perkebunan ataupun di tanah yang sempit seperti halaman rumah atau masjid. Bisajuga ditanam di kebun kelapa sawit, ladang kopi dan kebun di bawah pokok-pokok yang lain yang berumur antara 5 - 8 tahun. Teknik tanaman secara sistem tumpangsari atau intergrasi dengan 2 atau lebih tanaman juga boleh dilakukan.

Teknik menanam adalah dengan menggali lubang dalam jarak ukuran 2mx2m, 3mx3m, atau 3mx5m. Tergantung kepada teknik tanaman secara selang, intergrasi atau sebagainya. Anak pokok dikeluarkan dari politena bag dan dimasukkan ke dalam lubang yang digali dengan besar diameter dan kedalaman 0.5 meter. Tanah dipermukaan dipadatkan dengan tangan untuk memastikan akar bersentuhan rapat dengan tanah dan hindarkan pengaliran air di permukaan (surface water). Kadar pemupukan tidak boleh melebihi 100 gm bagi tiap-tiap lubang yaitu dengan kadar pupuk NPK 15:15:15 sebanyak 40 - 50 gm dan TSP sebanyak 40 - 50 gm semasa proses penanaman.

Pohon gaharu yang ditanam perlu dibersihkan dari gangguan pokok lain sekitar 50 cm untuk menghindarkan persaingan hidup. Pekerjaan ini dilakukan dalam 2 - 3 kali setahun sehingga pohon berusia 5 tahun. Pengemburan 2 kali setahun adalah amat baik untuk memberi oksigen ke dalam tanah untuk melancarkan penyerapan makanan oleh pohon.

KAYU GAHARU DAN KEGUNAANNYA

Kandungan kimia yang terdapat dalam gaharu merupakan komponen-komponen yang terdiri dari sesquiterpenes, sesquiter-pene alcohol, kompoun oxygenated dan chromone. Selain itu, juga terdiri dari komponen-komponen agarospiral, jinkohol-eramol, jinkool yang menghasilkan aroma gaharu.

Penggunaan kayu dalam industri perkayuaan di mana kayunya digunakan dalam industri pembuatan kotak pembungkus, papan lapis, cenderamata, perabot, sarung senjata, chopstick dan lain-lain. Gaharu digunakan dalam upacara keagamaan Cina, Ayurvedic dan upacara kaum di Tibet. Gaharu digunakan sebagai pengharum rumah di Timur Tengah , di Papua New Guinea digunakan sebagai obat-obatan tradisional oleh masyarakatnya. Di masa sekarang gaharu juga digunakan sebagai bahan minyak wangi dan kosmetik.

Jumat, Januari 30, 2009

'Masjid Gaharu' menuju kesejahteraan umat'

Program yang disebut 'Masjid Gaharu' ini dicanangkan secara nasional oleh Menteri Kehutanan, Malam Sambat Kaban, di Masjid Al-Fauzien, Kota Depok, 14 September 2008. Pengembangan budidaya kayu gaharu di masjid-masjid tersebut diinisiasi oleh DMI Kota Depok dan Pusat Penelitian Geografi Terapan (PPGT-FMIPA) Universitas Indonesia (UI).

Budidaya dimulai dari wilayah Depok dan akan dikembangkan di berbagai wilayah lainnya di Indonesia melalui Koperasi Pemberdayaan Ekonomi Masjid Indonesia.

Budidaya kayu gaharu untuk mengantisipasi kepunahan kayu jenis ini di Indonesia. Kepunahan gaharu disebabkan terutama oleh dua hal.

Pertama, teknik penebangan kayu gaharu dan tidak ada kepastian ada atau tidaknya resin gaharu dalam kayu tersebut.

Kedua, karena permintaan kayu gaharu selalu tinggi mengakibatkan menurunnya supply alami. Gaharu umumnya terdapat di hutan-hutan di wilayah hutan Papua, Kalimantan, Halmahera, NTB, NTT, dan Sumate

Bernilai ekonomis

Kayu gaharu memiliki nilai ekonomi tinggi. Terdapat enam klasifikasi harga kayu gaharu - tergantung kualitas dan usia resin yang dihasilkan gaharu - mulai harga termurah Rp100.000 per kilogram hingga Rp30 juta per kilogram. Permintaan resin gaharu selalu meningkat setiap tahun. Negara-negara yang mengimpor banyak gaharu adalah India China, Jepang, Arab Saudi dan Amerika Serikat.

Pusat Penelitian Geografi Terapan (PPGT) Universitas Indonesia mengembangkan teknologi pembibitan gaharu melalui teknologi kultur jaringan. Lembaga ini juga mengembangkan teknologi serum untuk disuntikkan kepada pohon gaharu tersebut.

Pola yang disebutnya sebagai rekayasa isokulasi jamur tersebut dilakukan setelah pohon gaharu berusia 5 tahun. Teknik penyuntikan jamur ke dalam kayu gaharu dimaksudkan agar pohon tersebut terinfeksi dan berpeluang menghasilkan resin setelah satu sampai tiga tahun kemudian.

Gaharu dapat dibudidayakan masyarakat di areal dataran rendah dengan ketinggian tidak lebih dari 750 meter dari permukaan laut tropis. Apabila di areal tersebut dapat tumbuh pohon berkayu keras seperti rambutan, mangga, nangka, durian, dan sejenisnya, maka kayu gaharu akan tumbuh dengan baik bila dikembangkan di lahan tersebut.

DMI Kota Depok akan bekerjasama dengan masjid-masjid lainnya di Indonesia untuk budidaya gaharu tersebut. Selain memiliki nilai ekonomi, program ini juga berkaitan dengan penghijauan lingkungan hidup dan meningkatkan resapan air untuk kehidupan masyarakat.

Budidaya gaharu merupakan bagian pemberdayakan ekonomi masjid dalam upaya memakmurkan masjid dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Bahkan, bila berkembangan dengan baik, budidaya Gaharu dapat menjadi unggulan agrobisnis Indonesia, selain karena pasarnya cukup besar, juga kayu Gaharu sudah masuk dalam kondisi hampir punah.

Kesejahteraan umat

"Masjid Gaharu" merupakan salah satu program DMI Kota Depok. Pengembangan ekonomi lainnya yang berbasis masjid, antara lain pembangunan jaringan minimarket, pendirian lembaga keuangan syariah (baitul maal wattamwil-BMT), dan kegiatan ekonomi lainnya.

Aktivitas ekonomi masjid ini akan diintegrasikan melalui sistem teknologi informasi yang berbasis internet, sehingga lembaga-lembaga ekonomi masjid dapat saling berkomunikasi, berinteraksi, dan bertransaksi. Konsep pengembangan jejaring ekonomi masjid bernama "Masjid Incorporated" ini dapat menjadi kekuatan ekonomi umat.

Dengan jejaring tersebut, produk usaha mikro dan kecil masyarakat dapat dipasarkan lebih luas, disamping itu jejaring ekonomi masjid akan memiliki posisi tawar dengan produsen besar sehingga dapat memperoleh produk dengan harga yang lebih murah.

Sementara untuk lembaga keuangan BMT, melalui jejaring antara lain dapat melakukan transkasi semacam "kliring" antar BMT. Lembaga keuangan mikro syariah yang terintegrasi ini dapat menjadi channeling agent perbankans yariah di Indonesia karena memiliki jangkauan luas.

Dengan pengembangan ekonomi masjid, selain dapat memakmurkan masjid, juga akan mampu menciptakan lapangan kerja, menumbuhkan wirausahawan-wirausahawan mandiri, dan meningkatkan pendapatan umat, yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Jadi, mari kita memulai peningkatan kesejahteaan masyarakat melalui pendekatan ekonomi masjid. Mulailah dari apa yang bisa dilakukan dulu. Ini adalah solusi bagi permasalahan bangsa kita.

(Mustafa Edwin Nasution, Ph.D, sumber: monde)

Pencanangan budidaya komersial gaharu di Depok

Menteri Kehutanan, MS Kaban mencanangkan gerakan nasional budidaya kayu gaharu di lingkungan masjid dan lahan masyarakat (Masjid gaharu). Pencanagan dengan penanaman perdana bibit pohon gaharu varitas unggul di masjid Al-Fauzien Perumahan Gema Pesona, Kota Depok, pada tanggal 16 September 2008.

Penanaman pohon gaharu di lingkungan masjid, menurut dia, untuk pertama kalinya dan sebagai upaya melestarikan pohon yang mulai langka ini.

"Pohon ini (gaharu) memiliki nilai ekonomi tinggi. Alangkah baiknya jika diikuti oleh masjid yang lain," ujar Kaban, yang mengaku di Dephut ada enam juta pohon siap disalurkan secara gratis. 

Pengembangan budidaya kayu gaharu di masjid tersebut diinisiasi oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Depok dan Pusat Penelitian geografi Terapan (PPGT-FMIPA) Universitas Indonesia (UI).

Budidaya dimulai dari wilayah Depok akan dikembangkan diberbagai wilayah lainnya di Indonesia melalui koperasi Pemberdayaan Ekonomi Masjid Indonesia.

Budidaya kayu gaharu untuk mengantisipasi kepunahan kayu jenis ini di Indonesia. Kepunahan gaharu disebabkan dua hal. Pertama teknik penebangan kayu gaharu dan tidak ada kepastian ada atau tidaknya resin gaharu dalam kayu tersebut. Kedua, karena permintaan kayu gaharu selalu tinggi mengakibatkan menurunnya suplay alami. Gaharu umumnya terdapat di hutan-hutan wilayah Papua, Kalimantan, Halmahera, NTB, NTT serta Sumatra.

Kayu gaharu terbukti memili ekonomi tinggi, setidaknya terdapat enam klasifikasi harga kayu gaharu - terhgantung kualitas dan usia resin yang dihasilkan gaharu- dari harga termurah Rp100 ribu per kg hingga Rp30 juta per kilogram. 

Permintaan risen gaharu selalu meningkat setiap tahun. Negara-negara yang mengimport banyak gaharu adalah India, Cina, Jepang, Arab, Saudi dan Amerika Serikat. Turut dalam menanam pohon bersama menteri diantaranya Wakil Walikota Depok Yuyun Wirasaputra, Ketua DPRD Naming D Bothin serta sejumlah tokoh masyarakat lain.(sumber: ganif aswoko) 

Kamis, Januari 29, 2009

Tahun Gaharu Indonesia, 2009

Gaharu, jenis tanaman ini sangat akrab di wilayah tropis seperti Indonesia ini. Siapa yang tidak kenal gaharu. Masyarakat Indonesia yang tumbuh dengan pengaruh asia terutama India, China dan Melayu sangat akrab dengan gaharu mulai awal era klasik Nusantara. Kebudayaan Hindu, Bhuda, Konghucu memanfaatkan kayu gaharu untuk: Keperluan ritual keagamaan (dupa, hiyo; Hindu Budha, Konghucu), Pengharum badan , Pengharum ruangan, Bahan kosmetik, Obat-obatan sederhana.

Kayu gaharu dulu didapatkan di hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis Nusantara memberikan secara alamiah proses terbentuknya kayu gaharu di wilayah sesuai dengan syarat tumbuhnya: Sesuai dengan kondisi habitat alami; Dataran rendah, Berbukit (< 750 mdpl).

Jenis Aquilaria tumbuh baik di jenis tanah Podsolik merah kuning, tanah lempung berpasir, dengan drainage sedang sampai baik, iklim A-B, kelembaban 80%, suhu 22-28 derajat Celsius, Curah hujan 2000-4000 mm/th. Tidak baik tumbuh di tanah tergenang, rawa, ketebalan solum tanah kurang 50 cm, pasir kwarsa, tanah dengan pH < 4.

Jaman dulu gaharu diperoleh dari alam langsung untuk kepentingan sendiri. Tetapi dalam perkembangannya kayu gaharu menjadi komoditas yang langka karena diexploitasi besar-besaran dan mulai diperdagangkan ke berbagai penjuru dunia (China, Arab, India dan Eropa dll). Saat ini menjadi suatu kesulitan untuk mendapatkan kayu gaharu dalam jumlah besar, karena hutan-hutan sudah dilindungi dan dikonservasi. Meskipun demikian di pasar selalu beredar komoditas tersebut yang diambil dari hutan-hutan. Kecuali daerah-daerah yang memenag sudah melakukan pembudidayaan gaharu.

Saat ini Pusat Penelitian geografi Terapan (PPGT-FMIPA) Universitas Indonesia (UI) sudah meluncurkan hasil penelitiannya terkait dengan rekayasa produksi kayu gaharu. Kayu gaharu yang tadinya hanya didapatkan dari alam langsung sekarang sudah dapat dbudidayakan dengan lebih seksama seperti tanaman perkebunan lain (teh, kopi, coklat, karet dll).

Gaharu rekayasa memberikan peluang perencanaan budidaya yang lebih akuntable, dari mulai penyemaian, pembibitan, penanaman, penyiapan lahan, pemupukan, perawatan, pengobatan, rekayasa in-okulasi (pemasukan enzim pembentuk jamur gaharu yang harum dan khas wangi baunya. Dari mulai penanaman hingga dapat dilakukan inokulasi ketika pohon gaharu berumur 4-5 tahun. Dan setelah 1-2 tahun kemudian dapat di panen.

Kebutuhan gaharu dunia sangat besar quota Indonesia 300 ton/tahun baru dapat dipenuhi 10 % inipun berasal dari gaharu alam. Temuan rekayasa produksi kayu gaharu memberi peluang yang sangat besar bagi perkebunan di Indonesia. Dan keuntungan lainnya gaharu dapat disisipkan di sela-sela perkebunan karet, ataupun dapat juga perkebunan gaharu dengan sistem tumpang sari yang mana pohon gaharu sebagai tanaman induk (tanaman keras tahunan) dan pada lahan yang sama di tanam tanaman musiman yang disarankan jenis tanaman dengan buah di atas (bukan umbi-umbian).

Jika pada tahun 2009 pemerintah bersama masyarakat perkebunan dan pertanian secara serentak melakukan penanaman dan tahun 2014 dilakukan penyuntikan (inokulasi) maka 2015/16 Indonesia menjadi produsen kayu gaharu terbesar di dunia.
Mari bersama sama mensukseskan 2009 sebagai tahun Gaharu Indonesia. Dan saat ini pihak UI sudah mempersiapkan bibit gaharu sebanyak-banyaknya. Kami bekerjasama dengan UI sudah memulai penanaman bibit gaharu, baik di Jawa Barat(sawangan Depok), Yogyakarta (kulon Progo), maupun Jawa Timur (Malang).
(ganif).

PELUANG BISNIS GAHARU

GAHARU merupakan Komoditi Elit, Langka & Bernilai Ekonomi Tinggi
Gaharu merupakan produk ekspor. Tujuan ekspor adalah negara-negara di Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Singapore, Taiwan, Jepang, Malaysia.

Pohon Gaharu (Aquilaria spp.) adalah species asli Indonesia. Beberapa species gaharu komersial yang sudah mulai dibudidayakan adalah: Aquilaria. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta, A. filaria, dan Gyrinops verstegii. serta A. crassna asal Camboja.


Gaharu merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat di negara-negara Timur Tengah yang digunakan sebagai dupa untuk ritual keagamaan. Masyarakat di Asia Timur juga menggunakannya sebagai hio. Minyak gaharu merupakan bahan baku yang sangat mahal dan terkenal untuk industri kosmetika seperti parfum, sabun, lotions, pembersih muka serta obat-obatan seperti obat hepatitis, liver, antialergi, obat batuk, penenang sakit perut, rhematik, malaria, asma, TBC, kanker, tonikum, dan aroma terapi.

Pengelompokan gaharu:
1) Abu gaharu: Super, kemedangan A, Kacang, kemedangan TGC;
2) Kemedangan A, B, C, TGC , (BC), Kemedangan Putih,Teri Kacang (terapung); dan
3) Gubal gaharu tdr dari: Double Super, Super A, Super B, Kacang, Teri A, Teri B, dan dan Sabah (tenggelam).

Gaharu memiliki nilai harga mulai dari 100.000 – 30 juta/kg tergantung asal species pohon dan kualitas gaharu. Sedangkan minyak gaharu umumnya disuling dari gaharu kelas rendah (kemedangan) memiliki harga mulai dari 50.000-100.000/ml.

Sebanyak 2000 ton/tahun gaharu memenuhi pusat perdagangan gaharu di Singapura. Gaharu tersebut 70% berasal dari Indonesia dan 30% dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hutan alam sudah tidak mampu lagi menyediakan gaharu. Gaharu hasil budidaya merupakan alternatif pilihan untuk mendukung kebutuhan masyarakat dunia secara berkelanjutan.

Jika satu pohon gaharu hasil budidaya menghasilkan 10 kg gaharu (semua kelas), maka diperlukan pemanenan 200.000 pohon setiap tahun.
(dari beberapa sumber)

Teknologi Baru Tingkatkan Produksi Gaharu

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan telah menghasilkan 23 jenis isolat-isolat pembentuk gaharu hasil eksplorasi dari 17 propinsi yang siap untuk dikembangkan. Mikroba pembentuk gaharu yang diberi nama JERMIA 1 hingga JERMIA 4 ini telah teruji dan mampu menginduksi gaharu dalam waktu relatif singkat. Mikroba ini dapat diproduksi secara massal dan dapat diaplikasikan dengan mudah kepada masyarakat produsen gaharu.

Aplikasi teknologi ini akan mampu mempercepat pembentukan gaharu sehingga dapat meningkatkan produksi nasional gaharu. Beberapa percobaan yang telah dilakukan telah menghasilkan gaharu kamandangan lebih kurang 20 kg/pohon dengan nilai Rp.1.000.000,-/kg, sehingga apabila diinokulasi sebanyak 2.000 pohon tiap tahun akan dihasilkan 40 ton gaharu dengan nilai Rp. 40.000.000.000,- per tahun. Potensi penerimaan pemerintah dari PSDH sebesar Rp. 2.400.000.000,- dan merupakan potensi penerimaan pajak lainnya.

Mengingat inokulasi adalah proses awal produksi, dan spesies penghasil gaharu (Aquilaria sp. dan Gyrinops sp.) termasuk dalam appendix CITES, maka kegiatan inokulasi perlu dikendalikan oleh pemerintah. Untuk mempertahankan kelestarian pohon penghasil gaharu, dapat diberlakukan aturan antara lain setiap satu pohon yang diinduksi harus disertai dengan penanaman kembali minimal 3 bibit.

Dalam jangka menengah, pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) dapat dipersiapkan sebagai lembaga yang memberikan pelayanan atas hasil-hasil pengembangan teknologi gaharu meliputi inokulum mikroba penginduksi gaharu secara massal, produksi alat induksi gaharu yang praktis untuk penggunaan di lapangan, pelayanan jasa tenaga ahli penginduksi gaharu, dan produksi bibit unggul penghasil gaharu.

(sumber: ANTARA 10 Desember 2007)
Untuk keterangan tambahan, silakan hubungi Achmad Fauzi, Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Telp: (021) 570-5099, Fax: (021) 573-8732

Gaharu Sembuhkan Banyak Penyakit

Gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan bernama Aquilaria. Di Indonesia tumbuh berbagai macam spesiesnya, seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, dan A. Filaria.
Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan barang aneh, bila kemudian tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat. Salah satu manfaatnya merupakan fungsi flora ini sebagai obat.
Meningkatnya penggunaan obat-obatan dari bahan organik seperti tumbuhan (herbal), membuat gaharu semakin diminati sebagai bahan baku obat-obatan untuk berbagai macam penyakit.
Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan kanker.
Kini pengunaan gaharu sebagai obat terus meningkat. Tapi sayangnya hingga kini, Indonesia baru mampu memasok 15 persen total kebutuhan gaharu dunia.
Bahkan kini fungsi gaharu juga merambah untuk bahan berbagai produk kecantikan dan perawatan tubuh. Sebagai kosmetik gaharu bisa dijual seharga Rp 2-5 juta per kilogram, bahkan untuk jenis super dan dobel super harganya mencapai Rp18 juta per kilogram. Di Indonesia tanaman ini dikelompokan sebagai produk komoditi hasil hutan bukan kayu.
Atas dasar itu, pengembangan gaharu sangat mendukung program pelestarian hutan yang digalakkan pemerintah. Investasi dibidang gaharu sendiri sebenarnya sangat menguntungkan. Gaharu bisa dipanen pada usia 5-7 tahun.
Untuk satu hektare gaharu hingga bisa dipanen, memerlukan biaya sebesar Rp 125 juta namun hasil panen yang didapat mencapai puluhan kali lipat. Budi daya gaharu sangat cocok dikembangkan dalam meningkatkan hasil hutan non kayu, sementara pasarnya sangat luas dan tidak terbatas. (ant/slg) (sumber:sinar harapan).

Sabtu, Januari 24, 2009

Memburu Pemburu Gaharu

Keharuman kayu gaharu menggoda para pemburu dari luar daerah. Berbeda dengan warga setempat yang mampu memilah gaharu yang bermutu, pemburu dari seberang cenderung main babat, main embat,main tebang.

JEJAK-jejak itu masih segar: tapak sepatu, ranting-ranting patah dan ceceran daun hijau. Abet Nego, anggota Petugas Konservasi Kampung (Pekoka), menyusuri bekas tapak itu ke tengah hutan. Tak jauh dari sungaikecil, anak Wakil Ketua Adat Lesan Dayak ini menemukan tiga gubuk yang baru ditinggalkan. Asap masih mengepul dari bekas api pendiangan. Sisa makanan yang tercecer juga belum disentuh semut. Merasa yakin para pemilik gubuk belum jauh, Abet berseru, “Oeeeee.”
Benar saja, sebuah jawaban melengking di kejauhan. Tak sampai satu kilometer kemudian, Abet memergoki empat pemuda. Ada yang menggegam arit dan parang. Ada juga yang menenteng kapak. Tapi semuanya membawa kantong yang sama: karung plastik besar yang disampirkan ke punggung. Tak salah lagi, merekalah para “pemburu gaharu”, salah satu penjarah Hutan Lesan yang belakangan ini meresahkan warga.

Hutan Lesan di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau adalah secuil kecil hutan Kalimantan yang masih tersisa. Selain menjadi “gudang” kayu gaharu, kawasan 11.000 ha lebih ini juga dihuni pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) berumur ratusan tahun yang kini amat langka. Hutan bekas areal HPH yang belum sempat dipanen ini penuh dengan pepohonan dari keluarga meranti (Dipterocarpaceae) dengan garis tengah batang semester lebih. Dan di atas semua itu, Hutan Lesan merupakan salah satu habitat terakhir orangutan, mamalia langka kelas dunia, yang di seluruh jagat ini hanya hidup di Kalimantan dan sebagian Sumatera.
Lebih istimewa lagi: Lesan merupakan satu-satunya “rumah” bagi orangutan dari varietas Pongo pygmaeus mario, yang hanya ada di Kalimantan Timur. Selain menjadi surga bagi tanaman dan satwa langka, Hutan Lesan merupakan sumber kehidupan warga desa di sekitar Lesan. Dari kekayaan alam yang begitu melimpah itu, warga desa Muara Lesan, Lesan Dayak, Merapun dan Sidobangun dengan mudah dapat memanen madu, ikan, bahan obat-obatan, dan kadang kala kayu gaharu (Aquilaria spp). Pohon yang dikenal oleh warga sebagai kayu karas, garu, alim, atau kompe ini bukan hanya harum aromanya tapi juga sangat harum harganya.
Sejak bertahun-tahun lampau, kayu gaharu merupakan salah satu bahan industri parfum yang kesohor. Harganya menggiurkan. Satu kilogram bongkahan jantung” gaharu yang hitam mengkilat bisa mencapai Rp 10 juta, bahkan Rp 30 juta. Itu yang kualitas prima. Yang “ecek-ecek” sekalipun, serutan kayu gaharu muda yang baunya Cuma sayup-sayup, masih pula laku. Harganya paling murah Rp 600 ribu satu kilo, siapa tidak ngiler?

Dengan warisan ilmu para leluhur Dayak Punan, warga setempat dapat memilah gaharu yang telah terinfeksi penuh hingga jantung-kayunya menghitam, aromanya semerbak dan harganya mahal. Dengan keahlian itu, mereka hanya menebang pohon gaharu yang siap panen dan membiarkan yang lain, sehingga pelestarian “tambang-wewangian” ini dapat terjaga.
Namun keharuman gaharu bukan hanya menarik minat warga sekitar, tapi juga menggoda para pemburu dari luar daerah. Menurut Niel Makinuddin, Program Manager Kehutanan pada The Nature Concervancy (TNC), lembaga yang bergiat di bidang lingkungan, para pemburu gaharu di Hutan Lesan umumnya datang dari jauh, seperti Banjarmasin atau bahkan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. “Kalaupun ada orang lokal, mereka hanya menemani,” katanya.
Berbeda dengan orang setempat yang mampu membedakan “mana loyang, mana emas”, para pendatang ini umumnya langsung main tebang, main babat, tak peduli apakah isi pohon itu cukup berharga atau tidak. Dengan sikap para pemburu yang main embat ini, kelestarian gaharu mudah sekali terancam.
Selain itu, para pemburu dari “seberang” ini kerap punya sambilan yang membahayakan. Selain menjarah gaharu, mereka rajin menjamah apa pun yang dapat mereka temukan di hutan: satwa liar, anggrek hitam, atau apa saja yang bisa dijual. Belakangan, mereka juga mengincar kayu ulin yang langka dan supermahal itu. Celakanya, ulin merupakan pohon favorit bagi orangutan untuk membuat sarang. Ancaman terhadap ulin merupakan bahaya langsung terhadap kehidupan Pongo Pygmaeus Mario.
Karena datang dari jauh, para pemburu pendatang ini harus menginap berhari-hari di dalam hutan. Ini membuat mereka harus membangun pondok-inap sementara, termasuk memenuhi semua kebutuhan pokok, seperti mandi, mencuci dan memasak. Di musim kemarau, api yang ditinggalkan, seperti api sisa pendiangan yang ditemukan Abet, kerap kali menyulut kebakaran yang lebih besar.
Rombongan yang dipergoki Abet mengaku datang dari Labanan, sebuah desa tak jauh dari Lesan. Itu tak mungkin, piker Abet. Jarak antara Labanan dan Lesan pulang pergi, dapat ditempuh dalam satu hari perjalanan jalan-kaki. Kalau benar dating dari sebelah, mereka pasti tak perlu menginap. Ketika ditegur, para pemburu minta diizinkan sehari lagi berada di hutan. “Mau bagaimana lagi? Saya tak punya SK penjaga hutan. Saya menjaganya karena kesadaran saja,” kata Abet.
Namun beberapa hari kemudian, Abet kembali memergoki mereka. Ternyata mereka bukan berempat, tapi berdelapan. ereka bukan sehari atau dua hari, tapi sudah hampir dua pekan gentayangan di dalam hutan. Menyadari besarnya kerusakan yang mungkin timbul, Abet minta mereka meninggalkn hutan saat itu juga. “Tolong, Pak, ini hutan lindung,” kata kemenakan Ketua Adat Lesan Dayak ini, “Kalau tetap di sini, bapak-bapak bukan hanya berhadapan dengan saya, tapi orang satu kampung.”
Bagi warga Lesan Dayak, hutan bukan hanya tempat hidup ulin atau orangutan. Lebih dari itu, hutan merupakan nyawa kehidupan mereka. “Kalau hutan tak ada, mau hidup dari mana lagi?” kata Abet.

Tulisan ini pernah dimuat di harian Tribun Kaltim edisi Rabu, 19 November 2008, atas dukungan program fellowship liputan orang utan dan habitatnya. Fellowship ini berkat kerjasama antara Orangutan Conservation Support Program (OCSP), Yayasan Pro Media dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Sumber:mediakonservasi.org

Gaharu: Harta di Kebun

Niat Abdulqodir Hadi Mustofa menanam 39 bibit gaharu di sela-sela pohon karet amat sederhana: cuma ingin mengambil kulit batang yang kuat. Ia ingin memanfaatkannya sebagai tali tas pengangkut getah karet. Namun atas saran kerabat ia memasukkan cairan cendawan Fusarium sp di 3 lubang. Dua tahun kemudian pada Oktober 2008, Abdulqodir menebang sebatang pohon itu dan memperoleh 300 kg kemedangan yang harganya Rp300.000 per kg. Dari 100 kg kemedangan yang terjual, omzet pria 50 tahun itu Rp30-juta.
Fusarium yang diinokulasi ke jaringan pohon itu sebetulnya kuman penyebab penyakit. Oleh karena itu pohon gaharu melawan dengan memproduksi resin bernama fitoaleksin supaya kuman tak menyebar ke jaringan pohon lain. Seiring waktu, resin itu mengeras di sudut-sudut pembuluh xylem dan floem-organ pohon yang mendistribusikan makanan-berwarna kecokelatan, serta harum bila dibakar. Itulah kemedangan yang dipanen oleh Abdulqodir, pekebun di Simpangtiga, Kecamatan Kotabaru, Provinsi Jambi.
Andai waktu inokulasi lebih lama, 2-4 tahun, kemedangan yang semula kecokelatan itu berubah warna menjadi kehitaman dan lebih harum lantaran kadar resin lebih tinggi. Itulah gubal gaharu yang sekarang berharga Rp5-juta-Rp15-juta per kg. Oleh karena itu Abdulqodir membiarkan 38 pohon gaharu lain setelah inokulasi. Ia menyimpan harta karun di pohon-pohon itu. Bayangkan, sebuah pohon berumur 15 tahun seperti milik Abdulqodir bakal menghasilkan rata-rata 1 kg gubal. Dengan kualitas terendah dan harga termurah per kg Rp5-juta, omzetnya Rp190-juta.
Nun di Kalimantan Barat, H. Raden Syamhuddin Has memanen 3 pohon karas. Pria 54 tahun itu tidak ingat jumlah produksi dan kualitas gaharu dari pohon-pohon yang 10 tahun lalu ia lukai dengan cara membacok, memantek bilah kayu ulin, sampai mengucuri larutan gula merah agar muncul gubal. Yang Syamhuddin ingat, dari panen 3 pohon pada April 2007, ia memperoleh Rp11-juta.
Peraih penghargaan kepala desa terbaik se-Kalimantan Barat di bidang konservasi alam itu masih memiliki 397 pohon gaharu di kebun karet seluas 12 hektar. Umurnya rata-rata 15 tahun dengan tinggi menjulang 8-10 m, berdiameter 25-30 cm. Enampuluh pohon di antaranya sudah diinokulasi cendawan Fusarium sp pada Agustus 2006. Itu atas saran kerabat Syamhuddin yang bergaul dengan peneliti kehutanan dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat. November 2008, seorang penampung menyodorkan harga Rp2-juta per pohon. Ia menolak dan memilih untuk memperpanjang masa inokulasi sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Populasi menyusut
Gaharu yang memberi pendapatan tidak kecil pada Abdulqodir dan Syamhuddin, bukan nama pohon, tetapi resin yang dihasilkan dari pohon genus tertentu. Periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Yana Sumarna MS menjelaskan, paling sedikit ada 27 spesies pohon yang dapat membentuk gaharu. Spesies-spesies itu tumbuh di hutan hujan tropis Nusantara seperti genus Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia, Excoccaria, Dalbergia, Gonystylus, Gyrinops, dan Wikstroemia. Genus Aquilaria dan Gyrinops paling banyak jenisnya, masing-masing ada 9 spesies. Abdulqodir dan Syamhuddin termasuk yang membudidayakan Aquilaria malaccensis.
Dua tahun terakhir banyak pekebun yang memanen gaharu hasil budidaya. Pemicunya gaharu alam yang terus menyusut. Pada 2000 Asgarin (Asosiasi Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia) mensurvei populasi gaharu alam di berbagai hutan. Hasilnya di Sumatera tersisa 26%, Kalimantan (27%), Nusa Tenggara (5%), Sulawesi (4%), Maluku (6%), Papua (37%).
Menyusutnya populasi di alam karena sebagian besar pemburu tak mampu mengidentifikasi pohon gaharu yang sudah terinfeksi cendawan. Untuk memperoleh sebuah pohon yang mengandung gubal, mereka menebang hingga puluhan pohon. Pohon yang belum bergubal dan telanjur ditebang, dibiarkan begitu saja. Ini hampir terjadi di semua hutan alam.
Kadir Ade, pemburu gaharu di Desa Serawai, Nangapinoh, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menebang di atas 10 pohon untuk memetik 20-30 kg teras super (gubal dalam bahasa Dayak, red). Itu dilakukan Kadir di hutan-hutan di hulu Sungai Kapuas dan hulu Sungai Melawi. Ia tergiur harga jual teras yang tinggi, Rp350.000 per kg. Dari 10 pohon yang dibabat hanya 2 pohon yang setelah dibelah berisi teras.
Fenomena itu tercium oleh dunia luar. Pada Konvensi ke-9 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) di Florida, Amerika Serikat pada November 1994, diputuskan pohon gaharu spesies malaccensis masuk appendix II. Artinya anggota famili Thymelaeaceae itu dibatasi perdagangannya. Tiga belas tahun kemudian diputuskan, kuota ekspor spesies itu yang boleh diambil dari alam hanya 30 ton, dari sebelumnya 50 ton. Total kuota ekspor gaharu Indonesia dari tahun ke tahun terus turun. Data PHKA dan CITES menyebutkan kuota ekspor pada 2000, sejumlah 225 ton; 2001 (200 ton); 2002 (180 ton); dan 2003-2005 (175 ton).
Pascakonvensi ke-13 CITES di Bangkok, Thailand pada 2004, pembatasan perdagangan juga berlaku untuk semua spesies gaharu alam. Seluruh produk dan hasil gaharu masuk CITES appendix II. Keputusan itu dilandasi sulitnya pasar dunia membedakan produk asal spesies malaccensis atau bukan. 'Konsekuensinya penjualan ekspor dan impor produk gaharu ditentukan kuota dan harus ada izin dari CITES,' ungkap Dr Tonny Soehartono, direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. Penerapan kuota bertujuan untuk memastikan sebaran spesies pohon gaharu di alam mampu berkembang biak dengan baik.
Menurut koordinator otoritas ilmiah CITES, Dr Gono Semiadi APU, kuota itu tidak membedakan gaharu alam atau budidaya. 'Sebaiknya pekebun budidaya melapor pada BKSDA setempat untuk mendapat surat rekomendasi. Itu untuk mempermudah ketika menjual hasil panen di masa depan,' katanya. Proses pelaporan hingga pembuatan berita acara pemeriksaan dari kegiatan penanaman itu gratis.
Marak budidaya
Dengan rambu-rambu itu makanya mengebunkan gaharu menjadi pilihan. Apalagi gaharu dapat dibudidayakan di ketinggian 0-1.500 m dpl, kelembapan 80%, curah hujan 1.200-1.600 mm per tahun, dan adaptif di berbagai tipe tanah. Itu sebabnya kebun-kebun gaharu kini banyak bermunculan di Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat), Kelurahan Bentiring dan Kecamatan Argamakmur (Bengkulu), Pangkalpinang (Bangka Belitung), Bogor dan Sukabumi (Jawa Barat), serta Kecamatan Kotabaru (Jambi). Tak kurang dari Malem Sambat Kaban, Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu mendorong penanaman gaharu.
Adi Saptono, pekebun di Pangkalbalam, Pangkalpinang, Bangka Belitung, menanam 300 spesies malaccensis, microcarpa, dan beccariana pada 2004. Ia menanam gaharu secara monokultur itu dengan jarak tanam 2 m x 2 m. Pohon yang dipelihara di kebun belakang rumah itu kini tingginya 3,5 m berdiameter 10 cm. Setahun lalu pohon-pohon itu diinokulasi menggunakan ramuan 'rahasia'. Isi ramuan bermacam-macam cendawan: fusarium, acremonium, dan aspergillus. Seliter cendawan ini dipakai untuk menyuntik 2.000 lubang per pohon. Sejauh ini Adi belum dapat menebak hasilnya. Namun, di luar itu Adi sudah mencicipi pendapatan dari ramuan 'rahasia' itu.
Bermitra dengan pekebun karet yang di kebunnya 'tumbuh liar' 1-2 pohon gaharu, pada November 2008 ia memanen 5 pohon setinggi 8 m berdiameter 25 cm. Pohon itu telah diinokulasi seliter cendawan pada pertengahan 2005. Adi memperoleh 22,5 kg gaharu terdiri atas 2,5 kg gubal mutu B dan 20 kg kemedangan. Temannya membeli gubal itu seharga Rp2-juta/kg dan kemedangan per kg Rp500.000-Rp1-juta. Minimal pendapatan Rp15-juta ditangguk. Pendapatan itu dibagi dua dengan pemilik kebun; Adi mengantongi Rp7,5-juta. Masih ada 70 pohon gaharu lagi yang tengah menanti saat dipanen.
Di Desa Gunungselan, Kecamatan Argamakmur, Bengkulu Utara, Rita Rosita menanam 1.700 pohon gaharu spesies malaccensis di lahan 7.000 m2. Ia menumpangsarikan malaccensis berumur 1,5 tahun itu (jarak tanam 2,5 m x 2,5 m) dengan tanaman jati Tectona grandis berumur 4 tahun dan kakao Theobroma cacao berumur 3 tahun. Di pinggir-pinggir kebun itu berderet pohon pinang Areca cathecu yang tengah berbuah lebat.
Tumpangsari ini bukan tanpa sebab. Pendapatan lain bisa diraih Rita sambil menunggu pohon-pohon gaharu itu siap diinokulasi cendawan. Tanaman kakao sudah berproduksi 2 kg/pohon. Panen dilakukan 2 minggu sekali sebanyak 7 kg kering dengan harga Rp12.000 per kg. Pinang sesekali dipanen dan dijual dengan harga Rp3.500 per kg. Sekali menjual sebanyak 30 kg.
Beragam kendala
Beragam rintangan siap menghadang pekebun gaharu buat meraih untung. Peluang memetik laba besar bakal gagal total jika pekebun gagal menginokulasi seperti dialami H. Mahmuddin Sany. Pekebun di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, itu menginokulasi sebuah pohon gaharu dari 20 pohon yang ditanam pada 2000. Alih-alih mendapat gubal, pohon berdiameter 18-20 cm itu batangnya membusuk. Menurut Sany kegagalan itu antara lain karena ia tidak paham masa aktif inokulan. Saat 2 mL larutan cendawan fusarium itu diinokulasi pada 30 lubang, umur si mikroba sudah kedaluwarsa sejak 3 bulan sebelumnya. Hasilnya? Pohon itu mati.
Urusan cendawan ini memang agak pelik bagi pekebun. Bukannya mereka tidak tahu teknologi cendawan, 'Saya pernah mencoba menyuntik pada sebuah pohon, tapi tak lama mati,' kata M Amin, pekebun di Dusun Orong Selatan, Desa Gegerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Kapok dengan kejadian itu ia kembali memakai cara tradisional: dipaku. Dari pengalaman Amin pohon bergaris tengah 10 cm setinggi 3-4 m yang 'diinokulasi' 3 kg paku selama 2 tahun dapat menghasilkan 1 kg kemedangan. Selain dipaku masih ada cara tradisional lain: menancap bilah bambu, kayu ulin, dan seng. Yang lain membubuhi garam sampai mengoleskan oli. Intinya membuat pohon 'merana' sehingga mau mengeluarkan gaharu.
Menurut Dr Ir Mucharromah MSc, peneliti gaharu dari Jurusan Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, gagalnya cendawan bereaksi karena tanaman memberikan respon berbeda-beda. Sebab itu mutlak ada 'kecocokan' antara mikroba yang diinokulasi dengan si tanaman. Makanya sulit menentukan mikroba yang paling pas. 'Yang namanya mikroba pembentuk gubal itu ada sekitar 50 spesies,' katanya. Fusarium yang efektif di Bogor berbeda misalnya dengan di Bengkulu dan Nusa Tenggara Barat. Sebab itu pula pekebun seperti di Bengkulu, Kalimantan Selatan, dan Pangkalpinang meracik sendiri ramuan mikroba atas dasar pengamatan di lapangan.
Muhaimin, pekebun di Desa Batumandi, Kecamatan Batumandi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, bisa menjadi contoh. Pada 2006 ia menginokulasi 30 pohon gaharu spesies microcarpa berumur 30 tahun setinggi 25 m berdiameter 40 cm memakai cendawan 'ajaibnya'. Hasilnya dari 2 pohon yang dipanen pada pertengahan 2008 Muhaimin mendapat masing-masing 4 kg kemedangan yang laku dijual Rp1-juta per kg. Bahan cendawan itu berasal dari gubal gaharu hutan setempat yang dikembangbiakkan di laboratorium pertanian.
Pengguna gaharu juga menemukan hambatan berupa sulitnya mendapatkan gubal. Itu dialami CV Agung Perdana, eksportir gaharu di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bertahun-tahun perusahaan yang berdiri pada 1980 itu mengekspor gubal berwarna cokelat kehitaman dalam bentuk chip. Chip adalah gubal berbentuk tak beraturan dengan panjang bervariasi 10-15 cm berdiameter 4-6 cm. Aroma kuat dan tajam menyebabkan chip dipilih sebagai bahan baku pengharum. Ini permintaan pasar Timur Tengah.
Menurut H. Faisal Bagis, pemilik CV Agung Perdana, untuk mendapatkan gubal sekarang sulit. Dulu, pada 1998 CV Agung Perdana mengekspor gaharu dengan komposisi: 80% gubal dan 20% kemedangan. Kondisi itu kini berbalik 180 derajat. Dari kuota ekspor 8 ton per tahun, 80% kemedangan dan 20% gubal. 'Susah kalau terus berharap mendapatkan gubal alam,' ungkap Faisal.
Tinggal antar
Jika pekebun mampu melewati beragam rintangan mengantongi laba besar bukan angan-angan. Banyak eksportir dan penampung gaharu siap menyerap. Taufik Murad, penampung di Lombok, Nusa Tenggara Barat, rutin menjemput gaharu pekebun melalui kaki tangannya yang berjumlah belasan orang.
Pengelola restoran khas makanan Lombok itu tidak mengolah gaharu itu. Ia langsung mengirimkan 50--100 kg per bulan gaharu ke eksportir langganan di Jakarta dan Surabaya. Taufik memang beroperasi di Nusa Tenggara Barat. Pekebun di luar itu tidak perlu cemas. Masih banyak penampung gaharu. Data Asgarin menyebutkan ada 41 penampung berizin resmi. Mereka tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Papua.
Soal harga beli? Menurut Joni Surya meskipun eksportir dan penampung banyak, sebagian besar tidak mau terang-terangan mengekspos harga. Harap mafhum bisnis ini menyangkut nilai uang cukup besar. 'Perdagangan gaharu persis perdagangan sarang walet sebelum tahun 1990-an. Sifatnya tertutup, standar harga kurang jelas karena keragaman kualitas sangat tinggi,' ujar ketua Gaharu 88, pelopor penanaman pohon gaharu di Bengkulu.
Yang seringkali terjadi adalah proses tawar-menawar harga yang alot. 'Gaharu itu dibeli aromanya, jadi tidak bisa tidak perlu dilihat barangnya. Bahkan kalau perlu dites,' ungkap Taufik. Data Asgarin dapat menjadi acuan. Harga mutu gaharu tertinggi, gubal double super atau super A per kg Rp10-juta-Rp15-juta. Berikutnya gubal super tanggung Rp4-juta-Rp5-juta/kg. Yang terendah disebut teri, rata-rata Rp100.000/kg.
Pekebun tak perlu berkecil hati meskipun sejauh ini paling pol hasil gaharu budidaya sebatas kemedangan yang harga jual di tingkat pekebun Rp500.000-Rp1-juta/kg. Dengan mutu serupa, pekebun-pekebun gaharu budidaya di Vietnam terus menggenjot mutu gaharu lewat berbagai teknologi. Ini bisa ditiru pekebun di tanahair karena bukan mustahil suatu saat gubal super yang harganya top diperoleh dari budidaya relatif singkat. 'Ini sedang kami teliti di Vietnam,' kata Prof Robert A Blanchette, periset gaharu dari University of Minnesota Amerika Serikat, melalui surat elektronik.
Pasar terbuka
Menurut ketua Asgarin Dr Faisal Salampessy SH, permintaan terhadap gaharu terus meningkat karena bejibun kegunaannya. 'Setiap agama di dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan. India dan China paling besar menyerap untuk kemenyan,' kata doktor perencana keuangan Universitas New Delhi di India itu.
Selain agama, pola hidup juga berpengaruh. Di Timur Tengah gaharu menjadi kebutuhan pokok. 'Masyarakat Arab menggunakan gaharu untuk siwak atau menggosok gigi agar mulut tidak bau. Kondisi iklim panas dan kegemaran mengkonsumsi daging membuat tubuh mereka bau menyengat sehingga gaharu juga dipakai untuk pengharum,' kata Dr Afdol Tharik Wastono SS MHum, dosen Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Saat ini Indonesia menjadi produsen gaharu terbesar di dunia. Total ekspor gaharu Indonesia ke negara-negara Asia seperti Taiwan mencapai 92.188 kg. Jumlah itu naik dibandingkan 2005 (70.335 kg) dan 2004 (32.365 kg). Mayoritas yang diekspor kemedangan. Untuk pasar Timur Tengah terjadi penurunan ekspor: 2006 (39.400 kg), 2005 (67.245 kg). Musababnya mereka ingin gubal super yang sulit diperoleh.
Sebab itu yang mengeluh kekurangan bahan baku bukan cuma Taufik Murad. CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta juga kekurangan pasokan gaharu. Menurut Faisal Salampessy, direktur, berapa pun produksi akan diserap. Perusahaan yang berdiri pada 2000 itu kini hanya mengekspor 2-3 ton dari semula 5,6 ton per bulan gaharu ke Singapura.
Menurut Joni Surya ke depan gaharu budidaya yang diperjualbelikan. 'Seberapa lama alam bisa menyediakan gaharu?' tanyanya. Apalagi di masa mendatang kebutuhan gaharu sebagai aromaterapi dan obat meningkat. Sebagai obat faedahnya antara lain antiasma, antimikroba, serta hepatitis. Itu karena gaharu mengandung 17 senyawa aktif seperti agarospirol, aquilochin, dan noroksoagarofuran.
Substansi aromatik dalam gubal termasuk golongan sesquiterpena yang hingga kini belum dapat dibuat sintetisnya. Baru-baru ini sebuah perusahaan parfum terbesar di Jerman mengundang para peneliti tanahair melakukan uji DNA untuk mengetahui pencetus aroma gaharu. 'Mereka berkepentingan karena selama ini tidak pernah kebagian bahan baku yang selalu habis terserap pasar Timur Tengah,' ungkap Dr Teuku Tadjuddin, kepala seksi Bioteknologi Puspiptek Serpong di Tangerang.
Pantas jika penanaman gaharu terus meluas. Apalagi harga jual terus melambung. Jika pada 2001 gaharu super per kg Rp4-juta-Rp5-juta, saat ini Rp10-juta-Rp15-juta. Demikian pula harga gubal kelas AB yang cuma Rp2-juta-Rp3-juta, saat ini Rp4-juta-Rp5-juta per kg.
Gaharu 88 di Bengkulu mengkoordinir 42 kelompok tani untuk penanaman gaharu hingga 95.000 pohon. Begitu juga Asgarin yang mewajibkan setiap anggotanya menanam minimal 2 hektar gaharu. H Mahmuddin memilih bermitra dengan para pekebun. Setiap tahun Mahmuddin memperluas lahan penanaman rata-rata 5-10 hektar. Laba besar yang didapat menjadi daya tarik pekebun.
Dengan niat konservarsi Universitas Mataram (Unram) melalui Gaharu Center mengkampanyekan penanaman gaharu. Salah satunya menghijaukan hutan lindung di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Dari lahan seluas 225 hektar, 132 hektar di antaranya sudah ditanami lebih dari 100.000 pohon gaharu. 'Gaharunisasi ini juga dilakukan di kampus,' ujar Dr Sudirman, dekan Fakultas Pertanian Unram. Jika bisnis dan konservasi sudah bisa sejalan seia sekata, apalagi yang harus tunggu? Sebagaimana pepatah, Ah sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula. (Dian Adijaya S/Peliput: Karjono, Faiz Yajri, Tri Susanti, Nesia A, dan Sardi Duryatmo)
(Sumber trubus.Kamis, Januari 01, 2009 00:45:57)