Team Program 'Masjid Gaharu' Kota Depok

1.Ganif Aswoko , email: aswokoganif@gmail.com



2.Taqyuddin SSi MHum , email: taqygeo@gmail.com




Sabtu, Februari 21, 2009

MOU Budidaya Gaharu ditandatangani

Pada tanggal 18 Februari 2009, bertempat di Hotel sultan Jakarta telah ditandatangani MOU Budidaya tanaman gaharu antara MKGR, ASGARIN dan DMI Pusat. Penandatanganan MOU bertepatan dengan acara pembentukan Dewan pengurus ASGARIN. Pengembangan budidaya gaharu akan melibatkan 100.000 masjid di seluruh Indonesia. Demikian disampaikan Ganif Aswoko, ketua DMI Depok di rumahnya di Sawangan Permai.

Persaingan harga kayu gaharu di pasar Timur Tengah, Taiwan dan Jepang sangat ketat. Negara pesaing utama produk gaharu yaitu India, Malaysia, Kamboja dan Thailand yang sering mematok harga lebih rendah dari komoditi Indonesia dengan kualitas lebih baik.

DMI kota Depok telah lebih dulu mengadakan kerjasama budidaya gaharu dengan Universitas Indonesia.

Senin, Februari 16, 2009

Foto : Kebun gaharu




Kebun Gaharu, beberapa batang sudah diinjek dengan serum.

Foto: Pohon gaharu

Berita Foto:
Ganif Aswoko, Pelopor pengembangan gaharu dari DMI Depok bekerja sama dengan UI.
Gambar menunjukan saat Pak Ganif berkunjung ke perkebunan di Bogor yang baru di injek serum. Umur pohon yang terlihat sudah 15 tahun, dengan disuntik akhir tahun 2008, maka akan dipanen tahun 2010.
Ganif Aswoko, email: ganifaswoko@yahoo.com

Minggu, Februari 15, 2009

Pengujian Mutu Gaharu

Cara Uji Gaharu

1. Prinsip : Pengujian dilakukan secara kasat mata (visual) dengan mengutamakan kesan warna dan kesan bau (aroma) apabila dibakar.

2. Peralatan yang digunakan meliputi meteran, pisau, bara api, kaca pembesar (loupe) ukuran pembesaran > 10 (sepuluh) kali, dan timbangan.

3. Syarat pengujian

a. Kayu gaharu yang akan diuji harus dikelompokkan menurut sortimen yang sama. Khusus untuk abu gaharu dikelompokkan menurut warna yang sama.

b. Pengujian dilaksanakan ditempat yang terang (dengan pencahayaan yang cukup), sehingga dapat mengamati semua kelainan yang terdapat pada kayu atau abu gaharu.

4. Pelaksanaan pengujian

a. Penetapan jenis kayu
Penetapan jenis kayu gaharu dapat dilaksanakan dengan memeriksa ciri umum kayu gaharu.

b. Penetapan ukuran
Penetapan ukuran panjang, lebar dan tebal kayu gaharu hanya berlaku untuk jenis gubal gaharu.

c. Penetapan berat
Penetapan berat dilakukan dengan cara penimbangan, menggunakan satuan kilogram (kg).

d. Penetapan mutu
Penetapan mutu kayu gaharu adalah dengan penilaian terhadap ukuran, warna, bentuk, keadaan serat, bobot kayu, dan aroma dari kayu gaharu yang diuji.

Sedangkan untuk abu gaharu dengan cara menilai warna dan aroma.
1. Penilaian terhadap ukuran kayu gaharu, adalah dengan cara mengukur panjang, lebar dan tebal, sesuai dengan syarat mutu.
2. Penilaian terhadap warna kayu dan abu gaharu adalah dengan menilai ketuaan warna, lebih tua warna kayu, menandakan kandungan damar semakin tinggi.
3. Penilaian terhadap kandungan damar wangi dan aromanya adalah dengan cara memotong sebagian kecil dari kayu gaharu atau mengambil sejumput abu gaharu, kemudian membakarnya. Kandungan damar wangi yang tinggi dapat dilihat dari hasil pembakaran, yaitu kayu atau abu gaharu tersebut meleleh dan mengeluarkan aroma yang wangi dan kuat.
4. Penilaian terhadap serat kayu gaharu, adalah menilai kerapatan dan kepadatan serat kayu. Serat kayu yang rapat, padat, halus dan licin, bermutu lebih tinggi dari pada serat yang jarang dan kasar.

e. Penetapan mutu akhir
Penetapan mutu akhir didasarkan pada mutu terendah menurut salah satu persyaratan mutu berdasarkan karakteristik kayu gaharu.

Sabtu, Februari 14, 2009

Kiat Cepat Panen Gaharu

Gaharu mati setelah setahun disuntik cendawan. Ia memang tak bersalah, tapi terpaksa disakiti agar gubal yang harum segera muncul. Batang gaharu Aquilaria malaccensis berumur minimal 5 tahun dibor secara spiral. Artinya, setiap ujung bidang gergaji pertama akan bersambungan dengan bidang gergaji kedua. Begitu selanjutnya. Bidang gergajian itulah yang diberi cendawan.

Setahun pasca penyuntikkan gubal sudah dapat dituai. Teknik sebelumnya, antar bidang gergaji tidak saling berhubungan. Interval antar bidang sekitar 10 cm dan perlu 2-3 tahun menuai gubal.

Modifikasi teknologi pemberian cendawan itu dikembangkan oleh Drs Yana Sumarna MSi, periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Ia memberikan cendawan Fusarium spp pada setiap batang gaharu. Setahun berselang, ia bisa memanen 10 kg gubal gaharu dari pohon umur 6 tahun. Cara ini lebih efektif dibandingkan teknik lama lantaran teknik spiral mampu menahan pohon tetap berdiri kokoh walau ditiup angin kencang. Siapkan alat yang diperlukan: bor kayu dengan mata bor berdiameter 13 mm untuk melubangi batang, gergaji, spidol sebagai penanda tempat pelubangan, alat ukur, kapas, spatula, pinset, alkohol 70%, lilin lunak dan bibit gubal berupa cendawan.

Proses pengerjaannya sederhana.

1. Inokulan berupa cendawan untuk membantu proses terbentuknya gubal. Beberapa contoh cendawan padat adalah Diplodia sp, Phytium sp, Fusarium sp, Aspergillus sp, Lasiodiplodia sp, Libertela sp, Trichoderma sp, Scytalidium sp, dan Thielaviopsis sp. Cendawan itu diperbanyak dengan mencampur satu sendok cendawan dan 100 gram limbah serbuk kayu gaharu. Simpan satu bulan di botol tertutup rapat.

2. Buat tanda di lapisan kulit pohon berdiameter 10 cm dengan spidol untuk menentukan bidang pengeboran. Titik pengeboran terbawah, 20 cm dari permukaan tanah. Buat lagi titik pengeboran di atasnya dengan menggeser ke arah horizontal sejau 10 cm dan ke vertikal 10 cm. Dengan cara sama buatlah beberapa titik berikutnya hingga setelah dihubungkan membentuk garis spiral.

3. Gunakan genset untuk menggerakkan mata bor. Buat lubang sedalam 1/3 diameter batang mengikuti garis spiral bidang pengeboran.

4. Bersihkan lubang bor dengan kapas yang dibasuh alkohol 70% untuk mencegah infeksi mikroba lain.

5. Masukkan cendawan ke dalam lubang dengan menggunakan sudip. Pengisian dilakukan hingga memenuhi lubang sampai permukaan kulit.

6. Tutup lubang yang telah diisi penuh cendawan dengan lilin agar tak ada kontaminan. Untuk mencegah air merembes, permukaan lilin juga ditutup plester plastik.

7. Cek keberhasilan penyuntikan setelah satu bulan. Buka plester dan lilin.
Inokulasi cendawan sukses jika batang berwarna hitam. Setelah itu buat sayatan ke atas agar kulit bawah terkelupas. Ini memudahkan untuk membuka dan menutup saat pengecekan selanjutnya.

8 . Satu tahun kemudian gaharu dipanen. Untuk meningkatkan keberhasilan, pekebun
menambahkan senyawa pemicu stres. Dengan begitu daya tahan gaharu melemah, cendawan mudah berkembang biak, dan gubal pun lebih cepat terbentuk. Trubus 2006

Rabu, Februari 11, 2009

Produksi gaharu secara buatan

Ada beberapa tahapan dalam produksi gaharu secara buatan, antara lain:

Isolasi jamur pembentuk.

Isolat jamur pembentuk diambil dari jenis pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh jenis pohon yang dibudidayakan.

Identifikasi dan seleksi.

Isolat jamur pembentuk diidentifikasi berdasarkan taksonomi dan morfologinya. Proses seleksi dilakukan dengan menggunakan postulat koch untuk memastikan jamur yang memberikan respons pembentukan gaharu, memang berasal dari jamur yang diinokulasi.

Teknis perbanyakan inokulum.

Biakan murni jamur pembentuk gaharu dapat diperbanyak pada media cair dan media padat. Diperlukan ketrampilan khusus dalam memperbanyak jamur agar proses kemurnian dan peluang masing-masing jenis jamur pembentuk gaharu akan memberikan respon yang berbeda apabila disuntik pada jenis pohon penghasil gaharu yang berbeda.

Teknik induksi.

Teknik induksi jamur pembentuk gaharu dilakukan pada batang pohon penghasil gaharu. Reaksi pembentukkan gaharu akan dipengaruhi oleh daya tahan inang terhadap induksi jamur dan kondisi lingkungan. Respon inang ditandai oleh perubahan warna coklat setelah beberapa bulan disuntik. Semakin banyak jumlah lubang dan inokulum dibuat, maka semakin cepat pembentukkan gaharu terjadi. Proses pembusukan batang oleh jamur lain dapat terjadi apabila teknik penyuntikan tidak dilakukan sesuai prosedur.

Pemanenan.

Pemanenan gaharu dapat dilakukan minimum 1 tahun setelah proses induksi jamur pembentuk gaharu. Apabila ingin mendapatkan produksi gaharu yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas, maka proses pemanenan dapat dilakukan 2-3 tahun setelah proses induksi jamur.

Selasa, Februari 10, 2009

Cara Pengambilan Gaharu

1. Gubal gaharu dan kemedangan diperoleh dengan cara menebang pohon penghasil gaharu yang telah mati, sebagai akibat terjadinya akumulasi damar wangi yang disebabkan oleh infeksi pada pohon tersebut.

2. Pohon yang telah ditebang lalu dibersihkan dan dipotong-potong atau dibelah-belah, kemudian dipilih bagian-bagian kayunya yang telah mengandung akumulasi damar wangi, dan selanjutnya disebut sebagai kayu gaharu.

3. Potongan-potongan kayu gaharu tersebut dipilah-pilah sesuai dengan kandungan damarnya, warnanya dan bentuknya.

4. Agar warna dari potongan-potongan kayu gaharu lebih tampak, maka potongan-potongan kayu gaharu tersebut dibersihkan dengan cara dikerok.

5. Serpihan-serpihan kayu gaharu sisa pemotongan dan pembersihan atau pengerokan, dikumpulkan kembali untuk dijadikan bahan pembuat abu gaharu.

Standard Gaharu

Kamis, Februari 05, 2009

Penanaman Dan Pemeliharaan

Menanam Bibit

Kegiatan menanam gaharu dimulai dari pemilihan jenis/species, Aquilaria malaccensis, A. microcarpa serta A. crassna adalah species penghasil gubal gaharu dengan aroma yang sangat disenangi masyarakat Timur Tengah, sehingga memiliki harga paling tinggi.



Lokasi Penanaman, Gaharu dapat ditanam mulai dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 750 m dpl, dengan pola tanam monokultur atau dengan sisetem tumpangsari. Jark tanam 3 x 3 m (1.000 pohon/ha.), namun dapat juga 2.5 x 3 m sampai 2.5 x 5 m. Jika tanaman gaharu ditanam pada lahan yang sudah ditumbuhi tanaman lain, maka jarak tanaman gaharu minimal 3 m dari tanaman tersebut.



Penyiapan lubang tanaman untuk bibit dengan ukuran lubang tanam 40 x 40 x 40 cm. Lubang yang sudah digali dibiarkan minimal 1 minggu, agar lubang beraerasi dengan udara luar. Kemudian masukkan pupuk dasar, campuran serbuk kayu lapuk dan kompos dengan perbandingan 3 : 1 sampai mencapai ¾ ukuran lubang. Kemudian setelah beberapa minggu pohon gaharu, siap untuk ditanam. Penanaman bibit gaharu sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan di pagi hari sampai jam 11.00, dan dapat dilanjutkan pada jam 16.00 sore harinya.



Pemeliharaan

Pemupukan dapat dilakukan sekali 3 bulan, namun dapat juga setiap 6 bulan dengan kompos. Penggunaan pupuk kimia seperti NPK dan majemuk dapat juga ditambahkan setiap 3 bulan dengan dosis rendah (5 gr/tanaman) setelah tanaman berumur 1 tahun, kemudian dosisnya bertambah sesuai dengan besarnya batang tanaman. Hama tanaman gaharu yang perlu diperhatikan adalah kutu putih yang hidup di permukaan daun bawah, bila kondisi lingkungan lembab. Pencegahan dilakukan dengan pemangkasan pohon pelindung agar gaharu terkena cahaya matahari diikuti penyemprotan pestisida seperti Tiodane, Decis, Reagent., dll Pembersihan rumput dapat dilakukan sekali 3 bulan atau pada saat dipandang perlu.


Pemangkasan pohon dilakukan pada umur 3 sampai 5 tahun, dengan memotong cabang bagian bawah dan menyisakan 4 sampai 10 cabang atas. Pucuk tanaman dipangkas dan dipelihara cukup sekitar 5 m, sehingga memudahkan pekerjaan inokulasi gaharu.

Rabu, Februari 04, 2009

Pengusaha Gaharu Bisa Kaya

Pengusaha gaharu bisa kaya, sebab per kilogramnya, gaharu kering dijual Rp 3 juta. Per pohon gaharu biasanya diperoleh 2 kilogram gaharu kering siap jual. Di umurnya 4 - 8 tahun sudah bisa dipanen. 

Ini terungkap saat pelatihan kelompok Gaharu 88 yang beralamat di Jl. Jati VIII No 80 a Sawah Lebar Bengkulu bekerjasama dengan Majalah Trubus menggelar pelatihan budidaya pohon gaharu Sabtu - Minggu (31 Januari - 1 Februari). Pelatihan diikuti dengan praktik di Jl. Cimanuk. 

Pelatihan diikuti 27 peserta yang berasal dari berbagai kota di Indonesia seperti Riau, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Pontianak dan Malaysia. Hal ini disampaikan Ketua Kelompok Gaharu 88, Ir. Joni Surya Djakfar. 

Peserta tampak antusias mendengarkan penjelasan dari pemateri yang berasal dari Asosiasi Gaharu Indonesia (Asgarin), Dr. M. Faisal Salampessy, SH. Peserta yang cukup menarik perhatian adalah mantan Sekjen Dephan RI, Letjen TNI Purn R.H. Soeyono, SE dan peserta dari Malaysia Dato' Dr. Hj. Ilias yang tampak serius memperhatikan penjelasan pemateri. 

"Pelatihan seperti ini merupakan media untuk disampaikan kepada masyarakat, kalangan pengusaha mengenai manfaat pohon gaharu yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Sehingga dengan digelarnya pelatihan menarik masyarakat dan kalangan pengusaha untuk menanam pohon gaharu," ujar Joni. 

Nilai ekonomis gaharu terletak pada gubal gaharu yang muncul setelah pohon gaharu terinfeksi dan mati. Gubal gaharu mengandung damar wangi (aromatic resin) yang mempunyai aroma khas. Di Indonesia dijumpai tidak kurang dari 16 jenis tumbuhan penghasil gubal gaharu. 

"Gaharu juga bermanfaat untuk obat-obatan. Selain itu juga bermanfaat untuk wewangian. Saat ini kebutuhan gaharu dunia mencapai lebih dari 61.310 ton per tahun. Konsumsi gaharu terbesar seperti negara-negara Timur Tengah, Taiwan, Jepang, China. Di negara-negara tesebut gaharu menjadi kebutuhan pokok. Ini prospek yang sangat bagus," jelas Joni. 

Sekjen Asgarin, Dr. M. Faisal Salampessy, SH mengatakan, budidaya gaharu cukup mudah, tidak memerlukan perawatan tinggi dan Bengkulu memiliki struktur tanah yang cocok untuk tumbuhnya tanaman gaharu. "Bengkulu merupakan habitat tumbuhnya gaharu di pulau Sumatra. 

Pohon gaharu ini mudah dibudidayakan. Bisa ditanam sebagai tanaman tumpang sari, bisa ditanam di pekarangan rumah, batas tanah,median jalan, taman, pot dan lain-lain. Kebutuhan pasar terhadap gaharu juga semakin meningkat," ujar Faisal. 

Dilanjutkan Faisal, peran serta pemerintah sangat diperlukan untuk sosialisasi gaharu ini. "Pemerintah hendaknya lebih berkonsentrasi untuk memperhatikan komoditi ini. 

Selain memiliki nilai ekonomis tinggi budidaya gaharu juga akan meningkatkan jumlah tenaga kerja. Misalnya untuk proses pemanenan membutuhkan tenaga kerja yang relatif banyak. Pemanenan dilakukan dengan cara penebangan terhadap pohon gaharu dan selanjutnya dilakukan pemisahan dari tiap lubang bor yang telah membentuk gubal gaharu, ini membutuhkan tenaga kerja yang banyak," terang Faisal.(rei)


Rakyatbengkulu, Februari 2009

Wangi Gaharu

Andai saja Abdulqodir Hadi Mustofa mau, duit Rp328-juta masuk ke rekeningnya. Seorang pedagang menawar Rp4-juta per pohon karas Aquilaria malaccensis penghasil gaharu. Ia yang mempunyai 82 karas dan diinokulasi setahun lalu, menolak penawaran itu. 

Ia hakul yakin harga jual gaharu bakal meningkat ketika ia menebang dan memanennya kelak.Namun, celaka. Hanya berselang sebulan, semua karas di lahan Mustofa hilang karena ditebang orang. Tak satu pun pohon tersisa. Semua rata tanah karena bekas tebangan tertutup tanah. Lokasi kebunnya di Desa Sungaiduren, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muarojambi, 30 km dari rumahnya. Pohon-pohon berumur 10 tahun itu ia tanam di sela-sela pohon karet. Mustofa masygul. Ia kecewa. 'Ini belum rezeki saya,' kata pekebun gaharu itu. Potensi kerugiannya Rp328-juta. 

Abdulqodir Hadi Mustofa 'tersandung' wangi gaharu. Ia tak sendirian, tentu. Ada Kresna Sanubari-bukan nama sebenarnya-yang senasib dengannya. Pekebun di Pekanbaru, Provinsi Riau, itu pionir budidaya gaharu di Indonesia. Pada 1982 ia sudah menanam 1.000 bibit gaharu di lahan 5 ha tumpangsari dengan karet. Kresna percaya gaharu terbentuk secara alami. Oleh karena itu ia menghindari inokulasi alias-memasukkan mikroba ke jaringan pohon. 

Sebagai gantinya, Kresna mematahkan cabang sebagai pintu masuk cendawan. Langkah lain, memaku batang dari atas permukaan tanah hingga setinggi 3-4 m. Sekujur batang penuh paku. Ketika Trubus mengunjungi kebun Kresna pada awal 2008, ada 20-an pohon yang ia paku. Sepuluh tahun menunggu, pohon gaharu segar-bugar pertanda cendawan belum datang sehingga gubal atau kemedangan belum terbentuk. 
Inokulasi: rawan 

Gubal gaharu memang menggiurkan karena harga sangat mahal. Harga kelas super, misalnya, saat ini mencapai Rp15-juta per kg. Pekebun dan pemburu gubal gaharu pun berlomba-lomba mendapatkannya. Namun, memperoleh gubal tak semudah memecahkan telur ayam. Muhammad Amin, pekebun di Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menemui hambatan serupa. 

Tiga tahun lampau, ia menginokulasikan cendawan Fusarium lateritium ke sebuah pohon penghasil gubal gaharu. Enam bulan berselang, maut menjemput pohon anggota famili Thymelaeaceae itu tanpa meninggalkan gubal. Menurut Dr Sudirman, ahli gaharu dari Universitas Mataram, kegagalan itu lantaran diameter batang kecil, kurang dari 9 cm. Idealnya ukuran batang siap inokulasi bila berukuran minimal 10 cm. 

Dampaknya ketika batang dibor, jaringan xylem dan floem-organ pohon yang berperan mendistribusikan nutrisi ke seluruh jaringan tanaman-pun terputus. Sebab, pengeboran untuk membuat lubang inokulasi dari berbagai arah sehingga memungkinkan ujung beberapa lubang bertemu di satu titik. Jika begitu jaringan xylem dan floem bakal tak saling berhubungan alias terputus. Pasokan nutrisi pun terhenti dan akhirnya pohon mati.

Kegagalan serupa juga dialami Joni Surya, pekebun di Airsebakul, Kotamadya Bengkulu. Pada 2002, ia menginokulasi 10 pohon berumur 10 tahun berdiameter 20-25 cm. Ia membuat 250 lubang inokulasi di setiap pohon. Tiga botol inokulat-berisi cendawan, harga saat itu Rp100.000 sebotol-ia habiskan untuk menginokulasi sebuah pohon. Surya menunggu 3 tahun berharap agar pohon menghasilkan gubal bermutu tinggi. Berhasil? Tak sepenuhnya sukses lantaran ia cuma menuai rata-rata 2 kg kemedangan. Bagian tengah pohon keropos.

Kemedangan merupakan resin yang dihasilkan oleh pohon penghasil gaharu, tetapi mutunya di bawah gubal. Biasanya untuk memperoleh kemedangan, pekebun hanya menunggu setahun setelah inokulasi, bukan 3 tahun seperti ditempuh Joni Surya. Kegagalan inokulasi jamak ditemukan di berbagai daerah. Selain di Riau, Bengkulu, Lombok, kegagalan serupa juga terjadi di Balangan, Kalimantan Selatan. Dua tahun silam Muhidin, pekebun di Kecamatan Batumandi, Kabupaten Balangan, menginokulasi 30 pohon setinggi 2 m dan berdiameter 20-40 cm. Sayang, semua gagal. 

Hambatan inokulasi di berbagai daerah itu umumnya dialami pekebun yang baru pertama kali menginokulasi. Namun, kendala inokulasi bukan hanya 'monopoli' pekebun yang miskin pengalaman. Lihat saja Universitas Mataram yang mempunyai beberapa ahli gaharu dan mengelola perkebunan gaharu. Di lahan 132 ha, perguruan tinggi di Nusa Tenggara Barat itu mengelola 100.000 pohon penghasil gaharu Gyrinops verstigii. 
Ahli: gagal juga 

Para ahli gaharu dari Universistas Mataram menginokulasi ketika pohon berumur 7 tahun, tinggi 6 meter, dan diameter batang 11 cm. Mereka menyuntikkan 6 isolat cendawan. Namun, puluhan pohon mati setelah inokulasi. Dr Sudirman, ahli gaharu dari Universitas Mataram, tak mempunyai data pasti jumlah pohon yang mati. Menurut doktor alumnus University of Queensland itu kegagalan inokulasi terjadi lantaran terdapat isolat cendawan yang terlampau ganas. 

Sayang, ia belum dapat menunjukkan cendawan dimaksud yang menyebabkan kematian pohon penghasil gaharu. 'Pembentukan gaharu hanya bisa berlangsung pada tanaman hidup. Bila isolat mikroba terlalu ganas, maka tanaman cepat mati,' kata Dr Erdi Santosa MS, ahli gaharu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan.

Menurut Yana Sumarna MSi, periset gaharu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, terdapat 27 sepesies pohon penghasil gubal gaharu. Beberapa di antaranya adalah Aquilaria malaccensis, A. hirta, A. crassna, Aetoxylon sympetalum, dan Wikstroemia poliantha. Begitu juga jenis mikroba untuk inokulasi juga beragam. Sampai saat ini para ahli masih meriset kesesuaian antara spesies pohon penghasil gaharu dan mikroba untuk inokulasi. Selama ini relasi pohon penghasil gaharu-mikroba masih menjadi misteri.

Sebelum fase inokulasi, para pekebun menghadapi beragam masalah. Joni Surya membudidayakan 1.000 bibit gaharu Aquilaria malaccensis di lahan 3 ha. Ketika kemarau panjang terjadi di Bengkulu, satu per satu bibit mengering, lalu mati. Yang bertahan hidup sampai sekarang-berumur 5 tahun-hanya 500 pohon. Dengan harga sebuah bibit Rp25.000, ia kehilangan Rp12,5-juta di luar biaya perawatan, penanaman, dan pembuatan lubang tanam. 

Tirta, pekebun di Simpang Empat Nako, Bengkulu, mengalami hal serupa. Pada 2006 ia menanam 3.000 bibit gaharu di lahan 5 ha. Tirta menanam pohon penghasil gaharu di dekat kelapa sawit. Hingga berumur 2 tahun, gaharu memerlukan penaung. Sayangnya, Tirta menanam keduanya-gaharu dan kelapa sawit-bersama-sama saat umur keduanya relatif sama. Artinya, kelapa sawit tak cukup menaungi gaharu. 

'Gaharu yang tak ternaungi, secara fisiologis tanaman buruk karena penguapan sangat tinggi,' kata Yana Sumarna MSi. Dari 3.000 bibit, hanya 1.000 tanaman yang mampu bertahan. Kerugian Tirta untuk pembelian bibit mencapai Rp50-juta. 

Aroma wangi gaharu memang menarik banyak pekebun karena menjanjikan laba besar. Namun, banyak yang jatuh mengejar wangi itu. (Sardi Duryatmo/Peliput: Faiz Yajri, Dian Adijaya, Destika Cahyana, & Karjono)
Trubus, Januari 2009

Selasa, Februari 03, 2009

Spesifikasi & Klasifikasi Gaharu

Spesifikasi Gaharu:

Gaharu dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sortimen, yaitu gubal gaharu, kemedangan dan abu gaharu.

Klasifikasi Gaharu 

1. Gubal gaharu dibagi dalam tanda mutu, yaitu : 

a. Mutu utama, dengan tanda mutu U, setara mutu super. 
b. Mutu pertama, dengan tanda mutu I, setara mutu AB. 
c. Mutu kedua, dengan tanda mutu II, setara mutu sabah super. 

2. Kemedangan dibagi dalam 7 (tujuh) kelas mutu, yaitu : 

a. Mutu pertama, dengan tanda mutu I, setara mutu TGA atau TK I. 
b. Mutu kedua, dengan tanda mutu II, setara mutu SB I. 
c. Mutu ketiga, dengan tanda mutu III, setara mutu TAB. 
d. Mutu keempat, dengan tanda mutu IV, setara mutu TGC. 
e. Mutu kelima, dengan tanda mutu V, setara mutu M 1. 
f. Mutu keenam, dengan tanda mutu VI, setara mutu M 2. 
g. Mutu ketujuh, dengan tanda mutu VII, setara mutu M 3. 

3. Abu gaharu dibagi dalam 3 (tiga) kelas mutu, yaitu : 

a. Mutu Utama, dengan tanda mutu U. 
b. Mutu pertama, dengan tanda mutu I. 
c. Mutu kedua, dengan tanda mutu II. 

(Standard Gaharu, Dephut)

Istilah-Istilah Gaharu

 1. Abu gaharu adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan.

2. Damar gaharu adalah sejenis getah padat dan lunak, yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, dengan aroma yang kuat, dan ditandai oleh warnanya yang hitam kecoklatan. 

3. Gubal gaharu adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitam-hitaman berseling coklat. 

4. Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih keabu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar, dan kayunya yang lunak. 

(SNI, Dephut).

Senin, Februari 02, 2009

Malaysia Berguru Budi Daya Gaharu di Indonesia

 Pontianak-Negara terdekat kita, Malaysia, tidak henti-hentinya berguru pada Indonesia dalam rangka mempersiapkan kemampuan sumber daya manusianya. Tujuannya agar mereka mampu menguasai bidang penelitian dan teknologi.

Setelah mendatangkan tenaga pengajar dari Indonesia, magang di bidang pengembangan tanaman karet klon unggul, pada Mei 2007 silam, pejabat dan peneliti Forest Research Institute Malaysia (FRIM) berguru di pusat pengembangan budi daya tanaman gaharu (Aguilaria spp) di Pulau Bangka, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Bengkulu, Banten dan Riau. Gaharu sangat laku di pasaran ekspor, untuk bahan baku industri minyak wangi, pengharum ruangan, hio, hingga industri obat dengan cara mengambil bahan aktifnya untuk kepentingan kesehatan manusia. 

“Potensi yang sangat menggiurkan, telah membuat FRIM tertekad segera mempercepat riset dan pendanaannya,” kata Erdy Santoso, peneliti mikrobiologi hutan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, Bogor, pada ekspose dan gelar teknologi hasil-hasil penelitian. 

Menurutnya, agar Indonesia tidak ketinggalan momentum, pihak Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan, agar segera membentuk tim riset gaharu yang khusus menangani gaharu dari berbagai aspek penelitian (mikrobiologi, genetik, tree improvement, breeding, sosial ekonomi, grading system, biochemistry, pharmacology, dan lain-lain). Di antaranya melalui percepatan strategi riset agar kualitas gaharu dari inokulasi buatan dapat dipercepat.

“Sebagai contoh, permasalahan kelas mutu gaharu yang ditentukan oleh pedagang gaharu sangat merugikan para petani gaharu, sehingga diperlukan segera standardisasi mutu gaharu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” kata Erdy.


Inokulum

Ada 26 jenis gaharu (Aquilaria spp) yang pernah ditemui di Asia dan tujuh jenis Gyrinops spp masuk ke convention on international trade in endangered species of wild flora and fauna (CITES), appendix 2 di antaranya adalah Aquilaria hirta, A malaccensis, A microcapa, A filarial, Cumingiani, A beccariana, Gryonops verstegii, G moluccana, dan G cumingiani. 

Dia menjelaskan kayu gaharu bisa ditanam di sela-sela tanaman kelapa dalam, kelapa sawit, karet, dan kakao. Hasil penelitian di Indonesia, Aquilaria malacensis LAMK adalah jenis terbaik dan paling mahal. Per kilogramnya dihargai minimal Rp 300.000. Satu tegakan pohon hasil inolukasi di atas 20 kilogram, hanya dalam limit waktu tidak lebih dari tujuh tahun. Per hektare bisa ditanami 7.000 tegakan, dengan investasi Rp 500 juta-Rp 1 miliar. 

Pengadaan bibit di persemaian dan kegiatan penanaman tanaman penghasil gaharu sudah dimulai dilakukan masyarakat di sekitar hutan. Bibit tanaman penghasil gaharu dapat disediakan melalui cara generatif maupun vegetatif.

“Dari kegiatan di Kabupaten Sanggau, Kalbar, penanaman pohon penghasil gaharu mencakup 204 anggota sejak tahun 2003 di lahan 143 hektare (143.000 bibit), telah membuktikan tidak ada kendala berarti yang dihadapi para petani di lapangan,” lanjutnya.

Untuk menghasilkan teras gaharu berkualitas, tegakan pohon disuntik melalui sistem pengeboran batang setelah berusia 4-6 tahun. Lubang disuntik cairan jamur (inokulum), sesuai takaran. 

Jamur pembentuk gaharu diadang zat antibodi di dalam batang. Bentuk perlawanan menghasilkan teras gaharu berkualitas ekspor setelah cairan inokulum bersarang selama sembilan bulan ke atas. Dampak suntikan, tegakan pohon merangas, mati, mengelupas, dan yang tersisa tinggal teras gaharu berkualitas siap panen. Ada 20 isolat jamur pembentuk gaharu. Empat di antaranya telah teruji dan membentuk infeksi gaharu dengan cepat, yaitu isolat jamur asal Jambi, Gorontalo, Sumatera Barat, dan Kalbar. 

Erdy menegaskan antisipasi yang perlu dilakukan dari cepatnya luasan tanaman penghasil gaharu, adalah ketersediaan inokulum gaharu pemacu produksi gaharu secara buatan pada tingkat produksi massal harus seimbang dengan laju jumlah tanaman penghasil gaharu di lapangan. 

Menurut Erdy, pemerintah Indonesia harus segera mengambil momentum ini agar dapat diperoleh keuntungan dari ekspor gaharu dan masyarakat juga dapat mengambil manfaat yang besar. Pemerintah tidak perlu khawatir dengan kemungkinan terjadinya proses turunnya harga komoditas gaharu akan memerlukan waktu yang lama, riset terus berkembang dalam usaha meningkatkan mutu gaharu dengan harga yang kompetitif.(aju)

(Sinar Harapan, 22 Dec 2007)

Kayu gaharu berharga puluhan juta

Ganif Aswoko, Tim Program Masjid Gaharu kota Depok saat kami temui di rumahnya di Sawangan Permai mengatakan nilai kayu gaharu saat ini seperti jenis super king mencapai  Rp 30 juta/kg.

Sedangkan kayu gaharu jenis super dihargai Rp21 juta hingga Rp 25 juta/kg, untuk harga kacangan berkisar Rp 3 juta sampai Rp 10 juta/kg dan untuk jenis teri Rp 400.000 hingga Rp 2 juta/kg. 

Produk gaharu yang tersedia di pasaran berbentuk kayu, chips, dan bubuk. Minyak gaharu dihasilkan oleh kayu gaharu kulitas rendah. Namun, kualitas gaharu oleh pemerintah di bagi menjadi gubal, kemendangan dan abu. Riset kayu gaharu di Indonesia sudah dilakukan sejak 15 tahun yang lalu dan kini sudah ditemukan pohon gaharu terbaik yang dapat tumbuh sekitar 5 cm/tahun untuk diameter batangnya. 

Demikian pula untuk proses penyuntikan jamur parasit yang efektif sehingga pohon gaharu dapat diambil seluruh batang dan akarnya. Proses penyuntikan dilakukan setelah pohon gaharu berusia 6 tahun.

Dia menambahkan pohon gaharu baru dapat dipanen setelah 1-2  tahun proses penyuntikan. Hasil budidaya pohon gaharu diperkirakan berada di kelas teri masa panen 5 tahun seluruh bagian pohon akan diambil dengan bobot 30 kg hingga 60 kg. 

Sedangkan untuk menghasilkan kualitas kayu gaharu kelas super king baru dapat dilakukan pohon gaharu yang berusia lebih dari 15 tahun. "Pendataan bibit pohon yang ditanam untuk menghindari kelebihan pasokan pada saat panen,"tambahnya. 

Pohon gaharu dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis dengan ketinggian 750 meter dari permukaan laut. Berdasarkan hasil penelitian beberapa lembaga pendidikan, pohon gaharu tumbuh dengan baik apabila tanah yang ditumbuhinya bisa ditumbuhi pohon berkayu keras. 

"Pada saat ini pohon gaharu terdapat di daerah Kalimantan, Sumatera dan Papua. Kayu gaharu digunakan untuk menghasilkan parfum upacara keagamaan, pengobatan dan kosmetik," ucapnya. Ganif menjelaskan kayu gaharu diperoleh dari pohon gaharu dari spesies Aquailaria spp, yang menghasilkan diinfeksi oleh sejenis jamur parasit sehingga menghasilkan resin didalam kayu tersebut.

Pada awal bulan Februari 2009 ini Dia dan teamnya akan melakukan panen gaharu di Bogor.

Minggu, Februari 01, 2009

Kayu Gaharu di Ambang Kepunahan

DAERAH pedalaman Kalimantan Timur, seperti desa-desa hutan hulu Sungai Bahau di Kecamatan Pujungan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, dikenal memiliki kekayaan hayati nilai ekonomi dengan jumlah berlimpah. Misalnya, jenis-jenis ikan sungai, burung cucak rawa, kijang, rusa/payau, babi hutan, dan gaharu.
Namun, sayangnya kini kondisi kekayaan hayati tersebut telah jauh berkurang karena semarak diperdagangkan. Terlebih gaharu, nasibnya sangat tragis karena nyaris punah.
Jenis-jenis ikan Sungai Bahau yang masa lalu sangat banyak mudah dijala penduduk pedesaan hutan, suku Penan dan Dayak di Kecamatan Pujungan.
Kini, populasi jenis-jenis ikan sungai tersebut kian sulit dijala penduduk pedesaan hutan karena jumlah populasinya telah jauh berkurang akibat eksploitasi berlebihan untuk diperdagangkan.
Demikian pula jenis-jenis satwa liar hutan, seperti babi hutan yang pada masa lalu populasinya sangat berlimpah. Terutama pada musim migrasi, satwa tersebut berkelompok mencari buah-buahan kayu hutan yang jatuh, berenang melintasi sungai-sungai, sehingga dikenal oleh masyarakat lokal Punan dan Dayak sebagai musim "babi berenang" (lihat Puri, 1997).
Dewasa ini populasi babi liar tersebut tidak sebanyak di masa lalu karena banyak diburu dan diperdagangkan di pedesaan hutan. Nasib serupa menimpa jenis-jenis satwa liar lainnya, termasuk cucak rawa, rusa/payau, dan kijang.
Populasi tiga jenis satwa liar tersebut kini sudah jauh berkurang karena diburu secara intensif dan diperdagangkan. Sedangkan burung cucak rawa laku dijual di desa-desa hutan dengan harga yang sangat mahal.
Selain menimpa satwa, nasib tragis juga telah menimpa jenis-jenis tumbuhan, khususnya kayu gaharu. Kayu gaharu yang mendapat julukan "emas beraroma dari hutan" kini tinggal menunggu waktu menuju kepunahan.
Mengapa hal ini terjadi? Penyebab tak lain adalah karena pengaruh penetrasi ekonomi pasar yang merasuk kawasan pedesaan hutan. Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa dalam dasawarsa terakhir ini, penetrasi ekonomi pasar sulit dibendung kian merasuk pada sistem ekonomi penduduk pedesaan hutan.
Gubal gaharu telah laku dijual hingga jutaan rupiah per kilogram, terutama dari kualitas prima. Akibatnya, gaharu yang biasa tumbuh di kawasan hutan-hutan primer itu dicari banyak orang untuk diperdagangkan.
Konsekuensi lebih jauh, kini gaharu di kawasan hutan Kecamatan Pujungan kian sulit didapatkan dan nyaris punah.
GAHARU merupakan produk hutan yang sangat unik dibentuk dari resin kayu genus Aquilaria. Di Indonesia telah tercatat ada enam jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan gaharu, yaitu A beccariana, A cumingiana, A filaria, A hirta, A malaccensis, dan A microcarpa.
Penyebaran jenis-jenis tumbuhan tersebut cukup bervariasi, seperti ditemukan mulai dari kawasan hutan primer hujan dataran rendah hingga kawasan hutan primer dataran tinggi, di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Namun, dari enam jenis kayu gaharu tersebut, hanya dua jenis yang utama menghasilkan gubal gaharu, yaitu A malaccensis dan A beccariana.
Selain itu, dari banyak pohon-pohon gaharu yang tumbuh di hutan primer, tidak semuanya memiliki gubal gaharu. Demikian pula dari satu pohon gaharu, hanya pada bagian batang atau cabang tertentu yang mengandung gubal gaharu.
Mengapa demikian? Hal ini tidak lain karena individu pohon Aquilaria yang menghasilkan gubal gaharu, terutama yang terinfeksi parasit. Pohon-pohon dan cabang gaharu yang terkena infeksi parasit berupa jamur biasanya mengeluarkan resin.
Resin-resin yang harum ini biasanya terus mengeras dan berwarna hitam. Jadi, pohon-pohon gaharu yang tidak terinfeksi parasit berupa jamur tidak bakal menghasilkan gubal gaharu yang sangat wangi dan terkenal ke mancanegara.
Berdasarkan pembentukan gubal gaharu, kualitas gaharu dapat dibedakan menjadi beberapa kelas, yaitu kelas super, kelas teri, kelas I, kelas II, kelas III, dan kelas IV.
Harga jual pun bervariasi, tergantung kualitas gubal gaharu tersebut. Misalnya, kualitas gaharu yang paling baik dapat laku dijual 4-5 juta per kg. Sedangkan kualitas paling rendah, harga jualnya antara Rp 100.000- Rp 250.000 per kg.
Karena harga jual gaharu yang mahal tersebut, tidaklah heran jika gaharu banyak diburu orang, baik oleh penduduk lokal maupun penduduk luar, bahkan dari luar Pulau Kalimantan, seperti orang-orang dari Pulau Jawa.
Perdagangan gubal gaharu pun bukan saja untuk perdagangan di dalam negeri, tetapi paling menonjol juga untuk diekspor ke luar negeri. Misalnya, diekspor ke China dan India untuk diperdagangkan sebagai bahan obat-obatan. Pun diekspor ke Jepang untuk bahan dupa dan parfum.
Kayu gaharu sesungguhnya sejak tahun 1995 telah ditetapkan masuk Appendix II CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Hal ini artinya bahwa gaharu pada tahun 1990-an tidak terancam punah, namun memiliki kemungkinan terancam punah jika perdagangannya tidak teratur. Komoditas gaharu hanya boleh diperdagangkan kalau ada izin dari pihak authority.
Kendati telah dimasukkan dalam Appendix II CITES, gaharu telah menjadi sebuah fenomena umum bahwa sumber daya alam milik bersama atau tidak ada pemiliknya yang mempunyai nilai ekonomis sangat tinggi biasa dieksploitasi banyak orang secara bebas dengan mengabaikan sistem keberlanjutannya.
Perdagangan gaharu yang seharusnya masuk kualifikasi harus mendapat pengaturan dan izin dari authority. Namun, dalam dasawarsa terakhir ini tidak pernah ada yang menghiraukannya. Terlebih lagi eksploitasi gubal gaharu kian semarak dilakukan oleh orang-orang luar pedesaan hutan.
Mereka biasanya secara berkelompok menjelajahi berbagai kawasan hutan mencari gubal gaharu. Perilaku orang-orang luar tersebut dalam mengeksploitasi gubal gaharu sangat berbeda dengan perilaku penduduk lokal yang bermukim di pedesaan hutan.
Penduduk lokal biasanya menebang kayu-kayu gaharu secara selektif yang dilakukan hanya pada pohon-pohon gaharu yang memiliki gubal gaharu. Hal ini karena mereka mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang pohon-pohon gaharu yang memiliki gubal gaharu di kawasan hutan primer.
Sedangkan penduduk luar pedesaan hutan biasanya mencari gubal gaharu pada umumnya dengan cara menebang semua pohon-pohon gaharu tua yang ditemukannya di hutan primer. Padahal, tidak semua pohon-pohon gaharu tersebut memiliki gubal gaharu. Akibatnya, pohon-pohon gaharu tua makin berkurang, sedangkan untuk regenerasinya butuh waktu yang sangat lama.
Selain itu, yang sangat disayangkan bahwa semaraknya perdagangan gaharu itu nyatanya kurang dirasakan keuntungan yang memadai bagi masyarakat lokal pedesaan hutan. Hal ini karena berbagai faktor, antara lain lemahnya penduduk desa- desa hutan terhadap akses pasar. Jadi, hanya para bandar dan orang-orang luar yang dapat mengecap hasil gaharu dibandingkan dengan penduduk lokal yang senantiasa ikut mengelola hutan, di tempat tumbuhnya pohon-pohon gaharu tersebut.
Sementara sebagian penduduk setempat, yang terlibat ikut berpartisipasi dalam eksploitasi gaharu menjelajah masuk kawasan hutan primer, biasanya hanya mendapat keuntungan hasil yang tidak seimbang dengan keuntungan yang diraup para tengkulak (toke).
Bahkan, tidak sedikit penduduk lokal yang ikut mencari gaharu ke hutan-hutan primer berminggu-minggu atau lebih bukannya mendapat untung. Tetapi, mereka dililit utang yang berkepanjangan. Karena, penduduk lokal yang ikut terlibat mencari gaharu dari hutan primer bukannya mendapat keuntungan dari menjual gaharu.
Namun, kerap kali mereka mendapat kerugian. Karena, hasil gaharu yang didapatnya hanya sedikit bahkan nihil sama sekali, sedangkan uang pinjaman uang dari para bandar terus menumpuk.
BERDASARKAN kasus eksploitasi gaharu yang intensif oleh banyak orang, tampaknya upaya penyelamatan gaharu dengan hanya mencantumkan komoditas hutan tersebut dalam Appendix II tidaklah memadai. Mengingat di era ekonomi pasar bebas global dewasa ini, setiap pencari gaharu telah berpikir sangat rasional, yaitu mereka semua berpikiran yang hampir serupa, buat apa melindungi gaharu-gaharu di hutan primer untuk cadangan hari depan.
Apabila tidak ada jaminan bahwa gaharu-gaharu yang tidak diambilnya hari ini olehnya, esok lusa gaharu-gaharu tersebut tidak diambil oleh orang-orang lain. Makanya, semua orang berkeinginan mengambil gaharu sebanyak mungkin tanpa memikirkan konservasinya.
Konsekuensinya, gaharu berupa sumber daya hutan primer milik bersama telah mengalami tragedi menuju kepunahan.
Sejalan dengan teori Hardin (1968), yang mengemukakan bahwa sumber daya alam milik bersama atau tidak ada pemiliknya sangat rawan terhadap bencana kerusakan. Hal ini karena tidak ada seorang pun yang merasa ingin mengonservasi demi pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Karena itu, upaya nyata dari semua pemangku kepentingan (stake holders) secara partisipatif dan kolaborasi sungguh dibutuhkan untuk menyelamatkan "emas beraroma dari hutan", gaharu, yang terkenal dalam perdagangan domestik maupun mancanegara.

Johan Iskandar Dosen Biologi FMIPA dan Peneliti pada PPSDAL-Lemlit Universitas Padjadjaran
(Kompas, 25 Feb 2005)

PEMELIHARAAN TANAMAN

Pohon gaharu sesuai ditanam di antara daerah dataran rendah hingga ke perbukitan pada ketinggian 0 - 750 meter dari permukaan air laut dengan curah hujan kurang dari 2000 cm. Suhu yang sesuai adalah antara 27°C hingga 32°C dengan kadar cahaya matahari sebanyak 70%. Jenis tanah yang sesuai adalah jenis lembut dan liat berpasir dengan pH tanah antara 4.0 hingga 6.0.

Biji benih yang berkualitas amat penting untuk pembibitan , biasanya pembenihan di lakukan oleh nurseri untuk menjamin bibit benih tanaman dalam volume yang besar dan berkelanjutan . Buah karas dari jenis Aquilaria Malaccencis adalah berbentuk kapsul, 3.5 cm hingga 5 cm panjang, ovoid dan berwarna coklat. Kulitnya agak keras. Mengandung 3 hingga 4 biji benih bagi setiap buah.

Penanaman bisa dilakukan di tanah-tanah perkebunan ataupun di tanah yang sempit seperti halaman rumah atau masjid. Bisajuga ditanam di kebun kelapa sawit, ladang kopi dan kebun di bawah pokok-pokok yang lain yang berumur antara 5 - 8 tahun. Teknik tanaman secara sistem tumpangsari atau intergrasi dengan 2 atau lebih tanaman juga boleh dilakukan.

Teknik menanam adalah dengan menggali lubang dalam jarak ukuran 2mx2m, 3mx3m, atau 3mx5m. Tergantung kepada teknik tanaman secara selang, intergrasi atau sebagainya. Anak pokok dikeluarkan dari politena bag dan dimasukkan ke dalam lubang yang digali dengan besar diameter dan kedalaman 0.5 meter. Tanah dipermukaan dipadatkan dengan tangan untuk memastikan akar bersentuhan rapat dengan tanah dan hindarkan pengaliran air di permukaan (surface water). Kadar pemupukan tidak boleh melebihi 100 gm bagi tiap-tiap lubang yaitu dengan kadar pupuk NPK 15:15:15 sebanyak 40 - 50 gm dan TSP sebanyak 40 - 50 gm semasa proses penanaman.

Pohon gaharu yang ditanam perlu dibersihkan dari gangguan pokok lain sekitar 50 cm untuk menghindarkan persaingan hidup. Pekerjaan ini dilakukan dalam 2 - 3 kali setahun sehingga pohon berusia 5 tahun. Pengemburan 2 kali setahun adalah amat baik untuk memberi oksigen ke dalam tanah untuk melancarkan penyerapan makanan oleh pohon.

KAYU GAHARU DAN KEGUNAANNYA

Kandungan kimia yang terdapat dalam gaharu merupakan komponen-komponen yang terdiri dari sesquiterpenes, sesquiter-pene alcohol, kompoun oxygenated dan chromone. Selain itu, juga terdiri dari komponen-komponen agarospiral, jinkohol-eramol, jinkool yang menghasilkan aroma gaharu.

Penggunaan kayu dalam industri perkayuaan di mana kayunya digunakan dalam industri pembuatan kotak pembungkus, papan lapis, cenderamata, perabot, sarung senjata, chopstick dan lain-lain. Gaharu digunakan dalam upacara keagamaan Cina, Ayurvedic dan upacara kaum di Tibet. Gaharu digunakan sebagai pengharum rumah di Timur Tengah , di Papua New Guinea digunakan sebagai obat-obatan tradisional oleh masyarakatnya. Di masa sekarang gaharu juga digunakan sebagai bahan minyak wangi dan kosmetik.