Team Program 'Masjid Gaharu' Kota Depok
1.Ganif Aswoko , email: aswokoganif@gmail.com
2.Taqyuddin SSi MHum , email: taqygeo@gmail.com
2.Taqyuddin SSi MHum , email: taqygeo@gmail.com
Jumat, Januari 30, 2009
'Masjid Gaharu' menuju kesejahteraan umat'
Program yang disebut 'Masjid Gaharu' ini dicanangkan secara nasional oleh Menteri Kehutanan, Malam Sambat Kaban, di Masjid Al-Fauzien, Kota Depok, 14 September 2008. Pengembangan budidaya kayu gaharu di masjid-masjid tersebut diinisiasi oleh DMI Kota Depok dan Pusat Penelitian Geografi Terapan (PPGT-FMIPA) Universitas Indonesia (UI).
Budidaya dimulai dari wilayah Depok dan akan dikembangkan di berbagai wilayah lainnya di Indonesia melalui Koperasi Pemberdayaan Ekonomi Masjid Indonesia.
Budidaya kayu gaharu untuk mengantisipasi kepunahan kayu jenis ini di Indonesia. Kepunahan gaharu disebabkan terutama oleh dua hal.
Pertama, teknik penebangan kayu gaharu dan tidak ada kepastian ada atau tidaknya resin gaharu dalam kayu tersebut.
Kedua, karena permintaan kayu gaharu selalu tinggi mengakibatkan menurunnya supply alami. Gaharu umumnya terdapat di hutan-hutan di wilayah hutan Papua, Kalimantan, Halmahera, NTB, NTT, dan Sumate
Bernilai ekonomis
Kayu gaharu memiliki nilai ekonomi tinggi. Terdapat enam klasifikasi harga kayu gaharu - tergantung kualitas dan usia resin yang dihasilkan gaharu - mulai harga termurah Rp100.000 per kilogram hingga Rp30 juta per kilogram. Permintaan resin gaharu selalu meningkat setiap tahun. Negara-negara yang mengimpor banyak gaharu adalah India China, Jepang, Arab Saudi dan Amerika Serikat.
Pusat Penelitian Geografi Terapan (PPGT) Universitas Indonesia mengembangkan teknologi pembibitan gaharu melalui teknologi kultur jaringan. Lembaga ini juga mengembangkan teknologi serum untuk disuntikkan kepada pohon gaharu tersebut.
Pola yang disebutnya sebagai rekayasa isokulasi jamur tersebut dilakukan setelah pohon gaharu berusia 5 tahun. Teknik penyuntikan jamur ke dalam kayu gaharu dimaksudkan agar pohon tersebut terinfeksi dan berpeluang menghasilkan resin setelah satu sampai tiga tahun kemudian.
Gaharu dapat dibudidayakan masyarakat di areal dataran rendah dengan ketinggian tidak lebih dari 750 meter dari permukaan laut tropis. Apabila di areal tersebut dapat tumbuh pohon berkayu keras seperti rambutan, mangga, nangka, durian, dan sejenisnya, maka kayu gaharu akan tumbuh dengan baik bila dikembangkan di lahan tersebut.
DMI Kota Depok akan bekerjasama dengan masjid-masjid lainnya di Indonesia untuk budidaya gaharu tersebut. Selain memiliki nilai ekonomi, program ini juga berkaitan dengan penghijauan lingkungan hidup dan meningkatkan resapan air untuk kehidupan masyarakat.
Budidaya gaharu merupakan bagian pemberdayakan ekonomi masjid dalam upaya memakmurkan masjid dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Bahkan, bila berkembangan dengan baik, budidaya Gaharu dapat menjadi unggulan agrobisnis Indonesia, selain karena pasarnya cukup besar, juga kayu Gaharu sudah masuk dalam kondisi hampir punah.
Kesejahteraan umat
"Masjid Gaharu" merupakan salah satu program DMI Kota Depok. Pengembangan ekonomi lainnya yang berbasis masjid, antara lain pembangunan jaringan minimarket, pendirian lembaga keuangan syariah (baitul maal wattamwil-BMT), dan kegiatan ekonomi lainnya.
Aktivitas ekonomi masjid ini akan diintegrasikan melalui sistem teknologi informasi yang berbasis internet, sehingga lembaga-lembaga ekonomi masjid dapat saling berkomunikasi, berinteraksi, dan bertransaksi. Konsep pengembangan jejaring ekonomi masjid bernama "Masjid Incorporated" ini dapat menjadi kekuatan ekonomi umat.
Dengan jejaring tersebut, produk usaha mikro dan kecil masyarakat dapat dipasarkan lebih luas, disamping itu jejaring ekonomi masjid akan memiliki posisi tawar dengan produsen besar sehingga dapat memperoleh produk dengan harga yang lebih murah.
Sementara untuk lembaga keuangan BMT, melalui jejaring antara lain dapat melakukan transkasi semacam "kliring" antar BMT. Lembaga keuangan mikro syariah yang terintegrasi ini dapat menjadi channeling agent perbankans yariah di Indonesia karena memiliki jangkauan luas.
Dengan pengembangan ekonomi masjid, selain dapat memakmurkan masjid, juga akan mampu menciptakan lapangan kerja, menumbuhkan wirausahawan-wirausahawan mandiri, dan meningkatkan pendapatan umat, yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Jadi, mari kita memulai peningkatan kesejahteaan masyarakat melalui pendekatan ekonomi masjid. Mulailah dari apa yang bisa dilakukan dulu. Ini adalah solusi bagi permasalahan bangsa kita.
(Mustafa Edwin Nasution, Ph.D, sumber: monde)
Budidaya dimulai dari wilayah Depok dan akan dikembangkan di berbagai wilayah lainnya di Indonesia melalui Koperasi Pemberdayaan Ekonomi Masjid Indonesia.
Budidaya kayu gaharu untuk mengantisipasi kepunahan kayu jenis ini di Indonesia. Kepunahan gaharu disebabkan terutama oleh dua hal.
Pertama, teknik penebangan kayu gaharu dan tidak ada kepastian ada atau tidaknya resin gaharu dalam kayu tersebut.
Kedua, karena permintaan kayu gaharu selalu tinggi mengakibatkan menurunnya supply alami. Gaharu umumnya terdapat di hutan-hutan di wilayah hutan Papua, Kalimantan, Halmahera, NTB, NTT, dan Sumate
Bernilai ekonomis
Kayu gaharu memiliki nilai ekonomi tinggi. Terdapat enam klasifikasi harga kayu gaharu - tergantung kualitas dan usia resin yang dihasilkan gaharu - mulai harga termurah Rp100.000 per kilogram hingga Rp30 juta per kilogram. Permintaan resin gaharu selalu meningkat setiap tahun. Negara-negara yang mengimpor banyak gaharu adalah India China, Jepang, Arab Saudi dan Amerika Serikat.
Pusat Penelitian Geografi Terapan (PPGT) Universitas Indonesia mengembangkan teknologi pembibitan gaharu melalui teknologi kultur jaringan. Lembaga ini juga mengembangkan teknologi serum untuk disuntikkan kepada pohon gaharu tersebut.
Pola yang disebutnya sebagai rekayasa isokulasi jamur tersebut dilakukan setelah pohon gaharu berusia 5 tahun. Teknik penyuntikan jamur ke dalam kayu gaharu dimaksudkan agar pohon tersebut terinfeksi dan berpeluang menghasilkan resin setelah satu sampai tiga tahun kemudian.
Gaharu dapat dibudidayakan masyarakat di areal dataran rendah dengan ketinggian tidak lebih dari 750 meter dari permukaan laut tropis. Apabila di areal tersebut dapat tumbuh pohon berkayu keras seperti rambutan, mangga, nangka, durian, dan sejenisnya, maka kayu gaharu akan tumbuh dengan baik bila dikembangkan di lahan tersebut.
DMI Kota Depok akan bekerjasama dengan masjid-masjid lainnya di Indonesia untuk budidaya gaharu tersebut. Selain memiliki nilai ekonomi, program ini juga berkaitan dengan penghijauan lingkungan hidup dan meningkatkan resapan air untuk kehidupan masyarakat.
Budidaya gaharu merupakan bagian pemberdayakan ekonomi masjid dalam upaya memakmurkan masjid dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Bahkan, bila berkembangan dengan baik, budidaya Gaharu dapat menjadi unggulan agrobisnis Indonesia, selain karena pasarnya cukup besar, juga kayu Gaharu sudah masuk dalam kondisi hampir punah.
Kesejahteraan umat
"Masjid Gaharu" merupakan salah satu program DMI Kota Depok. Pengembangan ekonomi lainnya yang berbasis masjid, antara lain pembangunan jaringan minimarket, pendirian lembaga keuangan syariah (baitul maal wattamwil-BMT), dan kegiatan ekonomi lainnya.
Aktivitas ekonomi masjid ini akan diintegrasikan melalui sistem teknologi informasi yang berbasis internet, sehingga lembaga-lembaga ekonomi masjid dapat saling berkomunikasi, berinteraksi, dan bertransaksi. Konsep pengembangan jejaring ekonomi masjid bernama "Masjid Incorporated" ini dapat menjadi kekuatan ekonomi umat.
Dengan jejaring tersebut, produk usaha mikro dan kecil masyarakat dapat dipasarkan lebih luas, disamping itu jejaring ekonomi masjid akan memiliki posisi tawar dengan produsen besar sehingga dapat memperoleh produk dengan harga yang lebih murah.
Sementara untuk lembaga keuangan BMT, melalui jejaring antara lain dapat melakukan transkasi semacam "kliring" antar BMT. Lembaga keuangan mikro syariah yang terintegrasi ini dapat menjadi channeling agent perbankans yariah di Indonesia karena memiliki jangkauan luas.
Dengan pengembangan ekonomi masjid, selain dapat memakmurkan masjid, juga akan mampu menciptakan lapangan kerja, menumbuhkan wirausahawan-wirausahawan mandiri, dan meningkatkan pendapatan umat, yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Jadi, mari kita memulai peningkatan kesejahteaan masyarakat melalui pendekatan ekonomi masjid. Mulailah dari apa yang bisa dilakukan dulu. Ini adalah solusi bagi permasalahan bangsa kita.
(Mustafa Edwin Nasution, Ph.D, sumber: monde)
Pencanangan budidaya komersial gaharu di Depok
Menteri Kehutanan, MS Kaban mencanangkan gerakan nasional budidaya kayu gaharu di lingkungan masjid dan lahan masyarakat (Masjid gaharu). Pencanagan dengan penanaman perdana bibit pohon gaharu varitas unggul di masjid Al-Fauzien Perumahan Gema Pesona, Kota Depok, pada tanggal 16 September 2008.
Penanaman pohon gaharu di lingkungan masjid, menurut dia, untuk pertama kalinya dan sebagai upaya melestarikan pohon yang mulai langka ini.
"Pohon ini (gaharu) memiliki nilai ekonomi tinggi. Alangkah baiknya jika diikuti oleh masjid yang lain," ujar Kaban, yang mengaku di Dephut ada enam juta pohon siap disalurkan secara gratis.
Pengembangan budidaya kayu gaharu di masjid tersebut diinisiasi oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Depok dan Pusat Penelitian geografi Terapan (PPGT-FMIPA) Universitas Indonesia (UI).
Budidaya dimulai dari wilayah Depok akan dikembangkan diberbagai wilayah lainnya di Indonesia melalui koperasi Pemberdayaan Ekonomi Masjid Indonesia.
Budidaya kayu gaharu untuk mengantisipasi kepunahan kayu jenis ini di Indonesia. Kepunahan gaharu disebabkan dua hal. Pertama teknik penebangan kayu gaharu dan tidak ada kepastian ada atau tidaknya resin gaharu dalam kayu tersebut. Kedua, karena permintaan kayu gaharu selalu tinggi mengakibatkan menurunnya suplay alami. Gaharu umumnya terdapat di hutan-hutan wilayah Papua, Kalimantan, Halmahera, NTB, NTT serta Sumatra.
Kayu gaharu terbukti memili ekonomi tinggi, setidaknya terdapat enam klasifikasi harga kayu gaharu - terhgantung kualitas dan usia resin yang dihasilkan gaharu- dari harga termurah Rp100 ribu per kg hingga Rp30 juta per kilogram.
Permintaan risen gaharu selalu meningkat setiap tahun. Negara-negara yang mengimport banyak gaharu adalah India, Cina, Jepang, Arab, Saudi dan Amerika Serikat. Turut dalam menanam pohon bersama menteri diantaranya Wakil Walikota Depok Yuyun Wirasaputra, Ketua DPRD Naming D Bothin serta sejumlah tokoh masyarakat lain.(sumber: ganif aswoko)
Penanaman pohon gaharu di lingkungan masjid, menurut dia, untuk pertama kalinya dan sebagai upaya melestarikan pohon yang mulai langka ini.
"Pohon ini (gaharu) memiliki nilai ekonomi tinggi. Alangkah baiknya jika diikuti oleh masjid yang lain," ujar Kaban, yang mengaku di Dephut ada enam juta pohon siap disalurkan secara gratis.
Pengembangan budidaya kayu gaharu di masjid tersebut diinisiasi oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Depok dan Pusat Penelitian geografi Terapan (PPGT-FMIPA) Universitas Indonesia (UI).
Budidaya dimulai dari wilayah Depok akan dikembangkan diberbagai wilayah lainnya di Indonesia melalui koperasi Pemberdayaan Ekonomi Masjid Indonesia.
Budidaya kayu gaharu untuk mengantisipasi kepunahan kayu jenis ini di Indonesia. Kepunahan gaharu disebabkan dua hal. Pertama teknik penebangan kayu gaharu dan tidak ada kepastian ada atau tidaknya resin gaharu dalam kayu tersebut. Kedua, karena permintaan kayu gaharu selalu tinggi mengakibatkan menurunnya suplay alami. Gaharu umumnya terdapat di hutan-hutan wilayah Papua, Kalimantan, Halmahera, NTB, NTT serta Sumatra.
Kayu gaharu terbukti memili ekonomi tinggi, setidaknya terdapat enam klasifikasi harga kayu gaharu - terhgantung kualitas dan usia resin yang dihasilkan gaharu- dari harga termurah Rp100 ribu per kg hingga Rp30 juta per kilogram.
Permintaan risen gaharu selalu meningkat setiap tahun. Negara-negara yang mengimport banyak gaharu adalah India, Cina, Jepang, Arab, Saudi dan Amerika Serikat. Turut dalam menanam pohon bersama menteri diantaranya Wakil Walikota Depok Yuyun Wirasaputra, Ketua DPRD Naming D Bothin serta sejumlah tokoh masyarakat lain.(sumber: ganif aswoko)
Kamis, Januari 29, 2009
Tahun Gaharu Indonesia, 2009
Gaharu, jenis tanaman ini sangat akrab di wilayah tropis seperti Indonesia ini. Siapa yang tidak kenal gaharu. Masyarakat Indonesia yang tumbuh dengan pengaruh asia terutama India, China dan Melayu sangat akrab dengan gaharu mulai awal era klasik Nusantara. Kebudayaan Hindu, Bhuda, Konghucu memanfaatkan kayu gaharu untuk: Keperluan ritual keagamaan (dupa, hiyo; Hindu Budha, Konghucu), Pengharum badan , Pengharum ruangan, Bahan kosmetik, Obat-obatan sederhana.
Kayu gaharu dulu didapatkan di hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis Nusantara memberikan secara alamiah proses terbentuknya kayu gaharu di wilayah sesuai dengan syarat tumbuhnya: Sesuai dengan kondisi habitat alami; Dataran rendah, Berbukit (< 750 mdpl).
Jenis Aquilaria tumbuh baik di jenis tanah Podsolik merah kuning, tanah lempung berpasir, dengan drainage sedang sampai baik, iklim A-B, kelembaban 80%, suhu 22-28 derajat Celsius, Curah hujan 2000-4000 mm/th. Tidak baik tumbuh di tanah tergenang, rawa, ketebalan solum tanah kurang 50 cm, pasir kwarsa, tanah dengan pH < 4.
Jaman dulu gaharu diperoleh dari alam langsung untuk kepentingan sendiri. Tetapi dalam perkembangannya kayu gaharu menjadi komoditas yang langka karena diexploitasi besar-besaran dan mulai diperdagangkan ke berbagai penjuru dunia (China, Arab, India dan Eropa dll). Saat ini menjadi suatu kesulitan untuk mendapatkan kayu gaharu dalam jumlah besar, karena hutan-hutan sudah dilindungi dan dikonservasi. Meskipun demikian di pasar selalu beredar komoditas tersebut yang diambil dari hutan-hutan. Kecuali daerah-daerah yang memenag sudah melakukan pembudidayaan gaharu.
Saat ini Pusat Penelitian geografi Terapan (PPGT-FMIPA) Universitas Indonesia (UI) sudah meluncurkan hasil penelitiannya terkait dengan rekayasa produksi kayu gaharu. Kayu gaharu yang tadinya hanya didapatkan dari alam langsung sekarang sudah dapat dbudidayakan dengan lebih seksama seperti tanaman perkebunan lain (teh, kopi, coklat, karet dll).
Gaharu rekayasa memberikan peluang perencanaan budidaya yang lebih akuntable, dari mulai penyemaian, pembibitan, penanaman, penyiapan lahan, pemupukan, perawatan, pengobatan, rekayasa in-okulasi (pemasukan enzim pembentuk jamur gaharu yang harum dan khas wangi baunya. Dari mulai penanaman hingga dapat dilakukan inokulasi ketika pohon gaharu berumur 4-5 tahun. Dan setelah 1-2 tahun kemudian dapat di panen.
Kebutuhan gaharu dunia sangat besar quota Indonesia 300 ton/tahun baru dapat dipenuhi 10 % inipun berasal dari gaharu alam. Temuan rekayasa produksi kayu gaharu memberi peluang yang sangat besar bagi perkebunan di Indonesia. Dan keuntungan lainnya gaharu dapat disisipkan di sela-sela perkebunan karet, ataupun dapat juga perkebunan gaharu dengan sistem tumpang sari yang mana pohon gaharu sebagai tanaman induk (tanaman keras tahunan) dan pada lahan yang sama di tanam tanaman musiman yang disarankan jenis tanaman dengan buah di atas (bukan umbi-umbian).
Jika pada tahun 2009 pemerintah bersama masyarakat perkebunan dan pertanian secara serentak melakukan penanaman dan tahun 2014 dilakukan penyuntikan (inokulasi) maka 2015/16 Indonesia menjadi produsen kayu gaharu terbesar di dunia.
Mari bersama sama mensukseskan 2009 sebagai tahun Gaharu Indonesia. Dan saat ini pihak UI sudah mempersiapkan bibit gaharu sebanyak-banyaknya. Kami bekerjasama dengan UI sudah memulai penanaman bibit gaharu, baik di Jawa Barat(sawangan Depok), Yogyakarta (kulon Progo), maupun Jawa Timur (Malang).
(ganif).
Kayu gaharu dulu didapatkan di hutan hujan tropis. Hutan hujan tropis Nusantara memberikan secara alamiah proses terbentuknya kayu gaharu di wilayah sesuai dengan syarat tumbuhnya: Sesuai dengan kondisi habitat alami; Dataran rendah, Berbukit (< 750 mdpl).
Jenis Aquilaria tumbuh baik di jenis tanah Podsolik merah kuning, tanah lempung berpasir, dengan drainage sedang sampai baik, iklim A-B, kelembaban 80%, suhu 22-28 derajat Celsius, Curah hujan 2000-4000 mm/th. Tidak baik tumbuh di tanah tergenang, rawa, ketebalan solum tanah kurang 50 cm, pasir kwarsa, tanah dengan pH < 4.
Jaman dulu gaharu diperoleh dari alam langsung untuk kepentingan sendiri. Tetapi dalam perkembangannya kayu gaharu menjadi komoditas yang langka karena diexploitasi besar-besaran dan mulai diperdagangkan ke berbagai penjuru dunia (China, Arab, India dan Eropa dll). Saat ini menjadi suatu kesulitan untuk mendapatkan kayu gaharu dalam jumlah besar, karena hutan-hutan sudah dilindungi dan dikonservasi. Meskipun demikian di pasar selalu beredar komoditas tersebut yang diambil dari hutan-hutan. Kecuali daerah-daerah yang memenag sudah melakukan pembudidayaan gaharu.
Saat ini Pusat Penelitian geografi Terapan (PPGT-FMIPA) Universitas Indonesia (UI) sudah meluncurkan hasil penelitiannya terkait dengan rekayasa produksi kayu gaharu. Kayu gaharu yang tadinya hanya didapatkan dari alam langsung sekarang sudah dapat dbudidayakan dengan lebih seksama seperti tanaman perkebunan lain (teh, kopi, coklat, karet dll).
Gaharu rekayasa memberikan peluang perencanaan budidaya yang lebih akuntable, dari mulai penyemaian, pembibitan, penanaman, penyiapan lahan, pemupukan, perawatan, pengobatan, rekayasa in-okulasi (pemasukan enzim pembentuk jamur gaharu yang harum dan khas wangi baunya. Dari mulai penanaman hingga dapat dilakukan inokulasi ketika pohon gaharu berumur 4-5 tahun. Dan setelah 1-2 tahun kemudian dapat di panen.
Kebutuhan gaharu dunia sangat besar quota Indonesia 300 ton/tahun baru dapat dipenuhi 10 % inipun berasal dari gaharu alam. Temuan rekayasa produksi kayu gaharu memberi peluang yang sangat besar bagi perkebunan di Indonesia. Dan keuntungan lainnya gaharu dapat disisipkan di sela-sela perkebunan karet, ataupun dapat juga perkebunan gaharu dengan sistem tumpang sari yang mana pohon gaharu sebagai tanaman induk (tanaman keras tahunan) dan pada lahan yang sama di tanam tanaman musiman yang disarankan jenis tanaman dengan buah di atas (bukan umbi-umbian).
Jika pada tahun 2009 pemerintah bersama masyarakat perkebunan dan pertanian secara serentak melakukan penanaman dan tahun 2014 dilakukan penyuntikan (inokulasi) maka 2015/16 Indonesia menjadi produsen kayu gaharu terbesar di dunia.
Mari bersama sama mensukseskan 2009 sebagai tahun Gaharu Indonesia. Dan saat ini pihak UI sudah mempersiapkan bibit gaharu sebanyak-banyaknya. Kami bekerjasama dengan UI sudah memulai penanaman bibit gaharu, baik di Jawa Barat(sawangan Depok), Yogyakarta (kulon Progo), maupun Jawa Timur (Malang).
(ganif).
PELUANG BISNIS GAHARU
GAHARU merupakan Komoditi Elit, Langka & Bernilai Ekonomi Tinggi
Gaharu merupakan produk ekspor. Tujuan ekspor adalah negara-negara di Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Singapore, Taiwan, Jepang, Malaysia.
Pohon Gaharu (Aquilaria spp.) adalah species asli Indonesia. Beberapa species gaharu komersial yang sudah mulai dibudidayakan adalah: Aquilaria. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta, A. filaria, dan Gyrinops verstegii. serta A. crassna asal Camboja.
Gaharu merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat di negara-negara Timur Tengah yang digunakan sebagai dupa untuk ritual keagamaan. Masyarakat di Asia Timur juga menggunakannya sebagai hio. Minyak gaharu merupakan bahan baku yang sangat mahal dan terkenal untuk industri kosmetika seperti parfum, sabun, lotions, pembersih muka serta obat-obatan seperti obat hepatitis, liver, antialergi, obat batuk, penenang sakit perut, rhematik, malaria, asma, TBC, kanker, tonikum, dan aroma terapi.
Pengelompokan gaharu:
1) Abu gaharu: Super, kemedangan A, Kacang, kemedangan TGC;
2) Kemedangan A, B, C, TGC , (BC), Kemedangan Putih,Teri Kacang (terapung); dan
3) Gubal gaharu tdr dari: Double Super, Super A, Super B, Kacang, Teri A, Teri B, dan dan Sabah (tenggelam).
Gaharu memiliki nilai harga mulai dari 100.000 – 30 juta/kg tergantung asal species pohon dan kualitas gaharu. Sedangkan minyak gaharu umumnya disuling dari gaharu kelas rendah (kemedangan) memiliki harga mulai dari 50.000-100.000/ml.
Sebanyak 2000 ton/tahun gaharu memenuhi pusat perdagangan gaharu di Singapura. Gaharu tersebut 70% berasal dari Indonesia dan 30% dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hutan alam sudah tidak mampu lagi menyediakan gaharu. Gaharu hasil budidaya merupakan alternatif pilihan untuk mendukung kebutuhan masyarakat dunia secara berkelanjutan.
Jika satu pohon gaharu hasil budidaya menghasilkan 10 kg gaharu (semua kelas), maka diperlukan pemanenan 200.000 pohon setiap tahun.
(dari beberapa sumber)
Gaharu merupakan produk ekspor. Tujuan ekspor adalah negara-negara di Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Singapore, Taiwan, Jepang, Malaysia.
Pohon Gaharu (Aquilaria spp.) adalah species asli Indonesia. Beberapa species gaharu komersial yang sudah mulai dibudidayakan adalah: Aquilaria. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta, A. filaria, dan Gyrinops verstegii. serta A. crassna asal Camboja.
Gaharu merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat di negara-negara Timur Tengah yang digunakan sebagai dupa untuk ritual keagamaan. Masyarakat di Asia Timur juga menggunakannya sebagai hio. Minyak gaharu merupakan bahan baku yang sangat mahal dan terkenal untuk industri kosmetika seperti parfum, sabun, lotions, pembersih muka serta obat-obatan seperti obat hepatitis, liver, antialergi, obat batuk, penenang sakit perut, rhematik, malaria, asma, TBC, kanker, tonikum, dan aroma terapi.
Pengelompokan gaharu:
1) Abu gaharu: Super, kemedangan A, Kacang, kemedangan TGC;
2) Kemedangan A, B, C, TGC , (BC), Kemedangan Putih,Teri Kacang (terapung); dan
3) Gubal gaharu tdr dari: Double Super, Super A, Super B, Kacang, Teri A, Teri B, dan dan Sabah (tenggelam).
Gaharu memiliki nilai harga mulai dari 100.000 – 30 juta/kg tergantung asal species pohon dan kualitas gaharu. Sedangkan minyak gaharu umumnya disuling dari gaharu kelas rendah (kemedangan) memiliki harga mulai dari 50.000-100.000/ml.
Sebanyak 2000 ton/tahun gaharu memenuhi pusat perdagangan gaharu di Singapura. Gaharu tersebut 70% berasal dari Indonesia dan 30% dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hutan alam sudah tidak mampu lagi menyediakan gaharu. Gaharu hasil budidaya merupakan alternatif pilihan untuk mendukung kebutuhan masyarakat dunia secara berkelanjutan.
Jika satu pohon gaharu hasil budidaya menghasilkan 10 kg gaharu (semua kelas), maka diperlukan pemanenan 200.000 pohon setiap tahun.
(dari beberapa sumber)
Teknologi Baru Tingkatkan Produksi Gaharu
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan telah menghasilkan 23 jenis isolat-isolat pembentuk gaharu hasil eksplorasi dari 17 propinsi yang siap untuk dikembangkan. Mikroba pembentuk gaharu yang diberi nama JERMIA 1 hingga JERMIA 4 ini telah teruji dan mampu menginduksi gaharu dalam waktu relatif singkat. Mikroba ini dapat diproduksi secara massal dan dapat diaplikasikan dengan mudah kepada masyarakat produsen gaharu.
Aplikasi teknologi ini akan mampu mempercepat pembentukan gaharu sehingga dapat meningkatkan produksi nasional gaharu. Beberapa percobaan yang telah dilakukan telah menghasilkan gaharu kamandangan lebih kurang 20 kg/pohon dengan nilai Rp.1.000.000,-/kg, sehingga apabila diinokulasi sebanyak 2.000 pohon tiap tahun akan dihasilkan 40 ton gaharu dengan nilai Rp. 40.000.000.000,- per tahun. Potensi penerimaan pemerintah dari PSDH sebesar Rp. 2.400.000.000,- dan merupakan potensi penerimaan pajak lainnya.
Mengingat inokulasi adalah proses awal produksi, dan spesies penghasil gaharu (Aquilaria sp. dan Gyrinops sp.) termasuk dalam appendix CITES, maka kegiatan inokulasi perlu dikendalikan oleh pemerintah. Untuk mempertahankan kelestarian pohon penghasil gaharu, dapat diberlakukan aturan antara lain setiap satu pohon yang diinduksi harus disertai dengan penanaman kembali minimal 3 bibit.
Dalam jangka menengah, pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) dapat dipersiapkan sebagai lembaga yang memberikan pelayanan atas hasil-hasil pengembangan teknologi gaharu meliputi inokulum mikroba penginduksi gaharu secara massal, produksi alat induksi gaharu yang praktis untuk penggunaan di lapangan, pelayanan jasa tenaga ahli penginduksi gaharu, dan produksi bibit unggul penghasil gaharu.
(sumber: ANTARA 10 Desember 2007)
Untuk keterangan tambahan, silakan hubungi Achmad Fauzi, Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Telp: (021) 570-5099, Fax: (021) 573-8732
Aplikasi teknologi ini akan mampu mempercepat pembentukan gaharu sehingga dapat meningkatkan produksi nasional gaharu. Beberapa percobaan yang telah dilakukan telah menghasilkan gaharu kamandangan lebih kurang 20 kg/pohon dengan nilai Rp.1.000.000,-/kg, sehingga apabila diinokulasi sebanyak 2.000 pohon tiap tahun akan dihasilkan 40 ton gaharu dengan nilai Rp. 40.000.000.000,- per tahun. Potensi penerimaan pemerintah dari PSDH sebesar Rp. 2.400.000.000,- dan merupakan potensi penerimaan pajak lainnya.
Mengingat inokulasi adalah proses awal produksi, dan spesies penghasil gaharu (Aquilaria sp. dan Gyrinops sp.) termasuk dalam appendix CITES, maka kegiatan inokulasi perlu dikendalikan oleh pemerintah. Untuk mempertahankan kelestarian pohon penghasil gaharu, dapat diberlakukan aturan antara lain setiap satu pohon yang diinduksi harus disertai dengan penanaman kembali minimal 3 bibit.
Dalam jangka menengah, pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) dapat dipersiapkan sebagai lembaga yang memberikan pelayanan atas hasil-hasil pengembangan teknologi gaharu meliputi inokulum mikroba penginduksi gaharu secara massal, produksi alat induksi gaharu yang praktis untuk penggunaan di lapangan, pelayanan jasa tenaga ahli penginduksi gaharu, dan produksi bibit unggul penghasil gaharu.
(sumber: ANTARA 10 Desember 2007)
Untuk keterangan tambahan, silakan hubungi Achmad Fauzi, Kepala Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Telp: (021) 570-5099, Fax: (021) 573-8732
Gaharu Sembuhkan Banyak Penyakit
Gaharu dikenal berasal dari marga tumbuhan bernama Aquilaria. Di Indonesia tumbuh berbagai macam spesiesnya, seperti A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, dan A. Filaria.
Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan barang aneh, bila kemudian tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat. Salah satu manfaatnya merupakan fungsi flora ini sebagai obat.
Meningkatnya penggunaan obat-obatan dari bahan organik seperti tumbuhan (herbal), membuat gaharu semakin diminati sebagai bahan baku obat-obatan untuk berbagai macam penyakit.
Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan kanker.
Kini pengunaan gaharu sebagai obat terus meningkat. Tapi sayangnya hingga kini, Indonesia baru mampu memasok 15 persen total kebutuhan gaharu dunia.
Bahkan kini fungsi gaharu juga merambah untuk bahan berbagai produk kecantikan dan perawatan tubuh. Sebagai kosmetik gaharu bisa dijual seharga Rp 2-5 juta per kilogram, bahkan untuk jenis super dan dobel super harganya mencapai Rp18 juta per kilogram. Di Indonesia tanaman ini dikelompokan sebagai produk komoditi hasil hutan bukan kayu.
Atas dasar itu, pengembangan gaharu sangat mendukung program pelestarian hutan yang digalakkan pemerintah. Investasi dibidang gaharu sendiri sebenarnya sangat menguntungkan. Gaharu bisa dipanen pada usia 5-7 tahun.
Untuk satu hektare gaharu hingga bisa dipanen, memerlukan biaya sebesar Rp 125 juta namun hasil panen yang didapat mencapai puluhan kali lipat. Budi daya gaharu sangat cocok dikembangkan dalam meningkatkan hasil hutan non kayu, sementara pasarnya sangat luas dan tidak terbatas. (ant/slg) (sumber:sinar harapan).
Karena banyaknya jenis tumbuhan ini ada di Indonesia, maka bukan barang aneh, bila kemudian tumbuhan ini juga banyak dimanfaatkan masyarakat. Salah satu manfaatnya merupakan fungsi flora ini sebagai obat.
Meningkatnya penggunaan obat-obatan dari bahan organik seperti tumbuhan (herbal), membuat gaharu semakin diminati sebagai bahan baku obat-obatan untuk berbagai macam penyakit.
Dari hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan kanker.
Kini pengunaan gaharu sebagai obat terus meningkat. Tapi sayangnya hingga kini, Indonesia baru mampu memasok 15 persen total kebutuhan gaharu dunia.
Bahkan kini fungsi gaharu juga merambah untuk bahan berbagai produk kecantikan dan perawatan tubuh. Sebagai kosmetik gaharu bisa dijual seharga Rp 2-5 juta per kilogram, bahkan untuk jenis super dan dobel super harganya mencapai Rp18 juta per kilogram. Di Indonesia tanaman ini dikelompokan sebagai produk komoditi hasil hutan bukan kayu.
Atas dasar itu, pengembangan gaharu sangat mendukung program pelestarian hutan yang digalakkan pemerintah. Investasi dibidang gaharu sendiri sebenarnya sangat menguntungkan. Gaharu bisa dipanen pada usia 5-7 tahun.
Untuk satu hektare gaharu hingga bisa dipanen, memerlukan biaya sebesar Rp 125 juta namun hasil panen yang didapat mencapai puluhan kali lipat. Budi daya gaharu sangat cocok dikembangkan dalam meningkatkan hasil hutan non kayu, sementara pasarnya sangat luas dan tidak terbatas. (ant/slg) (sumber:sinar harapan).
Sabtu, Januari 24, 2009
Memburu Pemburu Gaharu
Keharuman kayu gaharu menggoda para pemburu dari luar daerah. Berbeda dengan warga setempat yang mampu memilah gaharu yang bermutu, pemburu dari seberang cenderung main babat, main embat,main tebang.
JEJAK-jejak itu masih segar: tapak sepatu, ranting-ranting patah dan ceceran daun hijau. Abet Nego, anggota Petugas Konservasi Kampung (Pekoka), menyusuri bekas tapak itu ke tengah hutan. Tak jauh dari sungaikecil, anak Wakil Ketua Adat Lesan Dayak ini menemukan tiga gubuk yang baru ditinggalkan. Asap masih mengepul dari bekas api pendiangan. Sisa makanan yang tercecer juga belum disentuh semut. Merasa yakin para pemilik gubuk belum jauh, Abet berseru, “Oeeeee.”
Benar saja, sebuah jawaban melengking di kejauhan. Tak sampai satu kilometer kemudian, Abet memergoki empat pemuda. Ada yang menggegam arit dan parang. Ada juga yang menenteng kapak. Tapi semuanya membawa kantong yang sama: karung plastik besar yang disampirkan ke punggung. Tak salah lagi, merekalah para “pemburu gaharu”, salah satu penjarah Hutan Lesan yang belakangan ini meresahkan warga.
Hutan Lesan di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau adalah secuil kecil hutan Kalimantan yang masih tersisa. Selain menjadi “gudang” kayu gaharu, kawasan 11.000 ha lebih ini juga dihuni pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) berumur ratusan tahun yang kini amat langka. Hutan bekas areal HPH yang belum sempat dipanen ini penuh dengan pepohonan dari keluarga meranti (Dipterocarpaceae) dengan garis tengah batang semester lebih. Dan di atas semua itu, Hutan Lesan merupakan salah satu habitat terakhir orangutan, mamalia langka kelas dunia, yang di seluruh jagat ini hanya hidup di Kalimantan dan sebagian Sumatera.
Lebih istimewa lagi: Lesan merupakan satu-satunya “rumah” bagi orangutan dari varietas Pongo pygmaeus mario, yang hanya ada di Kalimantan Timur. Selain menjadi surga bagi tanaman dan satwa langka, Hutan Lesan merupakan sumber kehidupan warga desa di sekitar Lesan. Dari kekayaan alam yang begitu melimpah itu, warga desa Muara Lesan, Lesan Dayak, Merapun dan Sidobangun dengan mudah dapat memanen madu, ikan, bahan obat-obatan, dan kadang kala kayu gaharu (Aquilaria spp). Pohon yang dikenal oleh warga sebagai kayu karas, garu, alim, atau kompe ini bukan hanya harum aromanya tapi juga sangat harum harganya.
Sejak bertahun-tahun lampau, kayu gaharu merupakan salah satu bahan industri parfum yang kesohor. Harganya menggiurkan. Satu kilogram bongkahan jantung” gaharu yang hitam mengkilat bisa mencapai Rp 10 juta, bahkan Rp 30 juta. Itu yang kualitas prima. Yang “ecek-ecek” sekalipun, serutan kayu gaharu muda yang baunya Cuma sayup-sayup, masih pula laku. Harganya paling murah Rp 600 ribu satu kilo, siapa tidak ngiler?
Dengan warisan ilmu para leluhur Dayak Punan, warga setempat dapat memilah gaharu yang telah terinfeksi penuh hingga jantung-kayunya menghitam, aromanya semerbak dan harganya mahal. Dengan keahlian itu, mereka hanya menebang pohon gaharu yang siap panen dan membiarkan yang lain, sehingga pelestarian “tambang-wewangian” ini dapat terjaga.
Namun keharuman gaharu bukan hanya menarik minat warga sekitar, tapi juga menggoda para pemburu dari luar daerah. Menurut Niel Makinuddin, Program Manager Kehutanan pada The Nature Concervancy (TNC), lembaga yang bergiat di bidang lingkungan, para pemburu gaharu di Hutan Lesan umumnya datang dari jauh, seperti Banjarmasin atau bahkan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. “Kalaupun ada orang lokal, mereka hanya menemani,” katanya.
Berbeda dengan orang setempat yang mampu membedakan “mana loyang, mana emas”, para pendatang ini umumnya langsung main tebang, main babat, tak peduli apakah isi pohon itu cukup berharga atau tidak. Dengan sikap para pemburu yang main embat ini, kelestarian gaharu mudah sekali terancam.
Selain itu, para pemburu dari “seberang” ini kerap punya sambilan yang membahayakan. Selain menjarah gaharu, mereka rajin menjamah apa pun yang dapat mereka temukan di hutan: satwa liar, anggrek hitam, atau apa saja yang bisa dijual. Belakangan, mereka juga mengincar kayu ulin yang langka dan supermahal itu. Celakanya, ulin merupakan pohon favorit bagi orangutan untuk membuat sarang. Ancaman terhadap ulin merupakan bahaya langsung terhadap kehidupan Pongo Pygmaeus Mario.
Karena datang dari jauh, para pemburu pendatang ini harus menginap berhari-hari di dalam hutan. Ini membuat mereka harus membangun pondok-inap sementara, termasuk memenuhi semua kebutuhan pokok, seperti mandi, mencuci dan memasak. Di musim kemarau, api yang ditinggalkan, seperti api sisa pendiangan yang ditemukan Abet, kerap kali menyulut kebakaran yang lebih besar.
Rombongan yang dipergoki Abet mengaku datang dari Labanan, sebuah desa tak jauh dari Lesan. Itu tak mungkin, piker Abet. Jarak antara Labanan dan Lesan pulang pergi, dapat ditempuh dalam satu hari perjalanan jalan-kaki. Kalau benar dating dari sebelah, mereka pasti tak perlu menginap. Ketika ditegur, para pemburu minta diizinkan sehari lagi berada di hutan. “Mau bagaimana lagi? Saya tak punya SK penjaga hutan. Saya menjaganya karena kesadaran saja,” kata Abet.
Namun beberapa hari kemudian, Abet kembali memergoki mereka. Ternyata mereka bukan berempat, tapi berdelapan. ereka bukan sehari atau dua hari, tapi sudah hampir dua pekan gentayangan di dalam hutan. Menyadari besarnya kerusakan yang mungkin timbul, Abet minta mereka meninggalkn hutan saat itu juga. “Tolong, Pak, ini hutan lindung,” kata kemenakan Ketua Adat Lesan Dayak ini, “Kalau tetap di sini, bapak-bapak bukan hanya berhadapan dengan saya, tapi orang satu kampung.”
Bagi warga Lesan Dayak, hutan bukan hanya tempat hidup ulin atau orangutan. Lebih dari itu, hutan merupakan nyawa kehidupan mereka. “Kalau hutan tak ada, mau hidup dari mana lagi?” kata Abet.
Tulisan ini pernah dimuat di harian Tribun Kaltim edisi Rabu, 19 November 2008, atas dukungan program fellowship liputan orang utan dan habitatnya. Fellowship ini berkat kerjasama antara Orangutan Conservation Support Program (OCSP), Yayasan Pro Media dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Sumber:mediakonservasi.org
JEJAK-jejak itu masih segar: tapak sepatu, ranting-ranting patah dan ceceran daun hijau. Abet Nego, anggota Petugas Konservasi Kampung (Pekoka), menyusuri bekas tapak itu ke tengah hutan. Tak jauh dari sungaikecil, anak Wakil Ketua Adat Lesan Dayak ini menemukan tiga gubuk yang baru ditinggalkan. Asap masih mengepul dari bekas api pendiangan. Sisa makanan yang tercecer juga belum disentuh semut. Merasa yakin para pemilik gubuk belum jauh, Abet berseru, “Oeeeee.”
Benar saja, sebuah jawaban melengking di kejauhan. Tak sampai satu kilometer kemudian, Abet memergoki empat pemuda. Ada yang menggegam arit dan parang. Ada juga yang menenteng kapak. Tapi semuanya membawa kantong yang sama: karung plastik besar yang disampirkan ke punggung. Tak salah lagi, merekalah para “pemburu gaharu”, salah satu penjarah Hutan Lesan yang belakangan ini meresahkan warga.
Hutan Lesan di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau adalah secuil kecil hutan Kalimantan yang masih tersisa. Selain menjadi “gudang” kayu gaharu, kawasan 11.000 ha lebih ini juga dihuni pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) berumur ratusan tahun yang kini amat langka. Hutan bekas areal HPH yang belum sempat dipanen ini penuh dengan pepohonan dari keluarga meranti (Dipterocarpaceae) dengan garis tengah batang semester lebih. Dan di atas semua itu, Hutan Lesan merupakan salah satu habitat terakhir orangutan, mamalia langka kelas dunia, yang di seluruh jagat ini hanya hidup di Kalimantan dan sebagian Sumatera.
Lebih istimewa lagi: Lesan merupakan satu-satunya “rumah” bagi orangutan dari varietas Pongo pygmaeus mario, yang hanya ada di Kalimantan Timur. Selain menjadi surga bagi tanaman dan satwa langka, Hutan Lesan merupakan sumber kehidupan warga desa di sekitar Lesan. Dari kekayaan alam yang begitu melimpah itu, warga desa Muara Lesan, Lesan Dayak, Merapun dan Sidobangun dengan mudah dapat memanen madu, ikan, bahan obat-obatan, dan kadang kala kayu gaharu (Aquilaria spp). Pohon yang dikenal oleh warga sebagai kayu karas, garu, alim, atau kompe ini bukan hanya harum aromanya tapi juga sangat harum harganya.
Sejak bertahun-tahun lampau, kayu gaharu merupakan salah satu bahan industri parfum yang kesohor. Harganya menggiurkan. Satu kilogram bongkahan jantung” gaharu yang hitam mengkilat bisa mencapai Rp 10 juta, bahkan Rp 30 juta. Itu yang kualitas prima. Yang “ecek-ecek” sekalipun, serutan kayu gaharu muda yang baunya Cuma sayup-sayup, masih pula laku. Harganya paling murah Rp 600 ribu satu kilo, siapa tidak ngiler?
Dengan warisan ilmu para leluhur Dayak Punan, warga setempat dapat memilah gaharu yang telah terinfeksi penuh hingga jantung-kayunya menghitam, aromanya semerbak dan harganya mahal. Dengan keahlian itu, mereka hanya menebang pohon gaharu yang siap panen dan membiarkan yang lain, sehingga pelestarian “tambang-wewangian” ini dapat terjaga.
Namun keharuman gaharu bukan hanya menarik minat warga sekitar, tapi juga menggoda para pemburu dari luar daerah. Menurut Niel Makinuddin, Program Manager Kehutanan pada The Nature Concervancy (TNC), lembaga yang bergiat di bidang lingkungan, para pemburu gaharu di Hutan Lesan umumnya datang dari jauh, seperti Banjarmasin atau bahkan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. “Kalaupun ada orang lokal, mereka hanya menemani,” katanya.
Berbeda dengan orang setempat yang mampu membedakan “mana loyang, mana emas”, para pendatang ini umumnya langsung main tebang, main babat, tak peduli apakah isi pohon itu cukup berharga atau tidak. Dengan sikap para pemburu yang main embat ini, kelestarian gaharu mudah sekali terancam.
Selain itu, para pemburu dari “seberang” ini kerap punya sambilan yang membahayakan. Selain menjarah gaharu, mereka rajin menjamah apa pun yang dapat mereka temukan di hutan: satwa liar, anggrek hitam, atau apa saja yang bisa dijual. Belakangan, mereka juga mengincar kayu ulin yang langka dan supermahal itu. Celakanya, ulin merupakan pohon favorit bagi orangutan untuk membuat sarang. Ancaman terhadap ulin merupakan bahaya langsung terhadap kehidupan Pongo Pygmaeus Mario.
Karena datang dari jauh, para pemburu pendatang ini harus menginap berhari-hari di dalam hutan. Ini membuat mereka harus membangun pondok-inap sementara, termasuk memenuhi semua kebutuhan pokok, seperti mandi, mencuci dan memasak. Di musim kemarau, api yang ditinggalkan, seperti api sisa pendiangan yang ditemukan Abet, kerap kali menyulut kebakaran yang lebih besar.
Rombongan yang dipergoki Abet mengaku datang dari Labanan, sebuah desa tak jauh dari Lesan. Itu tak mungkin, piker Abet. Jarak antara Labanan dan Lesan pulang pergi, dapat ditempuh dalam satu hari perjalanan jalan-kaki. Kalau benar dating dari sebelah, mereka pasti tak perlu menginap. Ketika ditegur, para pemburu minta diizinkan sehari lagi berada di hutan. “Mau bagaimana lagi? Saya tak punya SK penjaga hutan. Saya menjaganya karena kesadaran saja,” kata Abet.
Namun beberapa hari kemudian, Abet kembali memergoki mereka. Ternyata mereka bukan berempat, tapi berdelapan. ereka bukan sehari atau dua hari, tapi sudah hampir dua pekan gentayangan di dalam hutan. Menyadari besarnya kerusakan yang mungkin timbul, Abet minta mereka meninggalkn hutan saat itu juga. “Tolong, Pak, ini hutan lindung,” kata kemenakan Ketua Adat Lesan Dayak ini, “Kalau tetap di sini, bapak-bapak bukan hanya berhadapan dengan saya, tapi orang satu kampung.”
Bagi warga Lesan Dayak, hutan bukan hanya tempat hidup ulin atau orangutan. Lebih dari itu, hutan merupakan nyawa kehidupan mereka. “Kalau hutan tak ada, mau hidup dari mana lagi?” kata Abet.
Tulisan ini pernah dimuat di harian Tribun Kaltim edisi Rabu, 19 November 2008, atas dukungan program fellowship liputan orang utan dan habitatnya. Fellowship ini berkat kerjasama antara Orangutan Conservation Support Program (OCSP), Yayasan Pro Media dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Sumber:mediakonservasi.org
Gaharu: Harta di Kebun
Niat Abdulqodir Hadi Mustofa menanam 39 bibit gaharu di sela-sela pohon karet amat sederhana: cuma ingin mengambil kulit batang yang kuat. Ia ingin memanfaatkannya sebagai tali tas pengangkut getah karet. Namun atas saran kerabat ia memasukkan cairan cendawan Fusarium sp di 3 lubang. Dua tahun kemudian pada Oktober 2008, Abdulqodir menebang sebatang pohon itu dan memperoleh 300 kg kemedangan yang harganya Rp300.000 per kg. Dari 100 kg kemedangan yang terjual, omzet pria 50 tahun itu Rp30-juta.
Fusarium yang diinokulasi ke jaringan pohon itu sebetulnya kuman penyebab penyakit. Oleh karena itu pohon gaharu melawan dengan memproduksi resin bernama fitoaleksin supaya kuman tak menyebar ke jaringan pohon lain. Seiring waktu, resin itu mengeras di sudut-sudut pembuluh xylem dan floem-organ pohon yang mendistribusikan makanan-berwarna kecokelatan, serta harum bila dibakar. Itulah kemedangan yang dipanen oleh Abdulqodir, pekebun di Simpangtiga, Kecamatan Kotabaru, Provinsi Jambi.
Andai waktu inokulasi lebih lama, 2-4 tahun, kemedangan yang semula kecokelatan itu berubah warna menjadi kehitaman dan lebih harum lantaran kadar resin lebih tinggi. Itulah gubal gaharu yang sekarang berharga Rp5-juta-Rp15-juta per kg. Oleh karena itu Abdulqodir membiarkan 38 pohon gaharu lain setelah inokulasi. Ia menyimpan harta karun di pohon-pohon itu. Bayangkan, sebuah pohon berumur 15 tahun seperti milik Abdulqodir bakal menghasilkan rata-rata 1 kg gubal. Dengan kualitas terendah dan harga termurah per kg Rp5-juta, omzetnya Rp190-juta.
Nun di Kalimantan Barat, H. Raden Syamhuddin Has memanen 3 pohon karas. Pria 54 tahun itu tidak ingat jumlah produksi dan kualitas gaharu dari pohon-pohon yang 10 tahun lalu ia lukai dengan cara membacok, memantek bilah kayu ulin, sampai mengucuri larutan gula merah agar muncul gubal. Yang Syamhuddin ingat, dari panen 3 pohon pada April 2007, ia memperoleh Rp11-juta.
Peraih penghargaan kepala desa terbaik se-Kalimantan Barat di bidang konservasi alam itu masih memiliki 397 pohon gaharu di kebun karet seluas 12 hektar. Umurnya rata-rata 15 tahun dengan tinggi menjulang 8-10 m, berdiameter 25-30 cm. Enampuluh pohon di antaranya sudah diinokulasi cendawan Fusarium sp pada Agustus 2006. Itu atas saran kerabat Syamhuddin yang bergaul dengan peneliti kehutanan dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat. November 2008, seorang penampung menyodorkan harga Rp2-juta per pohon. Ia menolak dan memilih untuk memperpanjang masa inokulasi sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Populasi menyusut
Gaharu yang memberi pendapatan tidak kecil pada Abdulqodir dan Syamhuddin, bukan nama pohon, tetapi resin yang dihasilkan dari pohon genus tertentu. Periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Yana Sumarna MS menjelaskan, paling sedikit ada 27 spesies pohon yang dapat membentuk gaharu. Spesies-spesies itu tumbuh di hutan hujan tropis Nusantara seperti genus Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia, Excoccaria, Dalbergia, Gonystylus, Gyrinops, dan Wikstroemia. Genus Aquilaria dan Gyrinops paling banyak jenisnya, masing-masing ada 9 spesies. Abdulqodir dan Syamhuddin termasuk yang membudidayakan Aquilaria malaccensis.
Dua tahun terakhir banyak pekebun yang memanen gaharu hasil budidaya. Pemicunya gaharu alam yang terus menyusut. Pada 2000 Asgarin (Asosiasi Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia) mensurvei populasi gaharu alam di berbagai hutan. Hasilnya di Sumatera tersisa 26%, Kalimantan (27%), Nusa Tenggara (5%), Sulawesi (4%), Maluku (6%), Papua (37%).
Menyusutnya populasi di alam karena sebagian besar pemburu tak mampu mengidentifikasi pohon gaharu yang sudah terinfeksi cendawan. Untuk memperoleh sebuah pohon yang mengandung gubal, mereka menebang hingga puluhan pohon. Pohon yang belum bergubal dan telanjur ditebang, dibiarkan begitu saja. Ini hampir terjadi di semua hutan alam.
Kadir Ade, pemburu gaharu di Desa Serawai, Nangapinoh, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menebang di atas 10 pohon untuk memetik 20-30 kg teras super (gubal dalam bahasa Dayak, red). Itu dilakukan Kadir di hutan-hutan di hulu Sungai Kapuas dan hulu Sungai Melawi. Ia tergiur harga jual teras yang tinggi, Rp350.000 per kg. Dari 10 pohon yang dibabat hanya 2 pohon yang setelah dibelah berisi teras.
Fenomena itu tercium oleh dunia luar. Pada Konvensi ke-9 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) di Florida, Amerika Serikat pada November 1994, diputuskan pohon gaharu spesies malaccensis masuk appendix II. Artinya anggota famili Thymelaeaceae itu dibatasi perdagangannya. Tiga belas tahun kemudian diputuskan, kuota ekspor spesies itu yang boleh diambil dari alam hanya 30 ton, dari sebelumnya 50 ton. Total kuota ekspor gaharu Indonesia dari tahun ke tahun terus turun. Data PHKA dan CITES menyebutkan kuota ekspor pada 2000, sejumlah 225 ton; 2001 (200 ton); 2002 (180 ton); dan 2003-2005 (175 ton).
Pascakonvensi ke-13 CITES di Bangkok, Thailand pada 2004, pembatasan perdagangan juga berlaku untuk semua spesies gaharu alam. Seluruh produk dan hasil gaharu masuk CITES appendix II. Keputusan itu dilandasi sulitnya pasar dunia membedakan produk asal spesies malaccensis atau bukan. 'Konsekuensinya penjualan ekspor dan impor produk gaharu ditentukan kuota dan harus ada izin dari CITES,' ungkap Dr Tonny Soehartono, direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. Penerapan kuota bertujuan untuk memastikan sebaran spesies pohon gaharu di alam mampu berkembang biak dengan baik.
Menurut koordinator otoritas ilmiah CITES, Dr Gono Semiadi APU, kuota itu tidak membedakan gaharu alam atau budidaya. 'Sebaiknya pekebun budidaya melapor pada BKSDA setempat untuk mendapat surat rekomendasi. Itu untuk mempermudah ketika menjual hasil panen di masa depan,' katanya. Proses pelaporan hingga pembuatan berita acara pemeriksaan dari kegiatan penanaman itu gratis.
Marak budidaya
Dengan rambu-rambu itu makanya mengebunkan gaharu menjadi pilihan. Apalagi gaharu dapat dibudidayakan di ketinggian 0-1.500 m dpl, kelembapan 80%, curah hujan 1.200-1.600 mm per tahun, dan adaptif di berbagai tipe tanah. Itu sebabnya kebun-kebun gaharu kini banyak bermunculan di Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat), Kelurahan Bentiring dan Kecamatan Argamakmur (Bengkulu), Pangkalpinang (Bangka Belitung), Bogor dan Sukabumi (Jawa Barat), serta Kecamatan Kotabaru (Jambi). Tak kurang dari Malem Sambat Kaban, Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu mendorong penanaman gaharu.
Adi Saptono, pekebun di Pangkalbalam, Pangkalpinang, Bangka Belitung, menanam 300 spesies malaccensis, microcarpa, dan beccariana pada 2004. Ia menanam gaharu secara monokultur itu dengan jarak tanam 2 m x 2 m. Pohon yang dipelihara di kebun belakang rumah itu kini tingginya 3,5 m berdiameter 10 cm. Setahun lalu pohon-pohon itu diinokulasi menggunakan ramuan 'rahasia'. Isi ramuan bermacam-macam cendawan: fusarium, acremonium, dan aspergillus. Seliter cendawan ini dipakai untuk menyuntik 2.000 lubang per pohon. Sejauh ini Adi belum dapat menebak hasilnya. Namun, di luar itu Adi sudah mencicipi pendapatan dari ramuan 'rahasia' itu.
Bermitra dengan pekebun karet yang di kebunnya 'tumbuh liar' 1-2 pohon gaharu, pada November 2008 ia memanen 5 pohon setinggi 8 m berdiameter 25 cm. Pohon itu telah diinokulasi seliter cendawan pada pertengahan 2005. Adi memperoleh 22,5 kg gaharu terdiri atas 2,5 kg gubal mutu B dan 20 kg kemedangan. Temannya membeli gubal itu seharga Rp2-juta/kg dan kemedangan per kg Rp500.000-Rp1-juta. Minimal pendapatan Rp15-juta ditangguk. Pendapatan itu dibagi dua dengan pemilik kebun; Adi mengantongi Rp7,5-juta. Masih ada 70 pohon gaharu lagi yang tengah menanti saat dipanen.
Di Desa Gunungselan, Kecamatan Argamakmur, Bengkulu Utara, Rita Rosita menanam 1.700 pohon gaharu spesies malaccensis di lahan 7.000 m2. Ia menumpangsarikan malaccensis berumur 1,5 tahun itu (jarak tanam 2,5 m x 2,5 m) dengan tanaman jati Tectona grandis berumur 4 tahun dan kakao Theobroma cacao berumur 3 tahun. Di pinggir-pinggir kebun itu berderet pohon pinang Areca cathecu yang tengah berbuah lebat.
Tumpangsari ini bukan tanpa sebab. Pendapatan lain bisa diraih Rita sambil menunggu pohon-pohon gaharu itu siap diinokulasi cendawan. Tanaman kakao sudah berproduksi 2 kg/pohon. Panen dilakukan 2 minggu sekali sebanyak 7 kg kering dengan harga Rp12.000 per kg. Pinang sesekali dipanen dan dijual dengan harga Rp3.500 per kg. Sekali menjual sebanyak 30 kg.
Beragam kendala
Beragam rintangan siap menghadang pekebun gaharu buat meraih untung. Peluang memetik laba besar bakal gagal total jika pekebun gagal menginokulasi seperti dialami H. Mahmuddin Sany. Pekebun di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, itu menginokulasi sebuah pohon gaharu dari 20 pohon yang ditanam pada 2000. Alih-alih mendapat gubal, pohon berdiameter 18-20 cm itu batangnya membusuk. Menurut Sany kegagalan itu antara lain karena ia tidak paham masa aktif inokulan. Saat 2 mL larutan cendawan fusarium itu diinokulasi pada 30 lubang, umur si mikroba sudah kedaluwarsa sejak 3 bulan sebelumnya. Hasilnya? Pohon itu mati.
Urusan cendawan ini memang agak pelik bagi pekebun. Bukannya mereka tidak tahu teknologi cendawan, 'Saya pernah mencoba menyuntik pada sebuah pohon, tapi tak lama mati,' kata M Amin, pekebun di Dusun Orong Selatan, Desa Gegerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Kapok dengan kejadian itu ia kembali memakai cara tradisional: dipaku. Dari pengalaman Amin pohon bergaris tengah 10 cm setinggi 3-4 m yang 'diinokulasi' 3 kg paku selama 2 tahun dapat menghasilkan 1 kg kemedangan. Selain dipaku masih ada cara tradisional lain: menancap bilah bambu, kayu ulin, dan seng. Yang lain membubuhi garam sampai mengoleskan oli. Intinya membuat pohon 'merana' sehingga mau mengeluarkan gaharu.
Menurut Dr Ir Mucharromah MSc, peneliti gaharu dari Jurusan Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, gagalnya cendawan bereaksi karena tanaman memberikan respon berbeda-beda. Sebab itu mutlak ada 'kecocokan' antara mikroba yang diinokulasi dengan si tanaman. Makanya sulit menentukan mikroba yang paling pas. 'Yang namanya mikroba pembentuk gubal itu ada sekitar 50 spesies,' katanya. Fusarium yang efektif di Bogor berbeda misalnya dengan di Bengkulu dan Nusa Tenggara Barat. Sebab itu pula pekebun seperti di Bengkulu, Kalimantan Selatan, dan Pangkalpinang meracik sendiri ramuan mikroba atas dasar pengamatan di lapangan.
Muhaimin, pekebun di Desa Batumandi, Kecamatan Batumandi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, bisa menjadi contoh. Pada 2006 ia menginokulasi 30 pohon gaharu spesies microcarpa berumur 30 tahun setinggi 25 m berdiameter 40 cm memakai cendawan 'ajaibnya'. Hasilnya dari 2 pohon yang dipanen pada pertengahan 2008 Muhaimin mendapat masing-masing 4 kg kemedangan yang laku dijual Rp1-juta per kg. Bahan cendawan itu berasal dari gubal gaharu hutan setempat yang dikembangbiakkan di laboratorium pertanian.
Pengguna gaharu juga menemukan hambatan berupa sulitnya mendapatkan gubal. Itu dialami CV Agung Perdana, eksportir gaharu di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bertahun-tahun perusahaan yang berdiri pada 1980 itu mengekspor gubal berwarna cokelat kehitaman dalam bentuk chip. Chip adalah gubal berbentuk tak beraturan dengan panjang bervariasi 10-15 cm berdiameter 4-6 cm. Aroma kuat dan tajam menyebabkan chip dipilih sebagai bahan baku pengharum. Ini permintaan pasar Timur Tengah.
Menurut H. Faisal Bagis, pemilik CV Agung Perdana, untuk mendapatkan gubal sekarang sulit. Dulu, pada 1998 CV Agung Perdana mengekspor gaharu dengan komposisi: 80% gubal dan 20% kemedangan. Kondisi itu kini berbalik 180 derajat. Dari kuota ekspor 8 ton per tahun, 80% kemedangan dan 20% gubal. 'Susah kalau terus berharap mendapatkan gubal alam,' ungkap Faisal.
Tinggal antar
Jika pekebun mampu melewati beragam rintangan mengantongi laba besar bukan angan-angan. Banyak eksportir dan penampung gaharu siap menyerap. Taufik Murad, penampung di Lombok, Nusa Tenggara Barat, rutin menjemput gaharu pekebun melalui kaki tangannya yang berjumlah belasan orang.
Pengelola restoran khas makanan Lombok itu tidak mengolah gaharu itu. Ia langsung mengirimkan 50--100 kg per bulan gaharu ke eksportir langganan di Jakarta dan Surabaya. Taufik memang beroperasi di Nusa Tenggara Barat. Pekebun di luar itu tidak perlu cemas. Masih banyak penampung gaharu. Data Asgarin menyebutkan ada 41 penampung berizin resmi. Mereka tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Papua.
Soal harga beli? Menurut Joni Surya meskipun eksportir dan penampung banyak, sebagian besar tidak mau terang-terangan mengekspos harga. Harap mafhum bisnis ini menyangkut nilai uang cukup besar. 'Perdagangan gaharu persis perdagangan sarang walet sebelum tahun 1990-an. Sifatnya tertutup, standar harga kurang jelas karena keragaman kualitas sangat tinggi,' ujar ketua Gaharu 88, pelopor penanaman pohon gaharu di Bengkulu.
Yang seringkali terjadi adalah proses tawar-menawar harga yang alot. 'Gaharu itu dibeli aromanya, jadi tidak bisa tidak perlu dilihat barangnya. Bahkan kalau perlu dites,' ungkap Taufik. Data Asgarin dapat menjadi acuan. Harga mutu gaharu tertinggi, gubal double super atau super A per kg Rp10-juta-Rp15-juta. Berikutnya gubal super tanggung Rp4-juta-Rp5-juta/kg. Yang terendah disebut teri, rata-rata Rp100.000/kg.
Pekebun tak perlu berkecil hati meskipun sejauh ini paling pol hasil gaharu budidaya sebatas kemedangan yang harga jual di tingkat pekebun Rp500.000-Rp1-juta/kg. Dengan mutu serupa, pekebun-pekebun gaharu budidaya di Vietnam terus menggenjot mutu gaharu lewat berbagai teknologi. Ini bisa ditiru pekebun di tanahair karena bukan mustahil suatu saat gubal super yang harganya top diperoleh dari budidaya relatif singkat. 'Ini sedang kami teliti di Vietnam,' kata Prof Robert A Blanchette, periset gaharu dari University of Minnesota Amerika Serikat, melalui surat elektronik.
Pasar terbuka
Menurut ketua Asgarin Dr Faisal Salampessy SH, permintaan terhadap gaharu terus meningkat karena bejibun kegunaannya. 'Setiap agama di dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan. India dan China paling besar menyerap untuk kemenyan,' kata doktor perencana keuangan Universitas New Delhi di India itu.
Selain agama, pola hidup juga berpengaruh. Di Timur Tengah gaharu menjadi kebutuhan pokok. 'Masyarakat Arab menggunakan gaharu untuk siwak atau menggosok gigi agar mulut tidak bau. Kondisi iklim panas dan kegemaran mengkonsumsi daging membuat tubuh mereka bau menyengat sehingga gaharu juga dipakai untuk pengharum,' kata Dr Afdol Tharik Wastono SS MHum, dosen Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Saat ini Indonesia menjadi produsen gaharu terbesar di dunia. Total ekspor gaharu Indonesia ke negara-negara Asia seperti Taiwan mencapai 92.188 kg. Jumlah itu naik dibandingkan 2005 (70.335 kg) dan 2004 (32.365 kg). Mayoritas yang diekspor kemedangan. Untuk pasar Timur Tengah terjadi penurunan ekspor: 2006 (39.400 kg), 2005 (67.245 kg). Musababnya mereka ingin gubal super yang sulit diperoleh.
Sebab itu yang mengeluh kekurangan bahan baku bukan cuma Taufik Murad. CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta juga kekurangan pasokan gaharu. Menurut Faisal Salampessy, direktur, berapa pun produksi akan diserap. Perusahaan yang berdiri pada 2000 itu kini hanya mengekspor 2-3 ton dari semula 5,6 ton per bulan gaharu ke Singapura.
Menurut Joni Surya ke depan gaharu budidaya yang diperjualbelikan. 'Seberapa lama alam bisa menyediakan gaharu?' tanyanya. Apalagi di masa mendatang kebutuhan gaharu sebagai aromaterapi dan obat meningkat. Sebagai obat faedahnya antara lain antiasma, antimikroba, serta hepatitis. Itu karena gaharu mengandung 17 senyawa aktif seperti agarospirol, aquilochin, dan noroksoagarofuran.
Substansi aromatik dalam gubal termasuk golongan sesquiterpena yang hingga kini belum dapat dibuat sintetisnya. Baru-baru ini sebuah perusahaan parfum terbesar di Jerman mengundang para peneliti tanahair melakukan uji DNA untuk mengetahui pencetus aroma gaharu. 'Mereka berkepentingan karena selama ini tidak pernah kebagian bahan baku yang selalu habis terserap pasar Timur Tengah,' ungkap Dr Teuku Tadjuddin, kepala seksi Bioteknologi Puspiptek Serpong di Tangerang.
Pantas jika penanaman gaharu terus meluas. Apalagi harga jual terus melambung. Jika pada 2001 gaharu super per kg Rp4-juta-Rp5-juta, saat ini Rp10-juta-Rp15-juta. Demikian pula harga gubal kelas AB yang cuma Rp2-juta-Rp3-juta, saat ini Rp4-juta-Rp5-juta per kg.
Gaharu 88 di Bengkulu mengkoordinir 42 kelompok tani untuk penanaman gaharu hingga 95.000 pohon. Begitu juga Asgarin yang mewajibkan setiap anggotanya menanam minimal 2 hektar gaharu. H Mahmuddin memilih bermitra dengan para pekebun. Setiap tahun Mahmuddin memperluas lahan penanaman rata-rata 5-10 hektar. Laba besar yang didapat menjadi daya tarik pekebun.
Dengan niat konservarsi Universitas Mataram (Unram) melalui Gaharu Center mengkampanyekan penanaman gaharu. Salah satunya menghijaukan hutan lindung di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Dari lahan seluas 225 hektar, 132 hektar di antaranya sudah ditanami lebih dari 100.000 pohon gaharu. 'Gaharunisasi ini juga dilakukan di kampus,' ujar Dr Sudirman, dekan Fakultas Pertanian Unram. Jika bisnis dan konservasi sudah bisa sejalan seia sekata, apalagi yang harus tunggu? Sebagaimana pepatah, Ah sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula. (Dian Adijaya S/Peliput: Karjono, Faiz Yajri, Tri Susanti, Nesia A, dan Sardi Duryatmo)
(Sumber trubus.Kamis, Januari 01, 2009 00:45:57)
Fusarium yang diinokulasi ke jaringan pohon itu sebetulnya kuman penyebab penyakit. Oleh karena itu pohon gaharu melawan dengan memproduksi resin bernama fitoaleksin supaya kuman tak menyebar ke jaringan pohon lain. Seiring waktu, resin itu mengeras di sudut-sudut pembuluh xylem dan floem-organ pohon yang mendistribusikan makanan-berwarna kecokelatan, serta harum bila dibakar. Itulah kemedangan yang dipanen oleh Abdulqodir, pekebun di Simpangtiga, Kecamatan Kotabaru, Provinsi Jambi.
Andai waktu inokulasi lebih lama, 2-4 tahun, kemedangan yang semula kecokelatan itu berubah warna menjadi kehitaman dan lebih harum lantaran kadar resin lebih tinggi. Itulah gubal gaharu yang sekarang berharga Rp5-juta-Rp15-juta per kg. Oleh karena itu Abdulqodir membiarkan 38 pohon gaharu lain setelah inokulasi. Ia menyimpan harta karun di pohon-pohon itu. Bayangkan, sebuah pohon berumur 15 tahun seperti milik Abdulqodir bakal menghasilkan rata-rata 1 kg gubal. Dengan kualitas terendah dan harga termurah per kg Rp5-juta, omzetnya Rp190-juta.
Nun di Kalimantan Barat, H. Raden Syamhuddin Has memanen 3 pohon karas. Pria 54 tahun itu tidak ingat jumlah produksi dan kualitas gaharu dari pohon-pohon yang 10 tahun lalu ia lukai dengan cara membacok, memantek bilah kayu ulin, sampai mengucuri larutan gula merah agar muncul gubal. Yang Syamhuddin ingat, dari panen 3 pohon pada April 2007, ia memperoleh Rp11-juta.
Peraih penghargaan kepala desa terbaik se-Kalimantan Barat di bidang konservasi alam itu masih memiliki 397 pohon gaharu di kebun karet seluas 12 hektar. Umurnya rata-rata 15 tahun dengan tinggi menjulang 8-10 m, berdiameter 25-30 cm. Enampuluh pohon di antaranya sudah diinokulasi cendawan Fusarium sp pada Agustus 2006. Itu atas saran kerabat Syamhuddin yang bergaul dengan peneliti kehutanan dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat. November 2008, seorang penampung menyodorkan harga Rp2-juta per pohon. Ia menolak dan memilih untuk memperpanjang masa inokulasi sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Populasi menyusut
Gaharu yang memberi pendapatan tidak kecil pada Abdulqodir dan Syamhuddin, bukan nama pohon, tetapi resin yang dihasilkan dari pohon genus tertentu. Periset Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Yana Sumarna MS menjelaskan, paling sedikit ada 27 spesies pohon yang dapat membentuk gaharu. Spesies-spesies itu tumbuh di hutan hujan tropis Nusantara seperti genus Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia, Excoccaria, Dalbergia, Gonystylus, Gyrinops, dan Wikstroemia. Genus Aquilaria dan Gyrinops paling banyak jenisnya, masing-masing ada 9 spesies. Abdulqodir dan Syamhuddin termasuk yang membudidayakan Aquilaria malaccensis.
Dua tahun terakhir banyak pekebun yang memanen gaharu hasil budidaya. Pemicunya gaharu alam yang terus menyusut. Pada 2000 Asgarin (Asosiasi Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia) mensurvei populasi gaharu alam di berbagai hutan. Hasilnya di Sumatera tersisa 26%, Kalimantan (27%), Nusa Tenggara (5%), Sulawesi (4%), Maluku (6%), Papua (37%).
Menyusutnya populasi di alam karena sebagian besar pemburu tak mampu mengidentifikasi pohon gaharu yang sudah terinfeksi cendawan. Untuk memperoleh sebuah pohon yang mengandung gubal, mereka menebang hingga puluhan pohon. Pohon yang belum bergubal dan telanjur ditebang, dibiarkan begitu saja. Ini hampir terjadi di semua hutan alam.
Kadir Ade, pemburu gaharu di Desa Serawai, Nangapinoh, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menebang di atas 10 pohon untuk memetik 20-30 kg teras super (gubal dalam bahasa Dayak, red). Itu dilakukan Kadir di hutan-hutan di hulu Sungai Kapuas dan hulu Sungai Melawi. Ia tergiur harga jual teras yang tinggi, Rp350.000 per kg. Dari 10 pohon yang dibabat hanya 2 pohon yang setelah dibelah berisi teras.
Fenomena itu tercium oleh dunia luar. Pada Konvensi ke-9 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) di Florida, Amerika Serikat pada November 1994, diputuskan pohon gaharu spesies malaccensis masuk appendix II. Artinya anggota famili Thymelaeaceae itu dibatasi perdagangannya. Tiga belas tahun kemudian diputuskan, kuota ekspor spesies itu yang boleh diambil dari alam hanya 30 ton, dari sebelumnya 50 ton. Total kuota ekspor gaharu Indonesia dari tahun ke tahun terus turun. Data PHKA dan CITES menyebutkan kuota ekspor pada 2000, sejumlah 225 ton; 2001 (200 ton); 2002 (180 ton); dan 2003-2005 (175 ton).
Pascakonvensi ke-13 CITES di Bangkok, Thailand pada 2004, pembatasan perdagangan juga berlaku untuk semua spesies gaharu alam. Seluruh produk dan hasil gaharu masuk CITES appendix II. Keputusan itu dilandasi sulitnya pasar dunia membedakan produk asal spesies malaccensis atau bukan. 'Konsekuensinya penjualan ekspor dan impor produk gaharu ditentukan kuota dan harus ada izin dari CITES,' ungkap Dr Tonny Soehartono, direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal PHKA Departemen Kehutanan. Penerapan kuota bertujuan untuk memastikan sebaran spesies pohon gaharu di alam mampu berkembang biak dengan baik.
Menurut koordinator otoritas ilmiah CITES, Dr Gono Semiadi APU, kuota itu tidak membedakan gaharu alam atau budidaya. 'Sebaiknya pekebun budidaya melapor pada BKSDA setempat untuk mendapat surat rekomendasi. Itu untuk mempermudah ketika menjual hasil panen di masa depan,' katanya. Proses pelaporan hingga pembuatan berita acara pemeriksaan dari kegiatan penanaman itu gratis.
Marak budidaya
Dengan rambu-rambu itu makanya mengebunkan gaharu menjadi pilihan. Apalagi gaharu dapat dibudidayakan di ketinggian 0-1.500 m dpl, kelembapan 80%, curah hujan 1.200-1.600 mm per tahun, dan adaptif di berbagai tipe tanah. Itu sebabnya kebun-kebun gaharu kini banyak bermunculan di Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat), Kelurahan Bentiring dan Kecamatan Argamakmur (Bengkulu), Pangkalpinang (Bangka Belitung), Bogor dan Sukabumi (Jawa Barat), serta Kecamatan Kotabaru (Jambi). Tak kurang dari Malem Sambat Kaban, Menteri Kehutanan Kabinet Indonesia Bersatu mendorong penanaman gaharu.
Adi Saptono, pekebun di Pangkalbalam, Pangkalpinang, Bangka Belitung, menanam 300 spesies malaccensis, microcarpa, dan beccariana pada 2004. Ia menanam gaharu secara monokultur itu dengan jarak tanam 2 m x 2 m. Pohon yang dipelihara di kebun belakang rumah itu kini tingginya 3,5 m berdiameter 10 cm. Setahun lalu pohon-pohon itu diinokulasi menggunakan ramuan 'rahasia'. Isi ramuan bermacam-macam cendawan: fusarium, acremonium, dan aspergillus. Seliter cendawan ini dipakai untuk menyuntik 2.000 lubang per pohon. Sejauh ini Adi belum dapat menebak hasilnya. Namun, di luar itu Adi sudah mencicipi pendapatan dari ramuan 'rahasia' itu.
Bermitra dengan pekebun karet yang di kebunnya 'tumbuh liar' 1-2 pohon gaharu, pada November 2008 ia memanen 5 pohon setinggi 8 m berdiameter 25 cm. Pohon itu telah diinokulasi seliter cendawan pada pertengahan 2005. Adi memperoleh 22,5 kg gaharu terdiri atas 2,5 kg gubal mutu B dan 20 kg kemedangan. Temannya membeli gubal itu seharga Rp2-juta/kg dan kemedangan per kg Rp500.000-Rp1-juta. Minimal pendapatan Rp15-juta ditangguk. Pendapatan itu dibagi dua dengan pemilik kebun; Adi mengantongi Rp7,5-juta. Masih ada 70 pohon gaharu lagi yang tengah menanti saat dipanen.
Di Desa Gunungselan, Kecamatan Argamakmur, Bengkulu Utara, Rita Rosita menanam 1.700 pohon gaharu spesies malaccensis di lahan 7.000 m2. Ia menumpangsarikan malaccensis berumur 1,5 tahun itu (jarak tanam 2,5 m x 2,5 m) dengan tanaman jati Tectona grandis berumur 4 tahun dan kakao Theobroma cacao berumur 3 tahun. Di pinggir-pinggir kebun itu berderet pohon pinang Areca cathecu yang tengah berbuah lebat.
Tumpangsari ini bukan tanpa sebab. Pendapatan lain bisa diraih Rita sambil menunggu pohon-pohon gaharu itu siap diinokulasi cendawan. Tanaman kakao sudah berproduksi 2 kg/pohon. Panen dilakukan 2 minggu sekali sebanyak 7 kg kering dengan harga Rp12.000 per kg. Pinang sesekali dipanen dan dijual dengan harga Rp3.500 per kg. Sekali menjual sebanyak 30 kg.
Beragam kendala
Beragam rintangan siap menghadang pekebun gaharu buat meraih untung. Peluang memetik laba besar bakal gagal total jika pekebun gagal menginokulasi seperti dialami H. Mahmuddin Sany. Pekebun di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, itu menginokulasi sebuah pohon gaharu dari 20 pohon yang ditanam pada 2000. Alih-alih mendapat gubal, pohon berdiameter 18-20 cm itu batangnya membusuk. Menurut Sany kegagalan itu antara lain karena ia tidak paham masa aktif inokulan. Saat 2 mL larutan cendawan fusarium itu diinokulasi pada 30 lubang, umur si mikroba sudah kedaluwarsa sejak 3 bulan sebelumnya. Hasilnya? Pohon itu mati.
Urusan cendawan ini memang agak pelik bagi pekebun. Bukannya mereka tidak tahu teknologi cendawan, 'Saya pernah mencoba menyuntik pada sebuah pohon, tapi tak lama mati,' kata M Amin, pekebun di Dusun Orong Selatan, Desa Gegerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Kapok dengan kejadian itu ia kembali memakai cara tradisional: dipaku. Dari pengalaman Amin pohon bergaris tengah 10 cm setinggi 3-4 m yang 'diinokulasi' 3 kg paku selama 2 tahun dapat menghasilkan 1 kg kemedangan. Selain dipaku masih ada cara tradisional lain: menancap bilah bambu, kayu ulin, dan seng. Yang lain membubuhi garam sampai mengoleskan oli. Intinya membuat pohon 'merana' sehingga mau mengeluarkan gaharu.
Menurut Dr Ir Mucharromah MSc, peneliti gaharu dari Jurusan Perlindungan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, gagalnya cendawan bereaksi karena tanaman memberikan respon berbeda-beda. Sebab itu mutlak ada 'kecocokan' antara mikroba yang diinokulasi dengan si tanaman. Makanya sulit menentukan mikroba yang paling pas. 'Yang namanya mikroba pembentuk gubal itu ada sekitar 50 spesies,' katanya. Fusarium yang efektif di Bogor berbeda misalnya dengan di Bengkulu dan Nusa Tenggara Barat. Sebab itu pula pekebun seperti di Bengkulu, Kalimantan Selatan, dan Pangkalpinang meracik sendiri ramuan mikroba atas dasar pengamatan di lapangan.
Muhaimin, pekebun di Desa Batumandi, Kecamatan Batumandi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, bisa menjadi contoh. Pada 2006 ia menginokulasi 30 pohon gaharu spesies microcarpa berumur 30 tahun setinggi 25 m berdiameter 40 cm memakai cendawan 'ajaibnya'. Hasilnya dari 2 pohon yang dipanen pada pertengahan 2008 Muhaimin mendapat masing-masing 4 kg kemedangan yang laku dijual Rp1-juta per kg. Bahan cendawan itu berasal dari gubal gaharu hutan setempat yang dikembangbiakkan di laboratorium pertanian.
Pengguna gaharu juga menemukan hambatan berupa sulitnya mendapatkan gubal. Itu dialami CV Agung Perdana, eksportir gaharu di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bertahun-tahun perusahaan yang berdiri pada 1980 itu mengekspor gubal berwarna cokelat kehitaman dalam bentuk chip. Chip adalah gubal berbentuk tak beraturan dengan panjang bervariasi 10-15 cm berdiameter 4-6 cm. Aroma kuat dan tajam menyebabkan chip dipilih sebagai bahan baku pengharum. Ini permintaan pasar Timur Tengah.
Menurut H. Faisal Bagis, pemilik CV Agung Perdana, untuk mendapatkan gubal sekarang sulit. Dulu, pada 1998 CV Agung Perdana mengekspor gaharu dengan komposisi: 80% gubal dan 20% kemedangan. Kondisi itu kini berbalik 180 derajat. Dari kuota ekspor 8 ton per tahun, 80% kemedangan dan 20% gubal. 'Susah kalau terus berharap mendapatkan gubal alam,' ungkap Faisal.
Tinggal antar
Jika pekebun mampu melewati beragam rintangan mengantongi laba besar bukan angan-angan. Banyak eksportir dan penampung gaharu siap menyerap. Taufik Murad, penampung di Lombok, Nusa Tenggara Barat, rutin menjemput gaharu pekebun melalui kaki tangannya yang berjumlah belasan orang.
Pengelola restoran khas makanan Lombok itu tidak mengolah gaharu itu. Ia langsung mengirimkan 50--100 kg per bulan gaharu ke eksportir langganan di Jakarta dan Surabaya. Taufik memang beroperasi di Nusa Tenggara Barat. Pekebun di luar itu tidak perlu cemas. Masih banyak penampung gaharu. Data Asgarin menyebutkan ada 41 penampung berizin resmi. Mereka tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Papua.
Soal harga beli? Menurut Joni Surya meskipun eksportir dan penampung banyak, sebagian besar tidak mau terang-terangan mengekspos harga. Harap mafhum bisnis ini menyangkut nilai uang cukup besar. 'Perdagangan gaharu persis perdagangan sarang walet sebelum tahun 1990-an. Sifatnya tertutup, standar harga kurang jelas karena keragaman kualitas sangat tinggi,' ujar ketua Gaharu 88, pelopor penanaman pohon gaharu di Bengkulu.
Yang seringkali terjadi adalah proses tawar-menawar harga yang alot. 'Gaharu itu dibeli aromanya, jadi tidak bisa tidak perlu dilihat barangnya. Bahkan kalau perlu dites,' ungkap Taufik. Data Asgarin dapat menjadi acuan. Harga mutu gaharu tertinggi, gubal double super atau super A per kg Rp10-juta-Rp15-juta. Berikutnya gubal super tanggung Rp4-juta-Rp5-juta/kg. Yang terendah disebut teri, rata-rata Rp100.000/kg.
Pekebun tak perlu berkecil hati meskipun sejauh ini paling pol hasil gaharu budidaya sebatas kemedangan yang harga jual di tingkat pekebun Rp500.000-Rp1-juta/kg. Dengan mutu serupa, pekebun-pekebun gaharu budidaya di Vietnam terus menggenjot mutu gaharu lewat berbagai teknologi. Ini bisa ditiru pekebun di tanahair karena bukan mustahil suatu saat gubal super yang harganya top diperoleh dari budidaya relatif singkat. 'Ini sedang kami teliti di Vietnam,' kata Prof Robert A Blanchette, periset gaharu dari University of Minnesota Amerika Serikat, melalui surat elektronik.
Pasar terbuka
Menurut ketua Asgarin Dr Faisal Salampessy SH, permintaan terhadap gaharu terus meningkat karena bejibun kegunaannya. 'Setiap agama di dunia mensyaratkan wangi gaharu yang dibakar sebagai sarana peribadatan. India dan China paling besar menyerap untuk kemenyan,' kata doktor perencana keuangan Universitas New Delhi di India itu.
Selain agama, pola hidup juga berpengaruh. Di Timur Tengah gaharu menjadi kebutuhan pokok. 'Masyarakat Arab menggunakan gaharu untuk siwak atau menggosok gigi agar mulut tidak bau. Kondisi iklim panas dan kegemaran mengkonsumsi daging membuat tubuh mereka bau menyengat sehingga gaharu juga dipakai untuk pengharum,' kata Dr Afdol Tharik Wastono SS MHum, dosen Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Saat ini Indonesia menjadi produsen gaharu terbesar di dunia. Total ekspor gaharu Indonesia ke negara-negara Asia seperti Taiwan mencapai 92.188 kg. Jumlah itu naik dibandingkan 2005 (70.335 kg) dan 2004 (32.365 kg). Mayoritas yang diekspor kemedangan. Untuk pasar Timur Tengah terjadi penurunan ekspor: 2006 (39.400 kg), 2005 (67.245 kg). Musababnya mereka ingin gubal super yang sulit diperoleh.
Sebab itu yang mengeluh kekurangan bahan baku bukan cuma Taufik Murad. CV Ama Ina Rua, eksportir di Jakarta juga kekurangan pasokan gaharu. Menurut Faisal Salampessy, direktur, berapa pun produksi akan diserap. Perusahaan yang berdiri pada 2000 itu kini hanya mengekspor 2-3 ton dari semula 5,6 ton per bulan gaharu ke Singapura.
Menurut Joni Surya ke depan gaharu budidaya yang diperjualbelikan. 'Seberapa lama alam bisa menyediakan gaharu?' tanyanya. Apalagi di masa mendatang kebutuhan gaharu sebagai aromaterapi dan obat meningkat. Sebagai obat faedahnya antara lain antiasma, antimikroba, serta hepatitis. Itu karena gaharu mengandung 17 senyawa aktif seperti agarospirol, aquilochin, dan noroksoagarofuran.
Substansi aromatik dalam gubal termasuk golongan sesquiterpena yang hingga kini belum dapat dibuat sintetisnya. Baru-baru ini sebuah perusahaan parfum terbesar di Jerman mengundang para peneliti tanahair melakukan uji DNA untuk mengetahui pencetus aroma gaharu. 'Mereka berkepentingan karena selama ini tidak pernah kebagian bahan baku yang selalu habis terserap pasar Timur Tengah,' ungkap Dr Teuku Tadjuddin, kepala seksi Bioteknologi Puspiptek Serpong di Tangerang.
Pantas jika penanaman gaharu terus meluas. Apalagi harga jual terus melambung. Jika pada 2001 gaharu super per kg Rp4-juta-Rp5-juta, saat ini Rp10-juta-Rp15-juta. Demikian pula harga gubal kelas AB yang cuma Rp2-juta-Rp3-juta, saat ini Rp4-juta-Rp5-juta per kg.
Gaharu 88 di Bengkulu mengkoordinir 42 kelompok tani untuk penanaman gaharu hingga 95.000 pohon. Begitu juga Asgarin yang mewajibkan setiap anggotanya menanam minimal 2 hektar gaharu. H Mahmuddin memilih bermitra dengan para pekebun. Setiap tahun Mahmuddin memperluas lahan penanaman rata-rata 5-10 hektar. Laba besar yang didapat menjadi daya tarik pekebun.
Dengan niat konservarsi Universitas Mataram (Unram) melalui Gaharu Center mengkampanyekan penanaman gaharu. Salah satunya menghijaukan hutan lindung di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Dari lahan seluas 225 hektar, 132 hektar di antaranya sudah ditanami lebih dari 100.000 pohon gaharu. 'Gaharunisasi ini juga dilakukan di kampus,' ujar Dr Sudirman, dekan Fakultas Pertanian Unram. Jika bisnis dan konservasi sudah bisa sejalan seia sekata, apalagi yang harus tunggu? Sebagaimana pepatah, Ah sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula. (Dian Adijaya S/Peliput: Karjono, Faiz Yajri, Tri Susanti, Nesia A, dan Sardi Duryatmo)
(Sumber trubus.Kamis, Januari 01, 2009 00:45:57)
Kamis, Januari 22, 2009
GAHARU: HHBK yang Menjadi Primadona
Gaharu merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang cukup dapat diandalkan, khususnya apabila ditinjau dari harganya yang sangat istimewa bila dibandingkan dengan HHBK lainnya. Nilai jual yang tinggi dari gaharu ini mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya. Sebagai contoh, pada awal tahun 2001, di Kalimantan Timur tepatnya di Pujangan (Kayan) harga gaharu dapat mencapai Rp. 600.000,- per kilogram . Pada tingkat eceran di kota-kota besar harga ini tentunya akan semakin tinggi pula. Kontribusi gaharu terhadap perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut Balai Pusat Statistik, rata-rata nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990-1998 adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $ 2.2 juta.
Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio (pelengkap sembahyang pemeluk agama Budha & Kong Hu Cu), obat, dan sebagainya.
Masyarakat awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon gaharu. Menurut SNI 01-5009.1-1999 gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada suatu jenis pohon, yang pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Nama daerah: Karas, Alim, Garu dan lain-lain).
Gaharu diperdagangkan dalam berbagai bentuk, yaitu berupa bongkahan, chips dan serbuk. Bentuk bongkahan dapat berupa patung atau bentuk unik (natural sculpture) atau tanpa bentuk sama sekali. Demikian pula warnanya, bervariasi mulai dari mendekati putih sampai coklat tua atau mendekati kehitaman, tergantung kadar damar wangi yang dikandungnya dan dengan sendirinya akan semakin wangi atau kuat aroma yang yang ditimbulkannya. Umumnya warna gaharu inilah yang dijadikan dasar dalam penentuan kualitas gaharu. Semakin hitam/pekat warnanya, semakin tinggi kandungan damar wanginya, dan akan semakin tinggi pula nilai jualnya. Umumnya semakin hitam/pekat warna gaharu, menunjukkan semakin tinggi proses infeksinya, dan semakin kuat aroma yang ditimbulkannya. Namun pedoman warna dan aroma ini tidaklah mutlak, karena dalam kenyataannya, warna ini dapat diakali dengan penerapan pewarna, sedangkan aroma dapat diakali dengan mencelupkan gaharu ke dalam destilat gaharu. Sehingga hanya pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman dan sudah lama berkecimpung dalam perdagangan gaharu sajalah yang dapat membedakan antara gaharu yang tinggi kualitasnya dengan yang lebih rendah kualitanya (kemedangan).
Di Indonesia, gaharu yang diperdagangkan secara nasional masih dalam bentuk bongkahan, chips ataupun serbuk gaharu. Masyarakat belum tertarik untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang tentunya akan lebih meningkatkan nilai jualnya.
Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan Solomon serta kepulauan Nicobar. Sembilan spisies diantaranya terdapat di Indonesia yaitu: di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies. Enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di Srilanka.
Penyebab timbulnya infeksi (yang menghasilkan gaharu) pada pohon penghasil gaharu, hingga saat ini masih terus diamati. Namun, para peneliti menduga bahwa ada 3 elemen penyebab proses infeksi pada pohon penghasil gaharu, yaitu (1) infeksi karena fungi, (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Dalam grup yang pertama, Santoso (1996) menyatakan telah berhasil mengisolasi beberapa fungi dari pohon Aquilaria spp. yang terinfeksi yaitu: Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium. Pada kasus 2 dan 3 muncul hipotesis yang menyatakan bahwa perlukaan pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang menghasilkan gaharu. Tetapi hipotesis inipun masih memerlukan pembuktian.
Kualita Gaharu Indonesia secara nasional telah ditetapkan dalam SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Dalam SNI tersebut kualita gaharu dibagi dalam 13 kelas kualitas yang terdiri dari :
· Gubal gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (Mutu Utama = yang setara dengan mutu super; mutu Pertama = setara dengan mutu AB; dan mutu Kedua = setara dengan mutu Sabah super),
· Kemedangan yang terbagi dalam 7 kelas kualita (mulai dari mutu Pertama = setara dengan mutu TGA/TK1 sampai dengan mutu Ketujuh = setara dengan mutu M3), dan
· Abu gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (mutu Utama, Pertama dan Kedua).
Pada kenyataannya dalam perdagangan gaharu, pembagian kualitas gaharu tidak seragam antara daerah yang satu dengan yang lain, meskipun sudah ada SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Sebagai contoh, di Kalimantan Barat disepakati 9 jenis mutu yaitu dari kualitas Super A (terbaik) sampai dengan mutu kemedangan kropos (terburuk). Sedangkan di Kalimantan Timur dan Riau, para pebisnis gaharu menyepakati 8 jenis mutu, mulai dari mutu super A (terbaik) sampai dengan mutu kemedangan (terburuk). Penetapan standar di lapangan yang tidak seragam tersebut dimungkingkan karena keberadaan SNI Gaharu sejauh ini belum banyak diketahui dan dimanfaatkan oleh para pedagang maupun pengumpul. Disamping itu, sebagaimana SNI-SNI hasil hutan lainnya, penerapan SNI Gaharu masih bersifat sukarela (voluntary), dimana tidak ada kewajiban untuk memberlakukannya.
Pemanfaatan gaharu dari alam secara tradisional di Indonesia (Kalimantan dan Sumatera), akan menjamin kelestarian pohon induknya, yaitu hanya mengambil bagian pohon yang ada gaharunya saja tanpa harus menebang pohonnya. Pemanenan Gaharu sebaiknya dari pohon-pohon penghasil gaharu yang mempunyai diameter di atas 20 cm. Namun, sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar dan nilai jual dari gaharu, masyarakat lokal telah mendapat pesaing dari pebisnis gaharu dari tempat lain, sehingga mereka berlomba-lomba untuk berburu gaharu. Akibatnya, pemanfaatan gaharu secara tradisional yang mengacu pada prinsip kelestarian tidak dapat dipertahankan lagi. Hal ini berdampak, semakin sedikitnya pohon-pohon induk gaharu. Bahkan di beberapa tempat, gaharu telah dinyatakan jarang/hampir punah. Hal ini disebabkan oleh karena penduduk tidak lagi hanya menoreh bagian pohon yang ada gaharunya, tetapi langsung menebang pohonnya. Diameter pohon yang ditebangpun menurun menjadi dibawah 20 cm, dan tentu saja kualita gaharu yang diperolehpun tidak dapat optimal.
Akibat semakin langkanya tegakan pohon penghasil gaharu, dalam COP (Conference of Parties) ke – 9 CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) di Fort Lauderdale, Florida, USA (7 – 18 Nopember 1994) para peserta konferensi atas usulan India menerima proposal pendaftaran salah satu spesies penghasil gaharu (A. malaccensis) dalam CITES Appendix II. Dengan demikian dalam waktu 90 hari sejak penerimaan/penetapan proposal tersebut, perdagangan spesies tersebut harus dilakukan dengan prosedur CITES.
Namun masalahnya, hingga saat ini gaharu yang diperdagangkan dalam bentuk bongkahan, chips, serbuk, destilat gaharu serta produk akhir seperti chopstick, pensil, parfum, dan lain-lain tidak dapat/sulit untuk dapat dibuktikan apakah gaharu tersebut dihasilkan oleh jenis A. malaccensis ataukah dari spesies lain. Untuk mengatasi masalah ini, akhirnya ditempuh kebijaksanaan bahwa baik negara pengekspor maupun penerima tetap menerapkan prosedur CITES terhadap setiap produk gaharu, terlepas apakah produk tersebut berasal dari spesies A. malaccensis ataukah bukan. Hal ini dikarenakan sebagian besar populasi spesies penghasil gaharu di alam sudah berada pada posisi terancam punah. Dengan demikian diharapkan populasi spesies penghasil gaharu dapat diselamatkan.
Penutup
Mempertimbangkan nilai jual Gaharu, patut diupayakan peningkatan peranan Gaharu sebagai komoditas andalan alternatif untuk penyumbang devisa dari sektor kehutanan selain dari produk hasil hutan kayu. Untuk mendapatkan manfaat nilai tambah maksimal dalam memanfaatkan komoditas tersebut, perlu pembinaan kepada produsen di dalam negeri untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk akhir (olahan) seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain dengan nilai jual yang lebih tinggi. Disamping itu, untuk mendorong keseragaman penetapan kualita di lapangan, keberadaan SNI gaharu perlu disosialisasikan di kalangan para produsen, pedagang, dan para konsumen. Lebih lanjut, untuk menjamin keberlanjutan pasokan gaharu, perlu upaya pembinaan agar masyarakat memanen gaharu dengan cara-cara yang mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian. Akhirnya, untuk menghindarkan kepunahan gaharu, maka aturan atau prosedur CITES dalam perdagangan komoditas gaharu harus dilaksanakan secara konsekwen di lapangan oleh para pihak yang berkepentingan.
Daftar Pustaka :
Anonym. SNI 01-5009.1-1999: Gaharu. Badan Standar-disasi Nasional (BSN). 1999
Soehartono, Tonny; Gaharu: Kegunaan dan Pemanfaatan. Disampaikan pada Lokakarya Tanaman Gaharu di Mataram tanggal 4 – 5 September 2001
Rohadi, Dede dan Suwardi Sumadiwangsa, Prospek dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia: Suatu Tinjauan dari Perspektif Penelitian dan Pengembangan, Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu di Mataram, 4 – 5 September 2001.
Sumber: //www.dephut.go.id/
Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio (pelengkap sembahyang pemeluk agama Budha & Kong Hu Cu), obat, dan sebagainya.
Masyarakat awam seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon gaharu. Menurut SNI 01-5009.1-1999 gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada suatu jenis pohon, yang pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Nama daerah: Karas, Alim, Garu dan lain-lain).
Gaharu diperdagangkan dalam berbagai bentuk, yaitu berupa bongkahan, chips dan serbuk. Bentuk bongkahan dapat berupa patung atau bentuk unik (natural sculpture) atau tanpa bentuk sama sekali. Demikian pula warnanya, bervariasi mulai dari mendekati putih sampai coklat tua atau mendekati kehitaman, tergantung kadar damar wangi yang dikandungnya dan dengan sendirinya akan semakin wangi atau kuat aroma yang yang ditimbulkannya. Umumnya warna gaharu inilah yang dijadikan dasar dalam penentuan kualitas gaharu. Semakin hitam/pekat warnanya, semakin tinggi kandungan damar wanginya, dan akan semakin tinggi pula nilai jualnya. Umumnya semakin hitam/pekat warna gaharu, menunjukkan semakin tinggi proses infeksinya, dan semakin kuat aroma yang ditimbulkannya. Namun pedoman warna dan aroma ini tidaklah mutlak, karena dalam kenyataannya, warna ini dapat diakali dengan penerapan pewarna, sedangkan aroma dapat diakali dengan mencelupkan gaharu ke dalam destilat gaharu. Sehingga hanya pedagang-pedagang yang sudah berpengalaman dan sudah lama berkecimpung dalam perdagangan gaharu sajalah yang dapat membedakan antara gaharu yang tinggi kualitasnya dengan yang lebih rendah kualitanya (kemedangan).
Di Indonesia, gaharu yang diperdagangkan secara nasional masih dalam bentuk bongkahan, chips ataupun serbuk gaharu. Masyarakat belum tertarik untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain, yang tentunya akan lebih meningkatkan nilai jualnya.
Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropika dan memiliki marga Aquilaria, Gyrinops dan Gonystilus yang keseluruhannya termasuk dalam famili Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Marga Gonystilus memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara mulai dari Malaysia, Peninsula, Serawak, Sabah, Indonesia, Papua New Guinea, Philipina dan kepulauan Solomon serta kepulauan Nicobar. Sembilan spisies diantaranya terdapat di Indonesia yaitu: di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian Jaya. Marga Gyrinops memiliki tujuh spesies. Enam diantaranya tersebar di Indonesia bagian timur serta satu spesies terdapat di Srilanka.
Penyebab timbulnya infeksi (yang menghasilkan gaharu) pada pohon penghasil gaharu, hingga saat ini masih terus diamati. Namun, para peneliti menduga bahwa ada 3 elemen penyebab proses infeksi pada pohon penghasil gaharu, yaitu (1) infeksi karena fungi, (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Dalam grup yang pertama, Santoso (1996) menyatakan telah berhasil mengisolasi beberapa fungi dari pohon Aquilaria spp. yang terinfeksi yaitu: Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium. Pada kasus 2 dan 3 muncul hipotesis yang menyatakan bahwa perlukaan pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang menghasilkan gaharu. Tetapi hipotesis inipun masih memerlukan pembuktian.
Kualita Gaharu Indonesia secara nasional telah ditetapkan dalam SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Dalam SNI tersebut kualita gaharu dibagi dalam 13 kelas kualitas yang terdiri dari :
· Gubal gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (Mutu Utama = yang setara dengan mutu super; mutu Pertama = setara dengan mutu AB; dan mutu Kedua = setara dengan mutu Sabah super),
· Kemedangan yang terbagi dalam 7 kelas kualita (mulai dari mutu Pertama = setara dengan mutu TGA/TK1 sampai dengan mutu Ketujuh = setara dengan mutu M3), dan
· Abu gaharu yang terbagi dalam 3 kelas kualita (mutu Utama, Pertama dan Kedua).
Pada kenyataannya dalam perdagangan gaharu, pembagian kualitas gaharu tidak seragam antara daerah yang satu dengan yang lain, meskipun sudah ada SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Sebagai contoh, di Kalimantan Barat disepakati 9 jenis mutu yaitu dari kualitas Super A (terbaik) sampai dengan mutu kemedangan kropos (terburuk). Sedangkan di Kalimantan Timur dan Riau, para pebisnis gaharu menyepakati 8 jenis mutu, mulai dari mutu super A (terbaik) sampai dengan mutu kemedangan (terburuk). Penetapan standar di lapangan yang tidak seragam tersebut dimungkingkan karena keberadaan SNI Gaharu sejauh ini belum banyak diketahui dan dimanfaatkan oleh para pedagang maupun pengumpul. Disamping itu, sebagaimana SNI-SNI hasil hutan lainnya, penerapan SNI Gaharu masih bersifat sukarela (voluntary), dimana tidak ada kewajiban untuk memberlakukannya.
Pemanfaatan gaharu dari alam secara tradisional di Indonesia (Kalimantan dan Sumatera), akan menjamin kelestarian pohon induknya, yaitu hanya mengambil bagian pohon yang ada gaharunya saja tanpa harus menebang pohonnya. Pemanenan Gaharu sebaiknya dari pohon-pohon penghasil gaharu yang mempunyai diameter di atas 20 cm. Namun, sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar dan nilai jual dari gaharu, masyarakat lokal telah mendapat pesaing dari pebisnis gaharu dari tempat lain, sehingga mereka berlomba-lomba untuk berburu gaharu. Akibatnya, pemanfaatan gaharu secara tradisional yang mengacu pada prinsip kelestarian tidak dapat dipertahankan lagi. Hal ini berdampak, semakin sedikitnya pohon-pohon induk gaharu. Bahkan di beberapa tempat, gaharu telah dinyatakan jarang/hampir punah. Hal ini disebabkan oleh karena penduduk tidak lagi hanya menoreh bagian pohon yang ada gaharunya, tetapi langsung menebang pohonnya. Diameter pohon yang ditebangpun menurun menjadi dibawah 20 cm, dan tentu saja kualita gaharu yang diperolehpun tidak dapat optimal.
Akibat semakin langkanya tegakan pohon penghasil gaharu, dalam COP (Conference of Parties) ke – 9 CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) di Fort Lauderdale, Florida, USA (7 – 18 Nopember 1994) para peserta konferensi atas usulan India menerima proposal pendaftaran salah satu spesies penghasil gaharu (A. malaccensis) dalam CITES Appendix II. Dengan demikian dalam waktu 90 hari sejak penerimaan/penetapan proposal tersebut, perdagangan spesies tersebut harus dilakukan dengan prosedur CITES.
Namun masalahnya, hingga saat ini gaharu yang diperdagangkan dalam bentuk bongkahan, chips, serbuk, destilat gaharu serta produk akhir seperti chopstick, pensil, parfum, dan lain-lain tidak dapat/sulit untuk dapat dibuktikan apakah gaharu tersebut dihasilkan oleh jenis A. malaccensis ataukah dari spesies lain. Untuk mengatasi masalah ini, akhirnya ditempuh kebijaksanaan bahwa baik negara pengekspor maupun penerima tetap menerapkan prosedur CITES terhadap setiap produk gaharu, terlepas apakah produk tersebut berasal dari spesies A. malaccensis ataukah bukan. Hal ini dikarenakan sebagian besar populasi spesies penghasil gaharu di alam sudah berada pada posisi terancam punah. Dengan demikian diharapkan populasi spesies penghasil gaharu dapat diselamatkan.
Penutup
Mempertimbangkan nilai jual Gaharu, patut diupayakan peningkatan peranan Gaharu sebagai komoditas andalan alternatif untuk penyumbang devisa dari sektor kehutanan selain dari produk hasil hutan kayu. Untuk mendapatkan manfaat nilai tambah maksimal dalam memanfaatkan komoditas tersebut, perlu pembinaan kepada produsen di dalam negeri untuk mengolah gaharu secara lebih lanjut, misalnya dalam bentuk produk akhir (olahan) seperti destilat gaharu, parfum, chopstick, dan lain-lain dengan nilai jual yang lebih tinggi. Disamping itu, untuk mendorong keseragaman penetapan kualita di lapangan, keberadaan SNI gaharu perlu disosialisasikan di kalangan para produsen, pedagang, dan para konsumen. Lebih lanjut, untuk menjamin keberlanjutan pasokan gaharu, perlu upaya pembinaan agar masyarakat memanen gaharu dengan cara-cara yang mengindahkan kaidah-kaidah kelestarian. Akhirnya, untuk menghindarkan kepunahan gaharu, maka aturan atau prosedur CITES dalam perdagangan komoditas gaharu harus dilaksanakan secara konsekwen di lapangan oleh para pihak yang berkepentingan.
Daftar Pustaka :
Anonym. SNI 01-5009.1-1999: Gaharu. Badan Standar-disasi Nasional (BSN). 1999
Soehartono, Tonny; Gaharu: Kegunaan dan Pemanfaatan. Disampaikan pada Lokakarya Tanaman Gaharu di Mataram tanggal 4 – 5 September 2001
Rohadi, Dede dan Suwardi Sumadiwangsa, Prospek dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia: Suatu Tinjauan dari Perspektif Penelitian dan Pengembangan, Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu di Mataram, 4 – 5 September 2001.
Sumber: //www.dephut.go.id/
Langganan:
Postingan (Atom)