Team Program 'Masjid Gaharu' Kota Depok

1.Ganif Aswoko , email: aswokoganif@gmail.com



2.Taqyuddin SSi MHum , email: taqygeo@gmail.com




Sabtu, Januari 24, 2009

Memburu Pemburu Gaharu

Keharuman kayu gaharu menggoda para pemburu dari luar daerah. Berbeda dengan warga setempat yang mampu memilah gaharu yang bermutu, pemburu dari seberang cenderung main babat, main embat,main tebang.

JEJAK-jejak itu masih segar: tapak sepatu, ranting-ranting patah dan ceceran daun hijau. Abet Nego, anggota Petugas Konservasi Kampung (Pekoka), menyusuri bekas tapak itu ke tengah hutan. Tak jauh dari sungaikecil, anak Wakil Ketua Adat Lesan Dayak ini menemukan tiga gubuk yang baru ditinggalkan. Asap masih mengepul dari bekas api pendiangan. Sisa makanan yang tercecer juga belum disentuh semut. Merasa yakin para pemilik gubuk belum jauh, Abet berseru, “Oeeeee.”
Benar saja, sebuah jawaban melengking di kejauhan. Tak sampai satu kilometer kemudian, Abet memergoki empat pemuda. Ada yang menggegam arit dan parang. Ada juga yang menenteng kapak. Tapi semuanya membawa kantong yang sama: karung plastik besar yang disampirkan ke punggung. Tak salah lagi, merekalah para “pemburu gaharu”, salah satu penjarah Hutan Lesan yang belakangan ini meresahkan warga.

Hutan Lesan di Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau adalah secuil kecil hutan Kalimantan yang masih tersisa. Selain menjadi “gudang” kayu gaharu, kawasan 11.000 ha lebih ini juga dihuni pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) berumur ratusan tahun yang kini amat langka. Hutan bekas areal HPH yang belum sempat dipanen ini penuh dengan pepohonan dari keluarga meranti (Dipterocarpaceae) dengan garis tengah batang semester lebih. Dan di atas semua itu, Hutan Lesan merupakan salah satu habitat terakhir orangutan, mamalia langka kelas dunia, yang di seluruh jagat ini hanya hidup di Kalimantan dan sebagian Sumatera.
Lebih istimewa lagi: Lesan merupakan satu-satunya “rumah” bagi orangutan dari varietas Pongo pygmaeus mario, yang hanya ada di Kalimantan Timur. Selain menjadi surga bagi tanaman dan satwa langka, Hutan Lesan merupakan sumber kehidupan warga desa di sekitar Lesan. Dari kekayaan alam yang begitu melimpah itu, warga desa Muara Lesan, Lesan Dayak, Merapun dan Sidobangun dengan mudah dapat memanen madu, ikan, bahan obat-obatan, dan kadang kala kayu gaharu (Aquilaria spp). Pohon yang dikenal oleh warga sebagai kayu karas, garu, alim, atau kompe ini bukan hanya harum aromanya tapi juga sangat harum harganya.
Sejak bertahun-tahun lampau, kayu gaharu merupakan salah satu bahan industri parfum yang kesohor. Harganya menggiurkan. Satu kilogram bongkahan jantung” gaharu yang hitam mengkilat bisa mencapai Rp 10 juta, bahkan Rp 30 juta. Itu yang kualitas prima. Yang “ecek-ecek” sekalipun, serutan kayu gaharu muda yang baunya Cuma sayup-sayup, masih pula laku. Harganya paling murah Rp 600 ribu satu kilo, siapa tidak ngiler?

Dengan warisan ilmu para leluhur Dayak Punan, warga setempat dapat memilah gaharu yang telah terinfeksi penuh hingga jantung-kayunya menghitam, aromanya semerbak dan harganya mahal. Dengan keahlian itu, mereka hanya menebang pohon gaharu yang siap panen dan membiarkan yang lain, sehingga pelestarian “tambang-wewangian” ini dapat terjaga.
Namun keharuman gaharu bukan hanya menarik minat warga sekitar, tapi juga menggoda para pemburu dari luar daerah. Menurut Niel Makinuddin, Program Manager Kehutanan pada The Nature Concervancy (TNC), lembaga yang bergiat di bidang lingkungan, para pemburu gaharu di Hutan Lesan umumnya datang dari jauh, seperti Banjarmasin atau bahkan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. “Kalaupun ada orang lokal, mereka hanya menemani,” katanya.
Berbeda dengan orang setempat yang mampu membedakan “mana loyang, mana emas”, para pendatang ini umumnya langsung main tebang, main babat, tak peduli apakah isi pohon itu cukup berharga atau tidak. Dengan sikap para pemburu yang main embat ini, kelestarian gaharu mudah sekali terancam.
Selain itu, para pemburu dari “seberang” ini kerap punya sambilan yang membahayakan. Selain menjarah gaharu, mereka rajin menjamah apa pun yang dapat mereka temukan di hutan: satwa liar, anggrek hitam, atau apa saja yang bisa dijual. Belakangan, mereka juga mengincar kayu ulin yang langka dan supermahal itu. Celakanya, ulin merupakan pohon favorit bagi orangutan untuk membuat sarang. Ancaman terhadap ulin merupakan bahaya langsung terhadap kehidupan Pongo Pygmaeus Mario.
Karena datang dari jauh, para pemburu pendatang ini harus menginap berhari-hari di dalam hutan. Ini membuat mereka harus membangun pondok-inap sementara, termasuk memenuhi semua kebutuhan pokok, seperti mandi, mencuci dan memasak. Di musim kemarau, api yang ditinggalkan, seperti api sisa pendiangan yang ditemukan Abet, kerap kali menyulut kebakaran yang lebih besar.
Rombongan yang dipergoki Abet mengaku datang dari Labanan, sebuah desa tak jauh dari Lesan. Itu tak mungkin, piker Abet. Jarak antara Labanan dan Lesan pulang pergi, dapat ditempuh dalam satu hari perjalanan jalan-kaki. Kalau benar dating dari sebelah, mereka pasti tak perlu menginap. Ketika ditegur, para pemburu minta diizinkan sehari lagi berada di hutan. “Mau bagaimana lagi? Saya tak punya SK penjaga hutan. Saya menjaganya karena kesadaran saja,” kata Abet.
Namun beberapa hari kemudian, Abet kembali memergoki mereka. Ternyata mereka bukan berempat, tapi berdelapan. ereka bukan sehari atau dua hari, tapi sudah hampir dua pekan gentayangan di dalam hutan. Menyadari besarnya kerusakan yang mungkin timbul, Abet minta mereka meninggalkn hutan saat itu juga. “Tolong, Pak, ini hutan lindung,” kata kemenakan Ketua Adat Lesan Dayak ini, “Kalau tetap di sini, bapak-bapak bukan hanya berhadapan dengan saya, tapi orang satu kampung.”
Bagi warga Lesan Dayak, hutan bukan hanya tempat hidup ulin atau orangutan. Lebih dari itu, hutan merupakan nyawa kehidupan mereka. “Kalau hutan tak ada, mau hidup dari mana lagi?” kata Abet.

Tulisan ini pernah dimuat di harian Tribun Kaltim edisi Rabu, 19 November 2008, atas dukungan program fellowship liputan orang utan dan habitatnya. Fellowship ini berkat kerjasama antara Orangutan Conservation Support Program (OCSP), Yayasan Pro Media dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Sumber:mediakonservasi.org

1 komentar:

  1. Kami Menjual INOKULAN GAHARU Berkualitas harga Rp. 200.000 (Nego) Hub. o853-7624-4454
    Bonus Cara Penyuntikan Pohon Gaharu
    Kami Kembangkan dari (Fusarium Oxysporum, F. Solani, Aspergilus)

    Kami Menjual Bibit GAHARU Berkualitas Mulai dari Rp.500/btg
    Untuk wilayah Pekanbaru Kota, Kab. Rengat, Kab Bengkalis, Kab Siak, Kab Pelalawan sekitarnya
    HP. o853-7624-4454


    Untuk wilayah Ranai, Natuna, Bunguran Barat, Bunguran Timur, P Langong, P Batang, P Sedanau, P selangor sekitarnya
    Hubungi Bpk. SAKIRUN HP. o813-7233-5120

    ,..Untuk wilayah Selat Panjang, Pulau Rangsang, Rangsang Barat, Merbau, Tebing Tinggi, Karimun, Karimun Besar dan Pulau Mendol sekitarnya
    Hubungi Bpk. BAKRI HP. o852-7203-4833

    BalasHapus