Team Program 'Masjid Gaharu' Kota Depok

1.Ganif Aswoko , email: aswokoganif@gmail.com



2.Taqyuddin SSi MHum , email: taqygeo@gmail.com




Rabu, Februari 04, 2009

Wangi Gaharu

Andai saja Abdulqodir Hadi Mustofa mau, duit Rp328-juta masuk ke rekeningnya. Seorang pedagang menawar Rp4-juta per pohon karas Aquilaria malaccensis penghasil gaharu. Ia yang mempunyai 82 karas dan diinokulasi setahun lalu, menolak penawaran itu. 

Ia hakul yakin harga jual gaharu bakal meningkat ketika ia menebang dan memanennya kelak.Namun, celaka. Hanya berselang sebulan, semua karas di lahan Mustofa hilang karena ditebang orang. Tak satu pun pohon tersisa. Semua rata tanah karena bekas tebangan tertutup tanah. Lokasi kebunnya di Desa Sungaiduren, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muarojambi, 30 km dari rumahnya. Pohon-pohon berumur 10 tahun itu ia tanam di sela-sela pohon karet. Mustofa masygul. Ia kecewa. 'Ini belum rezeki saya,' kata pekebun gaharu itu. Potensi kerugiannya Rp328-juta. 

Abdulqodir Hadi Mustofa 'tersandung' wangi gaharu. Ia tak sendirian, tentu. Ada Kresna Sanubari-bukan nama sebenarnya-yang senasib dengannya. Pekebun di Pekanbaru, Provinsi Riau, itu pionir budidaya gaharu di Indonesia. Pada 1982 ia sudah menanam 1.000 bibit gaharu di lahan 5 ha tumpangsari dengan karet. Kresna percaya gaharu terbentuk secara alami. Oleh karena itu ia menghindari inokulasi alias-memasukkan mikroba ke jaringan pohon. 

Sebagai gantinya, Kresna mematahkan cabang sebagai pintu masuk cendawan. Langkah lain, memaku batang dari atas permukaan tanah hingga setinggi 3-4 m. Sekujur batang penuh paku. Ketika Trubus mengunjungi kebun Kresna pada awal 2008, ada 20-an pohon yang ia paku. Sepuluh tahun menunggu, pohon gaharu segar-bugar pertanda cendawan belum datang sehingga gubal atau kemedangan belum terbentuk. 
Inokulasi: rawan 

Gubal gaharu memang menggiurkan karena harga sangat mahal. Harga kelas super, misalnya, saat ini mencapai Rp15-juta per kg. Pekebun dan pemburu gubal gaharu pun berlomba-lomba mendapatkannya. Namun, memperoleh gubal tak semudah memecahkan telur ayam. Muhammad Amin, pekebun di Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, menemui hambatan serupa. 

Tiga tahun lampau, ia menginokulasikan cendawan Fusarium lateritium ke sebuah pohon penghasil gubal gaharu. Enam bulan berselang, maut menjemput pohon anggota famili Thymelaeaceae itu tanpa meninggalkan gubal. Menurut Dr Sudirman, ahli gaharu dari Universitas Mataram, kegagalan itu lantaran diameter batang kecil, kurang dari 9 cm. Idealnya ukuran batang siap inokulasi bila berukuran minimal 10 cm. 

Dampaknya ketika batang dibor, jaringan xylem dan floem-organ pohon yang berperan mendistribusikan nutrisi ke seluruh jaringan tanaman-pun terputus. Sebab, pengeboran untuk membuat lubang inokulasi dari berbagai arah sehingga memungkinkan ujung beberapa lubang bertemu di satu titik. Jika begitu jaringan xylem dan floem bakal tak saling berhubungan alias terputus. Pasokan nutrisi pun terhenti dan akhirnya pohon mati.

Kegagalan serupa juga dialami Joni Surya, pekebun di Airsebakul, Kotamadya Bengkulu. Pada 2002, ia menginokulasi 10 pohon berumur 10 tahun berdiameter 20-25 cm. Ia membuat 250 lubang inokulasi di setiap pohon. Tiga botol inokulat-berisi cendawan, harga saat itu Rp100.000 sebotol-ia habiskan untuk menginokulasi sebuah pohon. Surya menunggu 3 tahun berharap agar pohon menghasilkan gubal bermutu tinggi. Berhasil? Tak sepenuhnya sukses lantaran ia cuma menuai rata-rata 2 kg kemedangan. Bagian tengah pohon keropos.

Kemedangan merupakan resin yang dihasilkan oleh pohon penghasil gaharu, tetapi mutunya di bawah gubal. Biasanya untuk memperoleh kemedangan, pekebun hanya menunggu setahun setelah inokulasi, bukan 3 tahun seperti ditempuh Joni Surya. Kegagalan inokulasi jamak ditemukan di berbagai daerah. Selain di Riau, Bengkulu, Lombok, kegagalan serupa juga terjadi di Balangan, Kalimantan Selatan. Dua tahun silam Muhidin, pekebun di Kecamatan Batumandi, Kabupaten Balangan, menginokulasi 30 pohon setinggi 2 m dan berdiameter 20-40 cm. Sayang, semua gagal. 

Hambatan inokulasi di berbagai daerah itu umumnya dialami pekebun yang baru pertama kali menginokulasi. Namun, kendala inokulasi bukan hanya 'monopoli' pekebun yang miskin pengalaman. Lihat saja Universitas Mataram yang mempunyai beberapa ahli gaharu dan mengelola perkebunan gaharu. Di lahan 132 ha, perguruan tinggi di Nusa Tenggara Barat itu mengelola 100.000 pohon penghasil gaharu Gyrinops verstigii. 
Ahli: gagal juga 

Para ahli gaharu dari Universistas Mataram menginokulasi ketika pohon berumur 7 tahun, tinggi 6 meter, dan diameter batang 11 cm. Mereka menyuntikkan 6 isolat cendawan. Namun, puluhan pohon mati setelah inokulasi. Dr Sudirman, ahli gaharu dari Universitas Mataram, tak mempunyai data pasti jumlah pohon yang mati. Menurut doktor alumnus University of Queensland itu kegagalan inokulasi terjadi lantaran terdapat isolat cendawan yang terlampau ganas. 

Sayang, ia belum dapat menunjukkan cendawan dimaksud yang menyebabkan kematian pohon penghasil gaharu. 'Pembentukan gaharu hanya bisa berlangsung pada tanaman hidup. Bila isolat mikroba terlalu ganas, maka tanaman cepat mati,' kata Dr Erdi Santosa MS, ahli gaharu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan.

Menurut Yana Sumarna MSi, periset gaharu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, terdapat 27 sepesies pohon penghasil gubal gaharu. Beberapa di antaranya adalah Aquilaria malaccensis, A. hirta, A. crassna, Aetoxylon sympetalum, dan Wikstroemia poliantha. Begitu juga jenis mikroba untuk inokulasi juga beragam. Sampai saat ini para ahli masih meriset kesesuaian antara spesies pohon penghasil gaharu dan mikroba untuk inokulasi. Selama ini relasi pohon penghasil gaharu-mikroba masih menjadi misteri.

Sebelum fase inokulasi, para pekebun menghadapi beragam masalah. Joni Surya membudidayakan 1.000 bibit gaharu Aquilaria malaccensis di lahan 3 ha. Ketika kemarau panjang terjadi di Bengkulu, satu per satu bibit mengering, lalu mati. Yang bertahan hidup sampai sekarang-berumur 5 tahun-hanya 500 pohon. Dengan harga sebuah bibit Rp25.000, ia kehilangan Rp12,5-juta di luar biaya perawatan, penanaman, dan pembuatan lubang tanam. 

Tirta, pekebun di Simpang Empat Nako, Bengkulu, mengalami hal serupa. Pada 2006 ia menanam 3.000 bibit gaharu di lahan 5 ha. Tirta menanam pohon penghasil gaharu di dekat kelapa sawit. Hingga berumur 2 tahun, gaharu memerlukan penaung. Sayangnya, Tirta menanam keduanya-gaharu dan kelapa sawit-bersama-sama saat umur keduanya relatif sama. Artinya, kelapa sawit tak cukup menaungi gaharu. 

'Gaharu yang tak ternaungi, secara fisiologis tanaman buruk karena penguapan sangat tinggi,' kata Yana Sumarna MSi. Dari 3.000 bibit, hanya 1.000 tanaman yang mampu bertahan. Kerugian Tirta untuk pembelian bibit mencapai Rp50-juta. 

Aroma wangi gaharu memang menarik banyak pekebun karena menjanjikan laba besar. Namun, banyak yang jatuh mengejar wangi itu. (Sardi Duryatmo/Peliput: Faiz Yajri, Dian Adijaya, Destika Cahyana, & Karjono)
Trubus, Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar